Menikahi Luka 45


Karenina cepat menarik tangannya dari perut Mutia. Tenggorokannya mendadak kering mendengar penuturan kakak madunya. Bagaimana mungkin Mutia bisa tahu? Sementara Wafi setuju dengan alasan dia untuk menyimpan kabar gembira ini terlebih dahulu.

"Nina? Kenapa? Benar, 'kan apa yang aku bilang barusan?"

"Apa Mas Wafi tahu soal ini?" Dia kembali bertanya.

Karenina masih bungkam.

"Selamat ya, Nin. Semoga semuanya diberikan kelancaran." Jujur aku kaget saat mendengar kabar ini, tapi aku ingat, kabar ini juga, 'kan yang aku tunggu? Karena alasan anak juga aku memilihmu untuk jadi istri Mas Wafi."

Sejenak ruangan itu sepi. Karenina memastikan jika Farhana yang memberikan kabar ini kepada Mutia. Kakak iparnya itu memang seolah benar-benar selalu ingin menabuh genderang perang dengannya.

"Kenapa kamu nggak kasi tahu aku?"

"Maaf, Mbak, bukan nggak kasi tahu, tapi saya ingin menundanya sampai Mbak melahirkan." Karenina akhirnya buka suara.

"Menunda? Kenapa?"

"Saya ... saya nggak mau Mbak jadi nggak fokus mempersiapkan kelahiran yang sebentar lagi. Dan lagi ... saya juga nggak mau perhatian keluarga besar terpecah karena kehamilan ini."

Mutia menarik napas dalam-dalam. Adik iparnya itu benar. Jika boleh jujur, sebenarnya dia sedikit terganggu dengan kabar yang menurutnya tiba-tiba itu.

Selain karena memang dia ingin tenang, Mutia pun ingin keluarga besar ikut menyambut calon anak pertamanya itu. Sebagai perempuan yang sudah demikian lama menanti kehadiran seorang anak, tentu ada sebuah kebanggan tersendiri jika saat persalinan nanti semua orang yang dia sayangi turut mendampingi.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa Mas Wafi tahu kamu hamil?"

"Mas Wafi tahu, Mbak," jawabnya lirih.

"Tahu? Jadi Mas Wafi tahu? Lalu kenapa aku baru tahu? Bahkan aku tahu dari orang lain!" Mutia tampak kesal.

"Maaf, Mbak, tapi Mas Wafi memang saya minta untuk menyimpannya dulu, bahkan Umi pun kami belum kabari soal ini," terangnya.

"Saya ingin semua fokus ke Mbak, nanti setelah masa persalinan selesai, barulah kabar ini kami umumkan." Karenina tersenyum lebar, berharap Mutia bisa menerima alasannya.

Mengangguk paham, Mutia tersenyum tipis.

"Oke, aku mengerti. Terima kasih sudah menjadi adik yang baik, adik yang paham dan tahu apa yang harus dilakukan."

Karenina menghela napas lega. Dia tampak bersyukur akhirnya Mutia bisa memaklumi dan paham alasannya.

"Mbak Mutia tahu dari mana kalau saya hamil?"

Sejenak dia diam menatap Karenina.

"Mbak Hana yang ngasi aku kabar."

Karenina mengangguk samar.

"Tapi saya maupun Mas Wafi tidak membicarakan hal ini ke Mbak Hana," tuturnya lirih. "Meski pada akhirnya nanti kondisi saya akan diketahui, tetapi saya benar-benar  ingin menyimpannya dulu, Mbak."

Mutia membenarkan letak duduknya. Perutnya yang semakin besar memang sedikit banyak menghalangi aktivitasnya meski sedang duduk sekali pun.

"Sudahlah, nggak penting dari mana Mbak Hana tahu," ujarnya, "Yang penting aku tahu dan kamu paham seperti apa keadaan kita."

Kakak madunya itu menarik napas dalam-dalam.

"Mbak Hana itu sebenarnya baik, tapi masa lalunya yang membuat dirinya seperti itu, jadi kamu harus betul-betul bisa memahami apa pun yang dia lakukan atau katakan."

Mutia melirik Karenina yang duduk tertunduk di sebelahnya.

"Kamu pasti paham dengan apa yang ku maksud,  'kan, Nin?"

Tak menjawab, Karenina menarik napas dalam-dalam.

"Apa benar Mbak Hana melarangmu hamil?"

"Eum ...."

"Jawab jujur. Apa benar?"

Dia mengangguk pelan.

"Saya sadar siapa saya, Mbak, tapi saya istri Mas Wafi dan bukankah kehamilan saya ini begitu diharapkan?"

Mutia diam. Benar, dulu sebelum dia hamil, dirinya memang sangat berharap agar Karenina hamil, tetapi kini? Apakah perasaan itu masih sama? Apakah dia bahagia seperti yang dia ucapkan saat meminta Karenina hamil kala itu?

"Betul, 'kan, Mbak?" Karenina kembali bertanya.

"Oh, iya. Betul." Mutia kemudian melihat jam dinding. "Aku pulang, Nina." Dia beranjak dari duduk.

"Kok keburu, Mbak? Mbak juga belum minum. Duduk dulu yuk."

"Nggak, Nin. Makasih. Nggak  enak juga ditunggu sopir. Jaga baik-baik kondisimu ya." Mutia bertutur sembari mengusap perut adik madunya.

"Iya, Mbak. Makasih."

"Assalamu'alaikum," ucap Mutia lalu membalikkan badan melangkah menuruni anak tangga rumah teras rumah Karenina, sebelum menuju mobil.

Terdengar ponsel Mutia berdering.

"Halo, Mbak Hana?"

Teras yang berundak membuat Mutia harus berhati-hati, tetapi nahas baginya ternyata kakinya melewati satu anak tangga sehingga kami kanan terkilir sementara satu lagi tak mampu menahan bobot tubuhnya sehingga Mutia hampir jatuh terduduk jika tidak segera ditahan oleh tubuh Karenina.

Namun, tubuh langsing Karenina tak sanggup menahan berat Mutia sehingga keduanya jatuh yang terlambat disadari oleh sopir pribadi Mutia.

"Ya Allah, Mbak Mutia!" pekik sopir pribadinya tepat saat Wafi baru saja turun dari mobil.

Mutia memekik terkejut sekaligus kesakitan. Telepon genggamnya sudah tidak lagi dia gubris. Meski terdengar suara Hana terus memanggilnya.

"Mutia! Aisyah!" Wafi, sopir Mutia dan Bu Joko yang terengah-engah datang dari dalam rumah karena mendengar teriakan minta tolong ikut membantu kedua perempuan yang tengah hamil itu.

Wafi terlihat khawatir melihat kedua istrinya. Mutia tampak menahan sakit memegang perut tengah  berpegangan padanya.

Sementara Karenina mengatupkan bibir, dengan memejamkan mata seperti  menahan sakit, dia berjalan dipapah Bu Joko.

"Sakit, Mutia? Kita ke rumah sakit sekarang!"

Tanpa diperintah, pria yang sudah lama bekerja dengan Wafi dan Mutia itu langsung menuju mobil. Dia mendekatkan mobil ke mereka  berdua, karena dia melihat Mutia sangat pucat.

"Sebentar. Aku mau pamit ke Aisyah!"

Berlari kecil, Wafi masuk ke rumah dan bergegas menuju kamar.

"Aisyah? Kamu ke dokter juga ya?" Dia mendekat ke ranjang.

"Aisyah?" Pelan dia menyentuh pipi istrinya.

"Aku baik-baik aja, Mas. Cepat Mas antar Mbak Mutia ke rumah sakit! Aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Mbak Mutia."

Melihat Karenina kembali terpejam setelah berbicara, dia panik.

"Aisyah, please! Aku mau kamu ke rumah sakit juga!"

Karenina menggeleng cepat.

"Akan ada omongan orang lagi tentang Mas kalau kami berdua ke rumah sakit dengan kondisi seperti ini. Sudah, Mas. Aku baik-baik saja. Cepat, Mas. Mbak Mutia butuh pertolongan segera!" tolaknya kali ini mencoba duduk.

"Maaf, Mas Wafi, Mbak Mutia kesakitan." Bu Joko yang muncul di pintu membawa segelas air hangat terlihat cemas.

"Cepat, Mas! Pergilah!"

Tanpa berkata apa-apa, Wafi beranjak meninggalkan Karenina.

"Mbak Nina, ini ada madu saya seduh pakai air hangat. Diminum ya."

"Makasih, Bu."

Pelan dia meneguk minuman tersebut hingga habis.

"Mbak Nina, ada yang sakit?"

"Nggak ada, Bu. Saya mau istirahat dulu, nanti agak sore temani saya ke klinik bisa, Bu?"

"Bisa, Mbak."

Karenina mengangguk sembari mengucapkan terima kasih.

"Saya ke dapur ya, Mbak. Kalau Mbak butuh apa-apa, panggil saya."

"Iya, Bu." Dia lalu merebahkan tubuh, menarik selimut, lalu memejamkan mata.

**

Terima kasih sudah berkunjung 🫰

Dobel update yaa. Seperti biasa, semoga sukaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top