Menikahi Luka 53
Diantar oleh Pak Joko dan istrinya juga Wafi, Karenina berangkat ke villa bersama Mira mamanya. Semua keperluan dan perlengkapan Karenina juga bayinya semua sudah lengkap dan siap di dalam mobil.
Wafi dan Karenina satu mobil disopiri oleh Pak Joko, sementara Bu Joko dan Mira berada di lain mobil yang disopiri oleh salah satu pengurus pesantren. Jamal namanya.
"Mas Wafi." Karenina menatap sang suami saat mobil mulai meninggalkan kediamannya.
"Ya Aisyah?"
"Ini buat Mas." Dia memberikan tasbih dari manik-manik berwarna cokelat yang dirangkai sendiri oleh Karenina. "Mungkin Mas sudah punya bahkan lebih bagus dari ini, tapi ini buatan saya sendiri. Semoga Mas suka dan Mas bisa selalu ingat dengan kami."
Wafi memeluk sang istri kalau perlahan mengurainya.
"Apa kamu pikir dengan kepergianmu ke villa terus aku bakal lupa begitu?"
Senyum manis tercetak di bibir Karenina.
"Bukan begitu maksud saya, Mas. Setelah ini kita akan berjauhan dan ... mungkin kalau Mas Wafi rindu, Mas bisa menggenggam tasbih itu dan mulai berzikir. Dengan begitu, rasa rindu itu akan tersampaikan kepada kami berdua," jelasnya sambil mengusap perut.
"Iya, Sayang."
Wajah Karenina terlihat merona mendengar panggilan sayang yang baru saja diucapkan suaminya. Melihat senyum malu dan pipi yang memerah, Wafi ikut tersenyum.
"Aku akan sering-sering telepon atau video call. Karena sudah pasti aku akan rindu. Rindu masakanmu, rindu senyumanmu dan rindu suaramu saat mengaji."
Ada hangat yang tiba-tiba mengalir tanpa bisa ditahan keluar dari mata Karenina. Dia merasa begitu sulit merelakan justru di saat sebentar lagi dia dan Wafi akan lebih berjauhan. Sesak di dada begitu semakin terasa menghimpit hingga dia berulang kali harus menarik napas dalam-dalam.
Melihat mata indah sang istri berkaca-kaca, Wafi kembali merengkuhnya erat.
"Kamu tahu, Aisyah? Apa yang terjadi padamu, pada kita ini bisa dibilang hampir mirip dengan kisah Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam dan istrinya yang bernama Hajar. Kamu tahu, 'kan?" Wafi sedikit menundukkan wajahnya menatap Karenina.
Yang ditatap hanya bisa mengangguk pelan sembari mengusap pipinya yang sudah basah. Wafi tersenyum sembari membantu mengusap air mata Karenina.
"Aku yakin kamu bisa setangguh Ibunda Hajar. Aku juga yakin anak kita memiliki sifat dan sifat dan sikap mulia seperti Nabi Ismail," bisiknya dengan senyum diiringi tatapan lembut.
"Bersyukur kita diberi kehidupan di masa sekarang. Coba jika kita hidup di saat itu ...."
Wafi kembali menarik napas dalam-dalam. "Akan sulit sekali rasanya melipat rindu karena terbentang jarak. Tapi sekarang, kita bisa telepon dan video call. Iya, 'kan?"
"Iya, Mas." Karenina tersenyum.
"Bukan kamu saja yang sedih, Aisyah. Kamu harus tahu kalau aku juga merasakan hal yang sama."
Mobil terus meluncur membelah jalanan yang semakin redup karena sore telah menjelang. Tak ada yang lebih berat selain perpisahan, dan tak ada yang bisa menerjemahkan perasaan Wafi saat itu. Ada begitu banyak kekecewaan dirinya terhadap Farhana. Kakak tertuanya itu seolah telah diselimuti kedengkian yang sama sekali tak beralasan. Bahkan uminya pun seolah tak mampu lagi menasehatinya.
Mungkin dirinya terlihat lemah dan tak berdaya menghadapi Farhana, tetapi dia berharap dengan 'perginya' Karenina bisa membuat hati kakaknya itu berubah menjadi lembut. Wafi juga sudah menyusun rencana agar Farhana bisa diajak bicara empat mata saja agar dapat mengubah persepsinya tentang Karenina.
**
Setelah melewati perjalanan sekitar tiga jam setengah, mereka tiba di sebuah villa yang terletak tak jauh dari perkebunan teh. Villa bercat putih terbuat dari kayu itu tidak begitu besar, tetapi sangat cantik. Ada ayunan terlihat di samping vila dan tentu saja terlihat beberapa koleksi bunga anggrek yang berbunga semakin mempercantik penampilan villa tersebut.
Udara segar dan sejuk membuat Karenina tersenyum lega lalu menoleh ke sang suami.
"Menyenangkan kalau saya bisa membuka rumah tahfiz disini, Mas. Di belakang sama ada perkampungan yang pasti akan banyak anak kecil.."
Mengusap puncak kepala Karenina, wafi tersenyum lebar.
"Apa pun keinginanmu kamu bisa wujudkan, Aisyah. Tapi nanti, setelah anak kita lahir." Dia berkata sembari mengusap perut istrinya.
Perempuan bergamis cokelat itu mengangguk . Dia kemudian mengajak Wafi masuk setelah seorang perempuan paruh baya seusia Bu Joko membuka pintu villa. Perempuan itu bernama Bik Munah. Dia orang yang sudah lama dipercaya untuk merawat dan membersihkan villa itu.
"Sudah lama sekali Mbak Nina nggak ke sini. Kamar Mbak sudah saya bersihkan. Silakan, Mbak, Mas." Bik Munah membungkuk sopan.
Setelah mengucapkan terima kasih, baik Wafi maupun Karenina masuk ke kamar.
"Mas mau balik kapan? Apa Mbak Mutia ....."
"Ssttt .... aku akan menemanimu malam ini. Untuk memastikan kamu baik-baik saja." Wafi menempelkan telunjuknya ke bibir Karenina yang membuat perempuan itu tersipu.
"Suasananya sejuk dan sangat nyaman. Aku yakin kamu akan tenang di sini sementara aku akan mencoba bicara baik-baik dengan Mbak Hana."
Karenina mengangguk.
"Jika Mbak Hana tidak bisa terima .... saya ikhlas, Mas. Saya akan tetap di sini saja membesarkan anak kita dan merintis apa.yang jadi keinginan saya barusan."
Wafi menarik napas dalam-dalam, dia lalu duduk di sebelah sang istri yang sudah terlebih dulu duduk di bibir ranjang. Sambil mengusap pipi istrinya, perlahan Wafi menyematkan kecupan lembut di kening kalau perlahan turun hingga bibir.
"Aku percaya, keikhlasanmu kelak akan menuai kebahagiaan dan kebanggaan buatku dan buat keluargaku, Sayang," bisiknya tepat di telinga Karenina.
**
Farhana tertawa kecil saat menggendong Salma. Bayi mungil berpipi chubby itu terlihat nyenyak dalam dekapannya. Sementara Mutia baru saja menyelesaikan makan malamnya.
"Kalau Salma sudah tidur, letakkan di box-nya aja, Mbak Hana."
Dia mengangguk kemudian perlahan meletakkan Salma di box-nya.
"Jadi dia malam ini Wafi nggak pulang?" Farhana mendekat ke Mutia kalau duduk di sebelahnya.
Istri Wafi itu hanya mengangguk.
"Mbak Hana."
"Ya?"
"Apa menurut Mbak Hana dengan perginya Nina dari kota ini akan membuat Wafi lebih memperhatikan kami?"
Menautkan alisnya, Farhana mengangguk.
"Tentu saja!"
"Apa Mbak tahu di mana Nina tinggal?"
"Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti aku akan cari tahu. Kenapa? Apa Wafi memberitahumu di mana Nina akan tinggal?"
Mutia menggeleng.
"Mas Wafi tidak bicara apa pun tentang di mana dan dengan siapa Nina tinggal, meski aku sudah mendesaknya."
"Emang kenapa? Kenapa kamu begitu ingin tahu, Mutia?"
Tersenyum tipis perempuan yang mengenakan baju terusan lengan panjang bercorak bunga, berwarna kuning itu meraih susu yang disodorkan khadimatnya.
"Hanya ingin tahu aja," tuturnya lalu perlahan menyesap susu yang terlihat masih ada kepulan asap itu. "Nina, 'kan sedang hamil. Ada kekhawatiran juga sih sebenarnya. Tapi semoga dia baik-baik saja."
Farhana menyeringai.
"Kamu mengkhawatirkan dia? Untuk apa? Bukannya dengan perginya Karenina kamu bisa lebih lega?"
Mutia hanya tersenyum tipis. Pernyataan Hana itu tentu tidak sepenuhnya benar. Dia memang ingin mendapatkan seluruh perhatian Wafi, meski dia tahu jika Wafi kini tidak bisa terus membersamainya. Lagipula itu pun atas didasari ayas permintaannya dahulu.
Walaupun Mutia merasa lega, ada sisi hati yang lain yang seolah tidak setuju dengan apa ya dia lakukan.
"Mbak Hana."
"Ya?"
"Sebaiknya sudahi saja perasaan benci Mbak Hana itu, Mbak."
Dengan mata menyipit dia menatap Mutia.
"Hei! Kamu ini kenapa? Kok tiba-tiba bicara begitu?" Farhana mengernyit kalau tertawa. "Kamu nggak takut Wafi mengalihkan perhatiannya ke Karenina? Ah iya, apa kamu sudah tahu jenis kelamin calon anaknya?"
Mutia menggeleng samar. Seperti tersadar dia mulai menebak-nebak jenis kelamin anak Karenina. Berbagai andai menari di kepalanya.
"Kalau dia perempuan, hmm ... kira-kira ke hati yang mana Wafi menempatkan dirinya ya?" Farhana mencoba membangkitkan emosi adik iparnya.
"Maksudnya, Mbak?"
"Well! Kalau anak Karenina itu perempuan, sudah pasti orang akan menilai kecantikan, kelincahan dan apa pun bisa mereka jadikan perbandingan. Aku juga penasaran sih apa jenis kelaminnya, aku berharap bukan perempuan, sebab sudah pasti wajah mereka akan dibanding-bandingkan!" jelasnya sembari melipat kedua tangan ke dada.
Mutia terlihat mulai terpengaruh dengan ucapan kakak iparnya itu.
"Itu kalau dia perempuan loh, ya. Beda lagi kalau ternyata yang lahir laki-laki." Perempuan yang mengenakan tunik bermotif batik itu melirik ke Mutia. "Aku rasa nggak perlu penjelasan lah ya, kalau ternyata anak mereka itu ternyata laki-laki! Kamu pasti tahu, 'kan, Mutia?"
Tak menjawab, Mutia mengatupkan bibir. Jika anak Karenina laki-laki, sudah pasti ada perbedaan yang dirasakan oleh Wafi. Itu pasti, karena tentu anak laki-laki itu akan jadi penerus dari keturunan keluarga besar Wafi dan akan menyandang nama belakang keluarga suaminya itu. Serta otomatis kelak akan menjadi penerus pondok pesantren dan yayasan yang dikelola Wafi.
Hati Mutia mulai bergejolak. Meski dipenuhi perasaan yang tak menentu, dirinya masih ingat bagaimana awal mula dia meminta sang suami untuk menikah lagi kala itu. Niat awalnya adalah agar supaya Wafi bisa mendapatkan keturunan untuk meneruskan perjuangan dalam dakwah.
Menarik napas dalam-dalam, Mutia menggeleng mencoba meyakinkan jika apa yang dia rasa ini adalah bisikan setan yang tentu akan merusak semua amalannya.
"Mbak Hana, saya yakin Mas Wafi tidak akan berat sebelah memperlakukan anak-anaknya."
"Mungkin. Maksudnya aku berharap seperti itu."
"Kapan Wafi pulang?"
Mutia menatap jam dinding. Beberapa jam yang lalu Wafi mengabarkan jika dirinya akan sampai sekitar empat jam lagi. Sekarang sudah hampir lima.jam berlalu, tetapi suaminya itu belum juga datang atau pun memberi kabar.
"Sebentar, Mbak. Harusnya sih sudah sampai, tapi mungkin Mas Wafi mampir ke pesantren dulu. Saya coba telepon."
Harapan mendapatkan kabar dari sang suami tak membuahkan hasil. Telepon Wafi tidak bisa dihubungi.
"Kenapa?"
"Ponsel Mas Wafi nggak bisa dihubungi, Mbak.." Mutia terlihat cemas.
"Mungkin lowbat, coba kamu hubungi pesantren!"
Mengangguk, dia mencoba melakukan perintah Farhana. Akan tetapi, jawaban yang diterima tidak bisa membuat dirinya lega. Karena menurut pihak pesantren, suaminya itu tidak ada dan sejak kemarin memang tidak berkunjung ke sana.
"Nggak ada juga, Mbak ." Suara Mutia kali ini terdengar khawatir.
"Sabar, mungkin sebentar lagi. Nggak perlu khawatir."
Farhana menatap iparnya lalu berkata, "Coba kamu telepon Karenina!"
Mengangguk, kembali dia melakukan titah Farhana. Namun, rupanya telepon Karenina pun sama, tidak bisa dihubungi.
Tak ada lagi obrolan di antara mereka. Baik Mutia maupun Farhana terlihat saling diam hingga dering telepon menyudahi semuanya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top