Menikahi Luka 57


Karenina mencium punggung tangan Wafi dengan mata berkaca-kaca. Berulangkali dia mengucap syukur atas diijabahnya doa. Sesekali dia meminta maaf karena merasa bersalah.

"Aisyah, kamu nggak salah. Nggak ada yang salah, Sayang."

Wafi mengusap pelan puncak kepala sang istri. Matanya tersirat kerinduan yang mendalam serta rasa bersalah.

"Aku yang seharusnya minta maaf, karena aku, kamu jadi repot dan khawatir."

"Nggak, Mas. Aku nggak pernah merasa repot untuk Mas dan keluarga jenis, aku hanya khawatir. Khawatir kalau terjadi sesuatu pada Mas dan aku nggak tahu," tuturnya dengan suara bergetar.

"Sstt, sudah. Aku sudah baik-baik saja dan merasa lebih baik setelah bertemu kamu juga Mutia."

Kembali bibir Karenina tertarik, matanya yang masih basah itu berbinar bahagia. Terlalu banyak kisah dalam hidupnya yang telah membuat warna, tetapi entah mengapa kisahnya bersama Wafi adalah salah satu bagian paling indah yang selalu ingin dia bingkai dengan emas, meski tak semua catatan peristiwa demi peristiwa itu indah. 

"Sini, aku ingin menyapanya." Wafi memberi isyarat agar istrinya bangkit dari duduk.

"Assalamualaikum, anak Abi. Apa kabar? Berapa lama nggak dengar suara Abi? Kangen ya? Sama, Abi juga. Abi kangen sama adek juga sama Umi," bisiknya lalu menatap lembut Karenina yang membuat perempuan itu tersipu.

"Mas sudah makan?"

Wafi menggeleng.

"Saya suapin ya?"

Sejenak Wafi diam. Dia melihat Mutia tengah berbincang dengan Sofia juga Mira. Istrinya itu terlihat sembari menyusui Salma.

"Atau Mas minta Mbak Mutia yang nyuapin Mas? Sebentar saya panggil ...."

"Aisyah."

Wafi menggeleng.

"Suapin aku," pintanya sembari tersenyum.

Lagi-lagi kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan apa pun. Karenina seolah ingin menikmati kebahagiaannya kali ini. Tanpa disadari olehnya, Mira mengamati interaksi mereka, meski bukan anak kandung, perempuan paruh baya itu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh putrinya.

Sementara sudut mata Mutia menangkap kemesraan adik madunya dengan sang suami. Perempuan berwajah manis itu menarik napas dalam-dalam lalu menatap sang putri yang sudah terlelap. 

Pada titik ini perasaannya benar-benar campur aduk. Dia benar-benar bisa merasakan dan mendapatkan jawaban kenapa Wafi tidak setuju jika dia dan Karenina tinggal serumah.

Tak ingin ada kecemburuan yang terlihat, dia lalu menatap Salma yang terlelap.

"Mutia," panggil Mira.

"Iya, Bu?" Dia menoleh.

"Terima kasih, ya. Kamu sudah menjadi saudara yang baik untuk anak saya. Meski awalnya dia terlihat seperti sebatang kara."

"Sama-sama, Bu Mira. Sebenarnya saya yang harus berterima kasih kepada Bu Mira dan Karenina." Dia terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. "Terlalu banyak hal yang membuat saya terpengaruh hingga akhirnya saya sendirilah yang terperosok. Sementara Nina, dia perempuan paling ikhlas yang pernah saya temui, Bu."

Mira tersenyum tipis sembari mengangguk. Dari Karenina dia tahu apa dan bagaimana arti sebuah hubungan. Dari anak sambungnya, dia bisa tahu apa yang dimaksud dengan ikhlas dan berserah. Meskipun terkadang dirinya tidak rela tatkala harus mengetahui jika Karenina tidak disukai bahkan diteror oleh kakak iparnya dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.

"Dia memang anak baik. Semoga kalian bisa terus berjalan bersama," ujarnya lirih seraya menatap Mutia.

"Insyaallah, Bu. Saya akan terus mencoba belajar ikhlas dari hati bukan hanya diucapkan di mulut saja."

**

Satu tamparan mendarat di pipi Hana. Kakak Wafi itu tengah berseteru dengan istri dari Diki. Pria yang tengah dekat dengannya.

"Kamu perempuan yang nggak tahu diri memang! Siapa pun tahu kamu, tapi aku rasa memang kamu nggak punya malu!" bentak perempuan yang masih mencoba kembali menampar Hana.

"Rini sudah! Cukup!" seru pria yang baru saja tiba.

"Oh, jadi kamu membela dia? Begitu!"

"Jelas dia membelaku! Coba kamu lihat dirimu!" Farhana merasa di atas angin.

"Kenapa dengan diriku?" Rini balik bertanya.

"Kamu hanya perempuan yang hidup mendompleng suami, tanpa ada usaha dan ... untuk penampilan seperti kamu, rasanya sangat jauh dari layak untuk mendampingi Mas Diki." Dia menyeringai.

Kali ini Rini merasa darahnya semakin mendidih. Dengan mata nyalang dia kembali mencoba mendekat. Tangannya mengulur mencoba menarik pasmina yang dikenakan Farhana.

"Rini, berhenti! Aku bilang berhenti!" 

"Bukan begitu, Rin, ini rumahnya, dan kamu bisa-bisa diamankan satpam nanti." Diki, nama pria yang tengah diperebutkan itu mencoba melerai.

"Aku nggak akan pernah berhenti sampai perempuan ini enyah atau binasa! Aku pastikan itu!" Rini menepis kasar tangan suaminya dan kembali melayangkan tangannya ke pipi Farhana tanpa diberi kesempatan untuk menghindar.

"Ayo pulang, Rin!" Diki meraih lengan Rini dengan paksa dia mengajak perempuan itu pergi. 

"Lepasin, Mas! Aku belum selesai dengan dia! Lepasin!" Rini berontak, tetapi tentu saja kalah dengan cekalan tangan suaminya.

Sementara Farhana tersenyum menang. Baru saja dia hendak membalikkan badan, tubuhnya didorong kuat sehingga terhuyung. Tubuhnya tak bisa menjaga keseimbangan, hingga Farhana jatuh dengan kepala mengenai ujung meja kaca yang cukup tajam. Darah langsung mengucur deras membuat Rini mundur ketakutan.

"Rini! Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu membuat Farhana celaka!" sentak Diki bergegas menolong.

Ketakutan yang terlihat di paras Rini berganti dengan kemarahan. 

"Kita cerai, Mas! Aku nggak sudi punya suami seperti kamu! Terserah! Urus saja pelakor ini! Aku sudah nggak akan pernah peduli lagi!"

"Rini! Rini tunggu!" Diki memanggil sang istri yang berlari kecil meninggalkan kediaman Farhana. 

"Mas Diki," panggilnya dengan suara lirih. 

Sadar perempuan yang tergolek lunglai itu butuh pertolongan, segera dia membopong Farhana dan membawanya ke mobil.

"Sabar, Hana. Kita ke rumah sakit sekarang!"

**

Wafi baru saja tertidur setelah berbincang dengan Hadijah dan kedua istrinya. Karenina menarik napas lega karena semua kekhawatiran sudah tak lagi bercokol di hatinya. 

"Nina."

"Ya, Mbak Mutia?"

"Maafin aku, ya. Maafin aku yang pasti pernah membuat hatimu sakit."

"Nggak, Mbak. Nggak ada hal dari Mbak yang bikin saya sakit hati." Dia mengusap punggung tangan Mutia. 

"Entahlah, tapi aku merasa harus minta maaf," tuturnya lirih.

Karenina tersenyum. Allah memang tidak pernah tidak memenuhi janji. Dia memang mendatangkan luka, tetapi Dia pula yang akan menyembuhkan. Seperti saat ini. Tentu saja bohong jika dia tidak pernah merasa luka pada peristiwa lalu yang melibatkan Mutia. 

Akan tetapi, sadarnya Wafi dan berubahnya sikap Mutia sudah benar-benar bisa menghapus perasaan luka itu seketika.

"Makasih Nina. Makasih untuk semua pengorbanan yang kamu beri untuk aku dan kamu semua."

"Umi." Mutia menoleh ke mertuanya yang duduk berseberangan dengan dia maupun Karenina.

Perempuan paruh baya yang mengenakan jilbab abu-abu itu mengalihkan pandangannya.

"Ya, Mutia?"

Tampak umi dari Salma itu membasahi kerongkongannya.

"Maafkan Mutia, Mi. Mutia sekarang sadar jika apa yang pernah menjadi prasangka di waktu lalu adalah murni bisikan setan yang akan menjadikan amalan Mutia buruk," ungkapnya dengan wajah sesal.

"Mutia, Umi paham dan Umi sangat mengerti dengan apa yang mendasari perbuatanmu kala itu, tapi Umi yakin kamu pasti bisa menemukan jawabannya sendiri tanpa Umi memberitahu. Dan sekarang sudah terbukti, 'kan?"

Hadijah menarik napas dalam-dalam. 

"Hanya saja, Umi masih belum bisa mendengar ungkapan dari Farhana seperti yang kamu ucap barusan," ujarnya yang lebih terdengar sebagai keluhan.

"Karenina."

"Iya, Umi?"

"Kapan kamu melahirkan, Nak?"

Perempuan bermata indah itu tersenyum lebar sembari mengusap perut dia menjawab, "Insyaallah dua bulan lagi, Umi."

"Lalu ... apa kamu tetap akan melahirkan di villa-mu?"

Sejenak dia diam. Berada di villa memang dia merasa tenang, tetapi itu artinya dia akan berjauhan dengan Wafi untuk waktu yang lama karena tidak mungkin suaminya itu bisa langsung leluasa pergi ke tempatnya seperti yang dia inginkan. Namun, jika dia kembali ke kediamannya di komplek pesantren, itu artinya akan kembali bertemu Farhana yang kemungkinan akan lebih membabi buta mengancamnya.

"Umi, Umi, Mbak Hana, Mi!" Suara Sofia terdengar cemas saat baru saja dia mendapatkan telepon dari seseorang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top