Menikahi Luka 56
"Ya Allah, hilangkanlah penyakit. Berikan kesembuhan karena Engkau adalah penyembuh. Tiada yang dapat menyembuhkan penyakit kecuali Engkau dengan kesembuhan yang tidak menyisakan rasa nyeri."
Berulangkali Karenina melangitkan doa untuk suaminya, dengan air mata yang tak henti menetes.
"Ya Allah, tolong bangunkan suami hamba, sehatkan beliau, banyak orang yang menanti beliau kembali. Banyak orang yang mencintai beliau, banyak orang yang menanti dakwah beliau dan ... hamba, hamba sangat menantikan beliau kembali ya Allah. Engkau tahu bagaimana hamba mencintainya. Bangunkan beliau ya Allah. Bangunkan beliau dan pulihkan kondisi suami hamba ya Allah," pintanya lirih dengan kedua tangan menengadah.
Mira baru saja melepas mukena dan kembali memasang jilbabnya, sementara Karenina masih terpekur bermunajat yang sepertinya enggan untuk dia akhiri. Bahunya masih bergetar dan jelas terlihat pipinya yang basah oleh air mata.
"Nina." Mira menyentuh bahu putrinya.
Menyeka air mata, Karenina tersenyum tipis.
"Ya, Ma?"
"Allah pasti mendengar doamu dan doa orang-orang yang mencintainya."
"Iya, Ma. Aamiin."
Mira menarik napas dalam-dalam.
"Sekarang lebih baik kamu isi perut dulu. Kamu harus makan, Sayang."
"Tapi, Ma."
"Kamu sedang berbadan dua, Nin. Mama tahu apa yang ada di hati dan pikiranmu, tapi jangan lupakan yang ada di rahimmu. Dia anakmu, anak Wafi. Kamu harus perhatikan itu," potong Mira. "Nanti setelah makan, kita kembali ke kamar Wafi. Semoga hari ini dia sadar, Nin."
"Aamiin."
"Ayo!" ajak sang mama.
Mereka berdua meninggalkan masjid menuju kantin rumah sakit.
**
Meski masih dalam kondisi yang tidak fit, tetapi Mutia bersikeras untuk ke rumah sakit. Dia berharap saat Wafi membuat mata, dirinya-lah orang pertama yang dia lihat. Tentu saja bersama Salma putri mereka.
Kehadiran Salma di ruangan itu memberikan warna tersendiri. Karena Mutia bisa mengajak Wafi 'berdialog' dengan Salma.
Berkali-kali Salma menyentuh pipi juga lengan abinya tentu dengan bantuan Mutia. Sesekali Mutia ikut menyentuh pipi sang suami sembari memanggil namanya dan bercerita tentang perkembangan putri mereka.
"Dia akan menjadi perempuan kuat dan tangguh seperti Nusaibah seperti yang Mas sering bilang ke aku! Oh iya, Mas, Salma sekarang sudah sering ngoceh-ngoceh loh, apalagi kalau dengar aku tilawah. Masyaallah, dia selalu respon!" Mutia seolah tak lelah bercerita tentang anak mereka.
Sofia mendekat, dia kemudian menggendong keponakannya yang terlihat mulai bosan.
"Karenina datang, Mutia, sekarang sedang salat," jelas Sofia.
"Sama siapa? Dia sendirian?"
"Sama mamanya."
Mutia mengangguk paham, dia kemudian kembali menatap Wafi.
"Aku bawa Salma duduk di sofa ya, Mutia."
"Iya, Mbak."
Sofia menggendong putri Wafi itu dan membaringkannya di sofa besar agar bayi mungil itu merasa nyaman.
"Mas, mungkin aku pernah memintamu untuk menikah lagi, aku tahu kamu waktu itu sangat merasa berat, tapi akhirnya kamu mau karena aku bersikeras. Kini saat semuanya sudah terjadi. Saat semua doa dijawab ... aku tahu aku salah, tapi aku memang merasa cemburu. Aku cemburu, Mas."
Mutia mengusap lembut dahi sang suami. Matanya mulai berair dan terlihat perlahan menetes.
"Aku benar-benar dikuasai oleh perasaan itu, terlebih saat Mbak Hana mengutarakan bagaimana kamu memperlakukan Nina, saat itu aku benar-benar diliputi rasa cemas dan kecewa. Kecewa padamu dan tentu saja pada diriku sendiri. Sampai pada akhirnya rasa itu bermuara pada sebuah rasa sesal." Dia menarik napas dalam-dalam.
"Aku menyesali keputusanku yang demikian kuat waktu itu. Sungguh aku tahu ini tidak baik dan Allah tidak akan suka dengan perasaanku. Aku tahu, Mas. Tapi aku ... aku perempuan yang sama seperti Ibu Sarah istri Nabi Ibrahim yang menjadi cemburu. Maafkan aku, Mas, aku takut kehilanganmu," imbuhnya dengan air mata yang terus mengalir. "Aku takut kehilangan perhatian dan kasih sayangmu. Aku tahu aku salah."
"Tapi aku sadar sekarang, Mas. Aku sadar aku salah, aku sadar aku telah jauh bermain dengan prasangka. Aku akan terus belajar lebih baik. Aku janji, Mas. Mas Wafi bangun ya. Bangun ya, Mas. Untukku, untuk Salma dan untuk Karenina juga calon anak kita yang satu lagi. Bangun ya, Mas!" ujarnya masih dengan kesedihan yang mendalam.
Mutia membuang napas perlahan, menatap lekat paras sang suami. Kerinduan akan senyum dan suara lembutnya membuat hatinya seakan terkoyak. Tidak! Dia tidak menyesali apa yang telah dilakukan sang suami. Kepergian Wafi mengantar Karenina adalah wujud tanggung jawab kepada adik madunya itu. Jika pun terjadi hal seperti ini, itu adalah garis takdir yang memang harus dilalui.
Dia memang pernah menyalahkan Karenina atas musibah ini, tetapi dia sadar jika tidak ada yang bisa mengubah ketentuan yang sudah digariskan.
"Mas Wafi? Mas? Mas Wafi dengar aku? Mas Wafi! Mas!" Mutia beringsut dengan cepat sembari mengguncang perlahan tubuh suaminya.
Sementara Sofia yang tengah bersama Salma gegas bangkit menggendong keponakannya itu dan mendekat ke brankar sang adik.
"Kenapa Wafi, Mutia?" Sofia terlihat panik menatap istri adiknya itu.
"Mas Wafi, barusan menggerakkan tangannya, Mbak! Mas Wafi, bangun, Mas!" panggilnya histeris.
"Tenang, Mutia. Kita panggil dokter. Tenang."
Gegas Sofia menekan tombol untuk memanggil dokter. Tanpa menunggu lama, seorang dokter pria beserta dia perawat datang. Mereka terlihat memeriksa kondisi Wafi. Sedangkan Mutia tak jemu memanggil nama suaminya.
Dia semakin histeris ketika tangan sang suami membalas genggamannya.
"Mas Wafi!" serunya yang diiringi dengan embusan napas lega serta ucap syukur dari Sofia dan dokter yang berada di ruangan itu.
Perlahan matanya terbuka, awalnya tampak berkedip-kedip sejenak menyesuaikan dengan cahaya di tempat itu. Bola matanya tampak bergerak mengamati sekitar.
"Mas Wafi," panggil sang istri.
"Bapak Wafi, Bapak dengar kami?" Dokter yang bernama Haris itu mencoba meyakinkan jika pasiennya sudah sadar.
Pria yang baru saja membuka matanya itu tampak mengangguk. Bibirnya tertarik pelan saat melihat Salma yang berada di gendongan Sofia.
"Mas Wafi?" Kembali Mutia menyapa.
Wafi menatap sang istri lalu tersenyum tipis sembari mengangguk.
"Mutia." Suara Wafi terdengar lirih meski begitu telah membuat semua yang ada di ruangan kembali mengucap syukur.
Mutia tak sanggup menahan luapan kebahagiaan. Serta merta dia memeluk sang suami menumpahkan kerinduan dan keresahan dalam hatinya selama ini.
"Mbak Sofia. Umi ...."
"Umi baik dan sehat, meski beliau sangat mengkhawatirkanmu. Tapi sebentar aku akan memberi kabar ke Umi."
Dokter kemudian meminta agar Mutia dan Sofia sedikit menjauh untuk memberi ruang agar dia dan perawat bisa memeriksa kondisi Wafi saat ini.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter mengatakan jika Wafi sudah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, meski begitu dia dianjurkan untuk berada di rumah sakit dalam beberapa hari ke depan.
"Tujuannya adalah agar kamu tetap bisa memonitor Bapak Wafi apa pun itu yang berhubungan dengan cidera yang beliau alami," terangnya pada Sofia dan Mutia.
Kedua perempuan itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih setelah dokter tersebut memohon diri.
"Mas Wafi, aku bersyukur Mas bisa kembali membuka mata dan melihat kami." Mutia mendekat dan kembali mengecup kening sang suami.
"Salma, sini sayang." Mutia mengambil putrinya dari gendongan kakak iparnya.
"Abi, ini Abi sudah bangun," tuturnya mendekatkan bayi mungil itu ke Wafi.
"Assalamualaikum, Nusaibah-nya Abi," bisik Wafi sembari mengusap pipi bayi cantik itu.
"Waalaikumussalam, Abi." Mutia menjawab sembari menempelkan tangan Salma ke pipi abinya.
"Mutia."
"Ya, Mas?"
"Aisyah. Apa dia tahu aku ...."
"Assalamualaikum." Suara dari arah pintu mengalihkan perhatian semua yang ada di ruangan tersebut.
Wafi menatap sendu perempuan yang baru saja tiba. Mata pria itu tersirat kerinduan yang sangat, hingga lupa jika dirinya berada di dekat Salma dan Mutia.
"Nina, masuk, Nin! Mas Wafi sudah siuman." Mutia mengalihkan perasaan kaku yang tiba-tiba muncul. Gegas dia menggendong Salma lalu melangkah mendekati Karenina.
"Mas Wafi baru saja siuman dan dia mencarimu." Dia memberi isyarat agar Karenina mendekat.
Perempuan yang mengenakan gamis hitam sewarna dengan khimarnya itu mengangguk.
"Terima kasih, Mbak. Saya ke Mas Wafi dulu ya."
"Iya, Nin. Terima kasih juga kamu sudah datang."
**
Karena sesungguhnya keihklasan itu berat, tetapi sepadan dengan pahala yang dijanjikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top