Menikahi Luka 51

Karenina terdiam mendengar ucapan mamanya. Perempuan paruh baya itu mengungkapkan kesedihannya ketika tahu bagaimana kondisi yang sebenarnya yang dialami oleh putrinya.

"Nina, tadinya Mama pikir kamu sudah benar-benar menemukan kebahagiaan setelah dinikahi oleh Wafi. Sungguh apa yang Mama saksikan hari ini telah menghapus semua yang Mama sangkakan," ujarnya dengan nada kecewa. "Mama awalnya begitu bersyukur, Nin. Tapi setelah tahu ... maafkan Mama, Nak. Maafkan Mama, semua yang terjadi ini karena Mama."

"Nggak, Ma. Bukan salah Mama. Semua yang terjadi pada Nina adalah memang sudah garis hidup yang Allah beri, jadi jangan pernah menyalahkan diri Mama."

Mira meraih tisu lalu mengusap air matanya. Mungkin dulu dia sama sekali tidak pernah peduli dengan anak tirinya ini, tetapi sekarang dia menyadari jika anak yang pernah dia abaikan adalah perempuan yang benar-benar memiliki hati lembut. Anak tirinya itu telah demikian jauh berubah.

"Mama sayang sama kamu, Nina. Mama nggak bisa kamu dianggap perempuan seperti yang mereka gambarkan. Mama tahu kamu anak baik," imbuhnya masih dengan air mata berderai.

Bu Joko datang membawa minuman hangat dan sepiring sosis solo kesukaan Karenina.

"Makasih, Bu Joko."

Mengangguk sopan, perempuan berjilbab merah itu kembali ke dapur.

"Bukan mereka, Ma. Hanya Mbak Hana saja yang bersikap seperti itu. Yang lainnya baik ke Nina."

"Tapi mereka nggak bisa mengendalikan Hana. Mereka membiarkan perempuan itu menyakitimu dan Mama nggak rela!"

"Ma."

"Nina, tadi Mama dengar dia memintamu untuk pergi dari sini, 'kan?"

Karenina menarik napas dalam-dalam. Ini sudah kesekian kalinya Farhana memintanya untuk meninggalkan rumah ini dan tentu saja Wafi. Sampai saat ini dia bertahan, tetapi ancaman Farhana pada bayi yang dia kandung sudah cukup membuat dirinya was-was.

"Dia sudah mengancammu dan bayimu, 'kan? Kamu dengar jelas tadi, 'kan?" cecar Mira.

"Nina, mungkin kamu lupa atau bahkan  tidak tahu kalau masih ada villa peninggalan papamu di daerah kebun teh? Villa itu hanya mama dan papamu yang tahu. Bahkan Alvin pun tidak tahu soal itu."

Mira mengambil gelas yang disuguhkan Bu Joko kalau meneguk perlahan.

"Mama memang tidak tinggal di sana karena merasa Mama tidak lagi pantas tinggal di sana dengan semua kesalahan yang Mama perbuat." Mira menghentikan kalimatnya. Dia menarik napas dalam-dalam sembari menatap putrinya.

"Kita bisa pindah ke sana, Nin. Kamu pasti tahu, perempuan hamil itu tidak boleh stress, tidak boleh tertekan ... sementara apa yang kamu alami ini sudah pasti membuat dirimu tidak nyaman, 'kan?"

Karenina tak menjawab. Mamanya benar, mungkin dia bisa bersabar dan meluaskan hati meski harus menelan semuanya sendiri, tetapi dia juga ingin tenang menikmati kehamilannya.

Namun, hal itu tidak mungkin dia putuskan karena biar bagaimanapun ada Wafi yang harus dia utamakan. Wafi adalah suami yang harus menjadi tempat untuk saling berbagi dan bertukar pikiran.

"Mama, Nina tahu niat Mama baik. Nina juga tahu Mama tidak ingin Nina dan cucu Mama kenapa-kenapa, tapi Nina nggak bisa mengiyakan tawaran Mama, karena ada Mas Wafi yang harus tahu apa yang sebaiknya Nina lakukan."

Mira mengangguk samar. Meski kekhawatirannya begitu besar, tetapi dia tahu biar bagaimanapun Nina adalah tanggung jawab Wafi.

"Baiklah, Nin. Mama dukung apa pun keputusan Wafi nanti, asal itu bisa membuat kami dan calon bayimu nyaman."

Bibir Karenina melebar, dia lalu mengangguk seraya mengucapkan terima kasih kepada sang mama.

**

Wafi mengusap perut Karenina sembari menyapa calon bayi yang masih belum diketahui jenis kelaminnya itu.

"Kabar Mbak Mutia sama Salma gimana, Mas?" tanyanya sembari menyodorkan segelas teh hangat kepada sang suami.

"Baik, hanya ...."

"Hanya apa?"

Wafi menarik napas dalam-dalam lalu menyesap perlahan hangat tersebut.

"Salma flu, jadi tidurnya nggak nyenyak dan itu sangat berpengaruh pada tidur Mutia juga," jelas Wafi setelah meletakkan cangkirnya di meja.

"Mungkin juga karena kelelahan setelah acara akikah jadi Salma dan Mutia sama-sama kurang sehat."

Karenina tersenyum tipis. Acara akikah kemarin memang dia izin untuk tidak bisa hadir karena berbenturan dengan acara di Butik Rafika. Dia didapuk jadi pembicara di acara peluncuran model terbaru di butik tersebut. Meski tidak hadir pada acaranya, Karenina tetap datang walaupun acara sudah selesai.

Saat dia datang, baik Umi Hadijah dan Salma semua menyambut hangat. Saat itu dirinya tidak melihat Farhana. Hanya saja Umi Malihah yang tampak tidak suka dengan kedatangannya.

Bahkan di depan Karenina mertua Wafi itu menyindir dan mengatakan jika dirinya sengaja datang terlambat karena tidak suka pada kebahagiaan Mutia.

"Kapan kontrol? Kalau nggak salah lusa ya?" Pertama Wafi membuatnya memalingkan wajah menatap sang suami.

"Melamun? Bahkan saat ada aku kamu masih melamun?"

Senyum Karenina mengembang. Dia tampak mengangguk. "Iya, Mas. Lusa kontrol. Insyaallah kita bisa melihat apa jenis kelaminnya."

Wafi tersenyum lebar.

"Abi temani nanti ya, Sayang," bisiknya sembari mendekatkan wajah ke perut sang istri. "Maafkan Abi yang mungkin tidak bisa sering membersamaimu belakangan ini, tapi Abi pastikan untuk selanjutnya itu tidak akan terjadi lagi," imbuhnya lalu mengecup lembut perut Karenina.

"Aisyah ... kemarin Ustaz Haris bercerita ada kejadian buruk menimpamu. Betul?"

"Kejadian buruk? Kejadian buruk apa, Mas? Nggak ada kok "

"Kamu yakin?" Wafi memindai wajah istrinya.

"Menurut Ustaz Haris, Mbak Hana ke sini dan membuat keributan. Betul?"

Karenina tak menjawab. Dia memang selalu berkelit jika ditanya soal Farhana. Ada segudang alasan baginya untuk tidak mengadukan hal itu kepada Wafi. Salah satunya adalah karena Umi Hadijah yang kini tengah dalam pengawasan dokter karena jantungnya sedikit bermasalah.

"Aisyah." Wafi menarik napas dalam-dalam, lalu menangkup paras sang istri dengan kedua tangannya. "Kemarin ada Mama Mira juga, 'kan?"

Kali ini Karenina mengangguk pelan.

"Ustaz Haris sudah menceritakan semuanya, tapi aku ingin mendengar dari kamu apa yang sebenarnya terjadi."

"Aisyah ...." Wafi terlihat memohon dan meyakinkan agar istrinya bercerita padanya.

Meski awalnya dia terlihat ragu, tetapi Karenina teringat pesan sang mama jika dirinya berhak mendapatkan ketenangan atas apa yang dia alami sekarang.

"Pikirkan bayi dalam kandunganmu, Nina. Mungkin kamu terlihat kuat, tapi batinmu tidak bisa dibohongi dan itu akan sedikit banyak akan berpengaruh pada bayimu. Kamu harus jujur mengatakan apa pun yang terjadi hari ini pada suamimu!" pesan Mira kembali terngiang.

"Mas Wafi, kemarin ...."

"Ada apa? Ceritakan saja semuanya!"

Karenina terlihat mengatur napasnya dan mulai menceritakan semua yang terjadi termasuk kabar jika mantan suami Farhana sedang sakit.

Wafi yang mendengar tampak berulang-ulang mengusap wajahnya sembari mengucap istighfar.

"Jadi Mbak Hana memintamu untuk pergi?"

"Iya, Mas."

"Mbak Hana bilang kalau saya tidak pergi, maka bayi ini akan jadi taruhannya."

"Maksudnya?"

Dia menggeleng sembari menggigit bibir. Mata indahnya mulai berkaca-kaca.

"Jadi maksudnya bayi kita akan dicelakakan kalau kamu tidak mematuhi keinginannya?" Kali ini rahang Wafi tampak mengeras.

"Aku nggak bisa lagi mentolerir apa yang dilakukan Mbak Hana!" Terdengar gemeretak dari gigi-gigi Wafi.

"Mas Wafi, sabar. Nggak perlu dihadapi dengan amarah. Kita hanya harus sabar sambil memikirkan keselamatan bayi ini."

"Tapi dia sudah keterlaluan, Aisyah. Nggak bisa dibiarkan!"

"Ingat Umi, Mas. Kata dokter Umi tidak boleh mendengar hal-hal yang membuat beliau tidak nyaman."

Wafi membuang napas perlahan.

"Mas Wafi."

"Ya?"

"Apakah saya boleh mengusulkan sesuatu?"

"Boleh. Katakan, Aisyah."

Hati-hati dia mengungkapkan apa yang diusulkan oleh Mira untuk pindah dari rumah itu.

"Memang jauh dari sini dan tentu Mas Wafi tidak bisa sering-sering berkunjung, tapi ... setidaknya mungkin ini cara yang paling aman untuk sementara ini sampai anak kita lahir, Mas."

**

Terima kasih sudah mampir 🫰

Colek jika typoo ya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top