Menikahi Luka 46

Menurut dokter yang menangani Mutia, insiden yang terjadi memang cukup mengkhawatirkan bagi ibu hamil tua seperti istrinya. Akan tetapi, pihak dokter akan terus mengobservasi kemungkinan apa pun yang bisa saja timbul akibat jatuhnya Mutia.

"Untuk sementara pada kondisi Ibu Mutia masih tidak kami temukan hal-hal yang dikhawatirkan, Pak. Meski begitu, kami akan tetap memeriksa detail secara keseluruhan dan akan segera kami sampaikan kepada Anda. Tentu saja dengan kondisi kandungan Bu Mutia."

"Faktanya, jatuh dalam posisi apa pun selama kehamilan bisa menyebabkan pergerakan janin yang tidak seharusnya. Bila kondisi tersebut terjadi signifikan disertai munculnya flek, ibu hamil berisiko mengalami keguguran."

"Tapi setelah tadi kami periksa saksama, insyaallah baik Bu Mutia maupun anak dalam kandungannya, insyaallah baik-baik saja. Hanya mungkin ada shock yang menyebabkan tegang dan sakit. Tapi Bapak tidak perlu khawatir, insyaallah semuanya baik-baik saja," jelas dokter berkacamata itu ramah.

Berulangkali Wafi mengucap syukur meski tadi dia begitu panik melihat Mutia kesakitan.

"Baik, Dokter. Terima kasih untuk penjelasannya. Saya bisa lega sekarang."

"Sudah tugas kami, Pak, tapi untuk tiga hari ke depan ... biarkan istri Anda istirahat di rumah sakit dulu, Pak."

"Baik, Dokter."

Wafi terlihat bisa bernapas lega saat meninggalkan ruangan dokter. Farhana dan yang lainnya sudah menunggu dengan wajah cemas di luar ruangan.

"Wafi, gimana kondisi Mutia dan bayinya? Nggak apa-apa, 'kan? Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, 'kan?" cecarnya.

"Alhamdulillah, nggak apa-apa, Mbak. Baik Mutia maupun bayi dalam kandungan semua baik. Insyaallah."

Hana, Sofia, dan Hadijah sontak bersama mengucap syukur.

"Lagipula ngapain Mutia ke rumah Nina? Syukur Mutia tidak mengalami hal buruk! Aku curiga ini semua karena Nina. Dia yang menginginkan hal yang tidak baik terjadi pada Mutia!"

"Mbak Hana! Tahan bicaranya! Cukup!" sentak Wafi dengan rahang mengeras. "Ini bukan tempat dan waktunya untuk berdebat dan mencari-cari kesalahan siapa pun!"

"Mbak boleh tidak suka dengan Aisyah! Tapi perbuatan Mbak sudah melampaui batas! Dan aku tidak akan tinggal diam jika aku tahu Mbak mencoba mengusiknya!"

Hadijah menatap Farhana yang memalingkan muka karena tersinggung oleh ucapan Wafi.

"Hana, sebaiknya kamu diam. Benar ucapan adikmu. Kamu tidak boleh seperti itu. Ketidaksukaanmu akan menjadi bumerang suatu saat nanti. Lagipula, kamu tidak punya alasan untuk membenci Karenina!"

Merasa dipojokkan, tanpa berkata apa pun dia mengayun langkah meninggalkan ruangan itu.

"Umi, kalau Umi mau menengok Mutia silakan, Mi. Hanya saja memang tidak boleh ramai-ramai masuk ke kamarn, karena Mutia butuh istirahat."

"Iya, Wafi. Umi masuk dulu." Hadijah menengok ke Sofia. "Umi masuk dulu ya, Sofia."

"Iya, Umi."

Membuang napas perlahan, Wafi duduk di bangku yang tersedia di tempat itu.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Wafi? Sepertinya Mbak Sofia melewatkan banyak hal. Kamu bisa jelaskan?"

"Sebagiannya pasti Mbak sudah tahu."

Sofia mengangguk samar. Dia tidak pernah menyangka jika Farhana akan melakukan hal seperti itu.

"Lalu kenapa tadi Mutia ke rumah Nina? Dan kenapa bisa jatuh?"

Wafi mengusap tengkuk lalu menggeleng.

"Aku nggak tahu, Mbak. Aku juga heran kenapa Mutia ada di sana, karena aku juga nati datang tepat saat mereka jatuh."

"Mereka? Kamu bilang mereka? Apa itu artinya Nina juga terjatuh?"

Wafi mengangguk.

"Lalu? Kenapa mereka berdua bisa terjatuh? Apa ...."

"Aku nggak tahu, Mbak. Kan aku sudah bilang kalau aku tiba di sana, mereka sudah jatuh." Wafi menarik napas dalam-dalam.

"Lalu kondisi Nina bagaimana?"

Sejenak Wafi diam, tiba-tiba hatinya gelisah mengingat istri keduanya itu juga tengah hamil.

"Sebentar, Mbak!"

Dia mencoba menghubungi Karenina, tetapi tidak ada tanda-tanda tersambung. Berkali-kali Wafi kembali menekan nomor sang istri, tetap saja nihil.

"Aisyah! Kenapa ponselmu?" gumamnya cemas.

"Kenapa, Wafi? Kamu menelepon siapa?"

"Aisyah, Mbak," jawabnya sembari memijit pelipis.

"Nggak diangkat?"

"Nggak, sama sekali." Wafi terlihat semakin gelisah. "Mbak, Wafi ke pesantren dulu ya, khawatir sama Aisyah."

"Iya, tapi ... kamu bilang ke Mutia, Mbak khawatir nanti dia nyari-nyari kamu dan ...."

"Oke, Mbak."

Pelan dia membuka pintu. Terdengar suara Mutia menceritakan jika dia ke rumah Karenina untuk memastikan soal kabar yang dia dengar dari Farhana. Mendengar itu, Wafi menarik napas dalam-dalam. Lagi-lagi kakaknya yang membuat semua jadi rumit.

"Lalu? Apa yang dikabarkan Hana itu benar?"

"Iya, Mi. Karenina hamil."

Hadijah mengucap syukur saat jawaban meluncur dari bibir menantunya.

"Ehem ...." Suara Wafi membuat keduanya menoleh.

Hadijah sontak membalikkan tubuh menghampiri dan memeluk putranya sembari mengucapkan selamat atas berita bahagia yang dia dengar.

"Umi sangat bahagia, Wafi. Masyaallah, lihatlah jika Allah hendak memberikan kejutan! Dia tak pernah main-main untuk menjawab semua harapmu, Nak!" tuturnya sembari mengurai pelukan. "Tapi kenapa kamu nggak cerita ke Umi?"

"Maaf, Umi, ada hal yang membuat Aisyah meminta agar berita ini ditahan dulu."

"Itu karena Aisyah memintanya, Mi."

"Nina tidak ingin perhatian keluarga terpecah, Mi.  Menurut Nina, dia ingin agar keluarga fokus ke Mutia," ujar Mutia menjelaskan.

Hadijah menghirup napas dalam-dalam. Ada keharuan yang sangat dia rasa. Lagi-lagi dia merasa Karenina benar-benar hadir seperti peri yang demikian tulus berkorban untuk keluarga ini.

"Sejak lama Umi merasa jika Nina memang memiliki hati yang luas. Setidaknya dari kisah hidup dia yang tidak mudah itu menjadikan kepribadiannya seperti sekarang ini."

Pujian mertuanya pada Karenina membuat Mutia tersenyum tipis. Adik madunya itu memang tulus, sehingga Hadijah pun mengangumi pribadinya.

Namun, di sisi lain ada seperti gores yang sedikit mencederai sudut hatinya, entah apa, tetapi Mutia merasa ketulusan Nina mulai menggeser keberadaannya.

"Semoga kalian selalu dalam lindungan-Nya, dan semoga kehamilan Nina sehat hingga nanti waktunya melahirkan."

"Makasih, Umi." Wafi tersenyum. Sudut matanya menangkap oarasa Mutia yang justru terlihat tak nyaman.

"Sepulang dari sini, Umi akan mampir sebelum mengisi pengajian. Sekarang Umi keluar dulu, biar Sofia yang masuk."

Mengangguk, Wafi mendekati sang istri.

"Mutia ... kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyanya lembut.

Mengulas senyum, istrinya itu mengangguk.

"Hanya terkadang terasa kram aja."

"Iya, tadi dokter sudah bicara banyak dan kamu memang harus istirahat lebih banyak." Dia mengusap lembut puncak kepala sang istri.

"Apa dokter tadi bilang kalau aku harus tinggal di rumah sakit untuk sementara?"

"Iya. Semua demi kebaikanmu dan anak kita."

Mutia membuang napas perlahan.

"Oh iya, Mas. Selamat ya! Mas akan menjadi seorang ayah dalam waktu yang mungkin tidak terlalu jauh waktunya."

Wafi mengangguk dengan bibir mengembang.

"Mas."

"Heum?"

"Aku berharap kehamilan Nina tidak memengaruhi perhatian Mas ke aku ya." Kali ini suara Mutia terdengar bergetar.

Dengan mata menyipit Wafi menatapnya.

"Hei, ada apa denganmu, Mutia? Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Jangan marah, Mas. Aku hanya takut. Aku takut Mas ...."

"Sttt ... istighfar, Mutia. Ada hal yang buruk yang mulai hadir di hatimu."

Mutia membisu. Dia sadar apa yang dikatakan barusan adalah hal yang tidak pantas. Karena selama ini Wafi tidak pernah mengurangi perhatian padanya, meski terkadang dialah yang seringkali merasa 'jauh.'

"Dengar, Mutia, luruskan niat kembali ke awal. Aku tahu ini tidak mudah dan aku sering bicara soal ini ke kamu, 'kan? Tapi ini semua keputusanmu dan aku sudah mewujudkannya, dan sekarang tidak ada alasan buatmu untuk mempertanyakan soal itu," ungkap Wafi panjang.

"Kamu tahu seperti apa Aisyah, 'kan? Kamu tahu bagaimana dia menghormatimu?"

Mutia mengangguk.

"Syukurlah."

Sejenak ruangan itu senyap. Tak terlihat tanda Sofia akan masuk.

"Mutia."

"Iya, Mas?"

"Aku sejak tadi mencoba menghubungi Aisyah untuk tahu kondisinya, tapi tidak bisa."

"Lalu?"

"Kamu aku tinggal sebentar ke rumah Aisyah, ya. Kamu tahu kalau dia juga sedang hamil, 'kan? Dan dia juga terjatuh sama sepertimu, 'kan?"

"Mas mau ke sana?"

"Iya. Setelah memastikan dia baik-baik saja. Aku akan kembali ke sini menemanimu."

**

Semoga nggak jantungan baca ini😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top