(3.)

Pesta yang begitu mewah dan megah sudah selesai dua jam yang lalu. Siapa yang tak mengenal Grace, wanita berambisi tinggi yang mampu melakukan apa saja dengan uang dan kekuasaannya. Bahkan media lokal maupun internasional datang meliput acara sakral mulai dari sesi ijab Qabul dilanjutkan dengan pesta mewah yang membuat takjub semua orang.

Mereka adalah orang muslim, Rudolf sudah lama memeluk agama Islam sedangkan Grace adalah anak yang dilahirkan oleh orang tua yang berbeda keyakinan. Ibunya muslim sedangkan ayahnya Kristen, dan Grace ikut keyakinan ibunya dan memeluk agama Islam dari kecil.

Sekarang dua manusia yang digelari sebagai penganten baru yang menampilkan bahagia palsu itu tengah berada di kamar hotel tempat resepsi acara. Grace tak henti hentinya menangis. Iya, wajah bangga dan pongahnya tiba-tiba saja meredup saat dua orang yang menjadi beban pemikirannya datang ke acara itu. Siapa lagi kalau bukan Via dan Raihan.

Masih terbayang di mata Grace betapa ringannya ucapan selamat yang diberikan oleh Raihan kepadanya. Bukan itu yang dia mau, dia ingin Raihan menampakkan sedikit kecemburuannya karena Grace berhasil mencari pengganti yang tak kalah tampan darinya.

Sepanjang acara, mata Grace memandang pasangan yang paling mengganggu itu, bukan dia yang menjadi pusat perhatian, tapi Raihan memfokuskan perhatiannya pada wanita berjilbab dengan perut yang sudah membesar. Bahkan Grace menilai Via tak ada cantik-cantiknya, perut besar dan tubuh yang mulai membengkak.

Rudolf sempat menegur Grace, karena dia saat ini menjadi pusat perhatian dan bahkan dalam pengawasan kamera. Alhasil, wanita itu memaksakan senyum walaupun hatinya terasa pahit.

"Sudahlah, Nona. Anda harus istirahat. Saya rasa anda bisa lebih kuat dengan kenyataan yang baru anda saksikan." Rudolf mulai jenuh dengan sikap keakanak-kanakan Grace. Tisu berserakan memenuhi lantai.

"Jangan ikut campur urusanku! Urus saja urusanmu!" Grace berkata sarkas.

"Semua sudah berjalan sesuai rencana anda, lalu apa lagi?"

"Ini tak seperti yang aku rencanakan, bahkan Raihan sekalipun tak menampakkan perasaan bersedih saat aku bersanding denganmu."

Rudolf memijit kepalanya. Dia sangat lelah, bertambah lelah kerena menghadapi sikap Grace yang keras kepala.

"Nona, anda harus menerima kenyataan, bahwa hatinya bukan milik anda lagi, bagaimanpun usaha anda untuk membuatnya cemburu, semua itu hanya akan menghabiskan energi dan biaya."

"Oh? Kau sudah pintar mengajariku ya? Jangan mentang-mentang aku menjadikanmu suamiku kau bisa mengaturku seenaknya. Simpan mimpimu itu jauh-jauh!"

Rudolf terdiam dengan ucapan ketus wanita itu. Dia butuh tidur, dia lelah fisik dan pikiran. Tapi suara tangis wanita egois itu sangat mengganggunya.

Rudolf bangkit dari duduknya, masih memakai stelan jas pengantinnya. Saat dia menuju pintu keluar, suara panggilan Grace menghentikannya.

"Mau kemana kau?"

"Saya mau mencari kamar yang lain. Saya harus tidur." Rudolf menggeret kopernya yang berukuran sedang.

Tiba-tiba Grace melompat ke depannya, wajah kacau mirip zombi dengan maskara luntur meleleh ke pipinya.

"Kau ingin membuatku malu? Hah? Di luar masih banyak awak media, dan kau ingin menghancurkan reputasiku dengan memamerkan bahwa kita tidak tidur sekamar?"

Rudolf menatap Grace lelah.

"Saya mengantuk, dan anda tak memberi kesempatan pada saya untuk tidur. Saya tak bisa tidur di atas kasur yang dipenuhi tisu bekas mengusap air mata dan ingus."

Mata Grace melebar, mukanya memerah malu. Lalu dia mengumpulkan semua tisu itu dan memasukkannya ke dalam tong sampah.

"Aku rasa sofa lebih cocok untukmu, kita menikah bukan berarti akan tidur seranjang , asal kau tau saja."

Rudolf ingin tertawa dengan tingkat kepercayaan diri wanita itu. Bahkan dia tak pernah membayangkan bagaimana rasanya tidur bersama Grace. Wanita itu tak ada menariknya baginya, hambar dan datar. Dia menyukai wanita ke ibuan dan beretika.

"Tidak masalah, dan saya tidak bisa tidur dengan lampu yang menyala, serta suara berisik."

Grace hanya mendecih malas.

"Saya harus menggunakan kamar mandi terlebih dahulu. Dan anda juga butuh mandi, Nona. Lihat wajah anda, anda bagaikan artis yang memerankan film zombie."

Grace menyipit marah.
"Ternyata kau orang yang menyebalkan."

Tapi Rudolf tak lagi menanggapi, dia masuk ke dalam kamar mandi tanpa tertarik menanggapi Omelan Grace.

Grace menyingkirkan kelopak bunga yang bertaburan di atas ranjang hotel itu.

"Apa-apaan ini? Apa mereka pikir aku akan menghabiskan malam dengan pengawal rendahan? Sampai kiamat pun aku takkan melakukannya."

Grace berdiri mendekati cermin besar yang dihiasi ukiran emas dan sangat cantik itu. Rudolf tak sepenuhnya berbohong, wajahnya sangat kacau, maskara luntur meleleh menciptakan semacam pulau di pipinya, yang lebih menggelikan lagi, bulu mata palsu hampir terlepas dari kelopak mata kanannya. Ini lucu, tapi Grace salut, laki-laki itu tak tertawa sedikit pun melihat penampakan dirinya.

"Andaikan orang tau model internasional sepertiku memiliki penampilan begini, bisa saja kontrak akan diputuskan secara sepihak."

Grace mencabut bulu matanya. Lalu mengeluarkan peralatan make up dan membersihkan wajahnya dengan pembersih wajah.

Lima menit kemudian, Rudolf muncul dari pintu kamar mandi dengan pakaian lengkap. Rambut basahnya masih meneteskan sisa air mandinya. Dia berjalan cuek di depan Grace. Lalu merebahkan tubuhnya di sofa kamar hotel yang cukup panjang dan lebar.

Grace melirik pria yang mulai memejamkan mata itu.

"Besok kita akan pergi ke dokter kandungan."

Rudolf tersentak.

"Dokter...dokter kandungan?" Dia nyaris berbisik tak yakin dengan pemikirannya.

"Iya, kita akan cek kesehatan kita sekaligus berkonsultasi untuk program bayi tabung. Andaikan kau tak subur, mungkin kontrak kita akan diperpendek."

Begitu enteng ucapan itu dilontarkan Grace padanya. Tak peduli melukai harga dirinya yang dari awal sudah di injak-injak wanita itu. Andaikan hidup tak butuh uang dan andaikan ayahnya tak mewariskan hutang yang sangat banyak, sudah dari dulu dia meninggalkan wanita seperti Grace.

***
Di Karya Karsa udah tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top