Menikahi Luka 58


Karenina menyeka dengan  lembut tubuh suaminya. Menurut  dokter sore nanti Wafi sudah diperkenankan untuk pulang. Dalam hati dia menginginkan agar sang suami tinggal dan dirawat di rumahnya, tetapi tentu itu hanya sekadar keinginan. Jika pun nanti pada akhirnya Wafi pulang ke kediaman Mutia, dia bisa menerima. 

"Aisyah."

"Ya, Mas?" Karenina menatap paras sang suami. Beberapa hari berada di rumah sakit, sangat terlihat perubahan pada suaminya. Pria itu tampak lebih kurus.

"Mas? Kok malah bengong? Ada apa?"

"Sore nanti aku bisa pulang, 'kan?"

"Bisa, kenapa, Mas?"

Menarik napas dalam-dalam, Wafi meraih tangan sang istri, lalu menggenggamnya erat.

"Aku sudah minta ke Mutia agar aku pulang ke rumah kita."

Ucapan Wafi membuat Karenina menyipitkan mata. 

"Mas Wafi minta ke Mbak Mutia?"

"Iya, dan Mutia mengizinkan," jawabnya dengan kedua sudut bibir tertarik.

"Mbak Mutia mengizinkan?"

"Iya, Sayang. Kenapa? Kamu nggak percaya?"

"Bukan, Mas. Bukan begitu, tapi ...."

"Bahkan sebelum aku meminta, Mutia justru yang mengatakan hal itu lebih dulu," jelasnya.

Mendengar penuturan sang suami, tentu saja dia bahagia meski sedikit tak percaya. Mengingat ada Salma yang sudah pasti membutuhkan abinya setelah sekian lama tak bersua.

"Tapi bagaimana dengan Salma? Apa Mas Wafi tidak merindukan Salma?"

Menarik napas dalam-dalam, pria yang di tangannya masih menempel infus itu, mengusap pipi Karenina.

"Ini yang bikin aku percaya kamu adalah perempuan yang benar-benar tepat untuk kumiliki." Wafi menatapnya dengan mata penuh kehangatan.

Pipinya merona mendengar pujian dari sang suami. 

"Mas Wafi," protesnya salah tingkah.

Mengulum senyum, Wafi mencubit gemas pipi istrinya.

"Untuk Salma, Mutia bilang dia bisa datang ke rumah kita siang hari, dan mengajak Salma ke sini. Kamu nggak keberatan, 'kan?"

"Nggak dong, Mas. Sama sekali nggak keberatan, aku malah senang!" jawabnya antusias sembari menggeleng cepat.

Seperti inilah yang dia inginkan. Hidup saling mencinta dan mengasihi. Dia dan Mutia bersama untuk sebuah bahagia, tak ada salah paham yang membuat mereka saling jauh. Mungkin jika ada percikan cemburu adalah hal wajar karena itu sifat wajar seorang perempuan.

 Akan tetapi, jika semuanya dilabuhkan pada satu alasan dan tujuan yang sejak mula dijadikan fondasi semuanya tentu akan berjalan dengan baik.

"Kalau begitu , saya bebenah dulu ya, Mas. Ada beberapa barang yang harus dibereskan, supaya sore nanti kita nggak repot lagi."

Wafi mengangguk dengan bibir tersenyum.

"Aisyah." 

"Ya, Mas?"

"Makasih, ya."

Kali ini Karenina mengerutkan keningnya.

"Makasih untuk apa?"

"Untuk semua kesabaran dan keikhlasan yang sudah kamu beri untukku."

Kalimat Wafi membuat matanya mengembun. Kata-kata yang diucapkan suaminya itu terasa sangat dalam dan membuat dirinya merasa dihargai sebagai seorang istri.

"Sama-sama, Mas. Terima kasih juga sudah memberi ruang dan kesempatan buat saya untuk belajar dan mengabdi menjadi seorang istri."

Wafi kembali melebarkan bibirnya, sembari mengangguk dia berujar, "Kurasa aku sedang benar-benar jatuh cinta sekarang."

Tersipu-sipu, Karenina tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Pujian dan ungkapan sang suami telah membuat seluruh semestanya dipenuhi bunga dan kupu-kupu.

"Eum, Mas.

"Ya?"

"Mbak Hana ...." Dia menatap sang suami. Terakhir setelah mendapatkan kabar jika Farhana ada di rumah sakit ini, Wafi melarang Karenina untuk menemui kakaknya itu. 

"Kenapa, heum? Kamu tetap mengkhawatirkan Mbak Hana?"

Perempuan yang mengenakan gamis hitam itu merapikan meja lalu berjalan mendekat ke brankar suaminya. 

"Mas, Mbak Hana sedang lemah, dan butuh dukungan keluarga, saya hanya ingin memastikan jika Mbak Hana baik-baik saja."

"Sayang, dengar, aku tahu apa yang ada di pikiranmu, kamu akan ke ruangan Mbak Hana, tapi tidak sendiri. Kamu sama aku, nanti sore sebelum kita pulang mampir dulu ke tempat dia dirawat."

"Aku nggak mau kecolongan lagi soal Mbak Hana," imbuhnya.

Karenina mengangguk sambil tersenyum.

"Soal dukungan ... kamu nggak perlu khawatir, ada Umi juga Mbak Sofia dan anak-anaknya, 'kan?"

"Iya, Mas."

"Sekarang, nggak usah memikirkan Mbak Hana, pikirkan aja suamimu, suamimu ini juga butuh dukungan, 'kan?" Kali ini Wafi menatapnya dengan tatapan menggoyangkan yang lagi-lagi membuat semburat merah di pipi Karenina.

**

Sofia berkali-kali harus menarik napas dalam-dalam mendengar penuturan kakaknya soal kejadian yang menyebabkan sang kakak di jahit pelipisnya itu.

"Mbak Hana salah, Mbak. Siapa pun tidak akan rela jika diselingkuhi. Bukannya Mbak Hana juga pernah merasakan hal itu?"

"Aku tidak merebut suami orang, Sofia. Laki-laki itu datang padaku dan bercerita soal rumah tangganya yang berantakan," dalihnya.

"Lali? Mbak Hana merasa harus menjadi seorang perempuan penyelamat bagi laki-laki itu m begitu? Mbak nggak sadar kalau bisa jadi laki-laki itu hanya menjadikan Mbak Hana pelarian saja?"

Hana menggeleng cepat sembari memegang keningnya yang baru terasa nyeri.

"Diki laki-laki yang baik, Sofia. Dia menjadi begitu karena merasa istrinya hanya menjadikan dirinya sebagai mesin pencetak uang. Diki merasa tidak pernah dihargai dan ...."

"Mbak, Cukup!" Sofia menggeleng, "apa pun yang  Mbak rasakan atau apa pun yang diucapkan laki-laki itu, aku yakin itu hanya sesaat, karena antara Mbak dan laki-laki itu tidak ada ikatan apa-apa! Sementara Diki yang Mbak maksud itu ... dia masih suami orang, Mbak! Sadar!"

"Mbak, aku pikir Mbak nggak ada bedanya dengan Sheila!" sindirnya.

"Sofia! Kamu!"

"Iya, aku nggak menyalahkan sikap istri Dika. Iya, 'kan? Bukannya Mbak dulu pernah ada di posisi dia? Dan sekarang Mbak mencoba membela diri dengan berbagai macam dalih yang membenarkan sikap Mbak. Iya, 'kan?"

Sofia, pergi dari sini! Pergi!" usirnya mulai histeris.

Sementara Sofia tampak tak sekejap pun hendak beranjak. Dia seperti ingin menumpahkan semua uneg-uneg kekesalan terhadap kakaknya itu. 

"Aku nggak mau pergi, Mbak! Aku akan di sini sampai Mbak menyadari kalau Mbak memang salah!" Suara Sofia meninggi.

"Mbak nggak tahu, 'kan? Umi sakit-sakitan itu karena memikirkan Mbak? Dan Mbak harus tahu, yang membuat citra yayasan pendidikan kita itu bukan Karenina, tapi justru Mbak Hana dengan segala dendam yang Mbak miliki!" imbuhnya masih dengan wajah tegang.

"Pergi, Sofia! Pergi! Jangan pernah menceramahiku!" pekiknya.

"Mbak Hana! Mbak Sofia! Apa-apaan ini?" Suara Wafi membuat keduanya menatap ke arah pintu.

Mengeratkan genggaman tangan, Wafi mengajak Karenina masuk.

"Ini rumah sakit, Mbak. Kalian ini kenapa?" tanyanya saat sudah berada dekat dengan mereka.

"Mbak Hana, sebaiknya Mbak minta maaf ke Karenina. Berhenti sudah memupuk kebencian yang selama ini Mbak rawat. Nggak ada gunanya dan itu sama sekali tidak memberikan manfaat apa pun!" Sofia masih menatap geram kakaknya.

"Mbak Sofia, ada apa ini?" Wafi kembali menengahi.

**

Insyaallah kisah ini akan segera terbit ebook-nya.

Ditunggu yaa ....

Salam hangat 🖤🤍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top