(5.)
Publish ulang
Rudolf memamandang takjub kota kecil yang disebut Grindelwald itu. Jika ada negara terindah di dunia, maka negara Swiss layak mendapatkan peringkat teratas.
Rasa takjub itu tak berhenti ketika di depannya menjulang rumah modern minimalis yang didominasi cat warna putih itu, suhu dingin membuat Rudolf berfikir mungkin mereka butuh perapian mengingat matahari mulai tenggelam ke arah barat.
Melihat wajah takjub Rudolf yang begitu kentara, Grace hanya menggeleng malas sambil memutar matanya yang lelah dan mengantuk. Yang dia butuhkan adalah mandi air hangat dan memakan cemilan untuk mengisi perutnya.
Ke duanya disambut hangat oleh seorang wanita yang memiliki ciri-ciri seperti wanita Asia pada umumnya. Dia juga merangkul Grace penuh sayang sambil membantu wanita itu membawa kopernya.
"Ya, Tuhan! Kau semakin cantik, Grace. Tante hampir tak mengenalimu setelah sepuluh tahun kau tak berkunjung ke sini." Wanita itu menangkup pipi Grace yang jauh lebih tinggi darinya. Grace hanya tersenyum ramah.
"Bagaimana kabar, Tante?"
"Tante sehat." Sejenak mata wanita itu melirik Rudolf yang masih asik mengagumi interior rumah dua lantai itu.
"Apakah dia kekasihmu?" goda wanita itu pada Grace.
"Tidak, dia suamiku." Nada Grace terkesan bosan. Tapi wanita yang berusia lima puluhan itu tak begitu mendengar nada bicara Grace, dia langsung menghampiri Rudolf yang menyambutnya dengan senyum tipis.
"Kalian benar-benar serasi. Kau tampan sekali, Nak!"
"Terimaksih, Tante." Rudolf tersenyum kikuk, wanita ini tampak begitu tulus dan ramah.
"Ayo, segera masuk! Walaupun belum musim salju, cuaca di luar sangat dingin."
"Terimakasih, Tante." Rudolf menggeret kopernya masuk ke dalam rumah cantik itu.
"Duduklah! Tante akan membuatkan minuman yang hangat terlebih dahulu."
"Oke, Tante." Grace langsung duduk di sofa bewarna grey dan diikuti oleh Rudolf yang tak jauh darinya.
"Dia adalah sepupu ibuku." Grace menjelaskan untuk menjawab rasa penasaran Rudolf.
"Dia sangat ramah."
"Iya, namanya Betty. Suaminya kebetulan bekerja di sebuah perusahaan besar di sini. Aku dan ibuku pernah berkunjung sepuluh tahun yang lalu." Grace mengikat asal rambutnya. Benar saja, rasa dingin mulai merambat masuk ke tulang.
"Rumah yang indah." Rudolf bergumam.
"Iya, kota kecil ini adalah surga bagi semua orang. Aku sudah lama bermimpi ingin kembali berkunjung ke sini, baru kali ini niat itu kesampaian."
Rudolf mengangguk, sambil melirik rumput hijau yang terbentang indah bagaikan karpet permadani.
"Oh ya, jangan kau menyangka kita ke sini untuk melangsungkan bulan madu." Suara Grace berubah sinis. Rudolf yang awalnya berbinar, mengu bah raut wajahnya menjadi bosan. Sedikit pun dia tak berniat untuk bulan madu dengan nona sombong itu, mendapat kesempatan untuk datang ke negri ini saja sudah jauh lebih dari cukup baginya. Apa lagi jika bisa datang tanpa Grace, tapi entah kapan bisa bebas dari kekangan wanita itu.
"Ini dia, teh hangat di sore yang dingin." Tante Betty meletakkan tiga cangkir teh di atas meja itu, disusul oleh dua piring cemilan hangat.
Tante Betty mengambil posisi di dekat Grace.
"Tante baru tau kau sudah menikah."
"Maaf Tante, tidak sempat memberi kabar, semuanya serba cepat."
"Tidak masalah, Tante cukup bahagia melihat kau menemukan pasangan yang yang cocok. Nak! Kau beruntung mendapatkan gadis cantik ini," kata Tante Betty melirik Rudolf dengan senyum. Rudolf hampir saja tersedak jika tidak cepat menguasai diri, dia tersenyum paksa, apanya yang beruntung. Dia malah ketiban sial berkepanjangan.
"Oh ya, bagaimana kabar mamimu?"
Grace terdiam. Sambil menghela nafas.
"Kami sudah lama tak berkomunikasi. Di hari pernikahan pun dia tak datang, hanya papi yang menghadiri acara itu."
"Mungkin kau harus lebih mengalah pada mamimu, Tante tau dia adalah wanita yang keras."
Rudolf melirik Grace. Ketahuan sekarang dari mana sifat keras kepala wanita ini kalau bukan dari ibunya.
"Kami tak pernah sependapat dalam berbagai hal. Dia lebih menyayangi Tania dari pada diriku."
"Tante rasa tidak demikian, hanya saja kau terlalu mandiri dan tak butuh sokongan darinya."
Raut Grace berubah suram. Melihat itu, Betty langsung mengalihkan pembicaraan.
"Mandilah! Kamar di lantai dua sudah Tante siapkan untuk kalian. Kalian butuh istirahat."
*****
Setelah berbincang-bincang sejenak cukup lama setelah makan malam, Grace dan Rudolf dipersilahkan untuk masuk ke dalam kamar mereka. Jangan ditanya betapa dinginnya kota kecil ini, sebagai orang yang terbiasa tinggal di daerah tropis di Jakarta yang terkenal panas, ini cukup dingin walaupun pemanas ruangan sudah menyala maksimal.
Rudolf mempertahankan sweathernya, supaya lebih hangat, sebanyak ini negara yang pernah dikunjungi oleh Rudolf ketika mendampingi Grace dalam bekerja, negara ini lah yang paling berkesan baginya.
Andai saja dia lepas dari wanita ini, mungkin dia akan membeli rumah kecil dan sebidang tanah untuk bercocok tanam, sebagai anak seorang petani, berkebun adalah keahliannya. Dia akan hidup tenang dengan keluarga kecilnya. Tapi membayangkan Grace lah istrinya saat ini, hayalan indah Rudolf langsung berubah menjadi mimpi buruk.
Grace masih setia dengan menatap ponsel pintarnya, sambil tersenyum puas. Wanita itu memang menggilai popularitas.
"Aku menjadi trending topik di berbagai media massa. Tak ada ruginya menikah denganmu, setidaknya setelah ini aku akan memiliki ladang uang yang lebih luas." Grace terkekeh puas, dia bersandar di kepala ranjang dengan matanya yang berbinar bahagia. Baju kaos kedodoran dipadukan dengan hot pants super pendek, wanita itu bahkan tak mengenal kata dingin.
Rudolf hanya menatap sekilas. Baginya ocehan itu sangat tak menarik.
"Ya Tuhan. Bahkan banyak para fansku penasaran padamu. Andaikan mereka tau kau tak lebih menarik dari sebuah papan, mereka takkan menanyakan ini itu." Grace kembali tertawa cekikan.
"Anda puas meledek saya?" Kesabaran Rudolf menipis. Dia tersinggung disamakan dengan sebuah benda mati, jelas-jelas itu adalah sebuah penghinaan.
"Kau marah? Ha ha ha, ternyata kau bisa tersinggung juga, ya?" Grace meletakkan handphonenya. Dia lalu memeluk guling sambil menatap remeh pada Rudolf.
"Terkadang aku penasaran pada dirimu, apa yang ada di otak pria dingin sepertimu. Kau bahkan tak tertarik sedikitpun padaku, padahal di luar sana tak terhitung banyak pria yang memujiku."
"Saya bukanlah bagian dari mereka." Rudolf menjawab dingin.
Grace bangkit dari ranjang, berjalan angkuh ke hadapan Rudolf. Kaki jenjang itu terekspos sempurna tanpa hambatan, tapi sedikit pun laki-laki itu tak tertarik.
"Aku curiga padamu, terkadang aku berpikit kau adalah gay."
Rudolf menatap cepat wajah menyebalkan milik Grace. Pertanda protes dan tersinggungnya.
"Bertahun tahun kau bersamaku, aku tak pernah melihatmu dekat dengan perempuan, dan kau tak sedikitpun terlihat tertarik dengan keindahan tubuhku."
Rudolf menatap Grace bosan.
"Saya lebih menyukai wanita yang berisi."
Grace terdiam, artinya laki laki itu secara tak langsung mengatakan bahwa dia teramat kurus dan tak menarik sama sekali. Baru kali ini Grace ingin mencakar-cakar wajah datar itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top