Menikahi Luka 44
Mutia yang tengah menikmati makan siang terkejut karena kedatangan Farhana yang tiba-tiba. Tak biasanya kalak iparnya itu datang tanpa kabar terlebih dahulu.
"Mbak Hana kenapa? Biasanya telepon dulu?"
Sejenak Farhana menoleh ke sekeliling seakan memastikan jika hanya ada mereka berdua di tempat itu.
"Mutia, kamu sudah dengar?"
"Dengar tentang apa, Mbak?"
"Ini penting! Bahkan mungkin suamimu belum tahu soal ini!"
Perempuan yang mengenakan baju hamil berwarna hijau itu mengernyit dengan tatapan mata menyipit.
"Apa itu, Mbak? Sepertinya penting?"
"Sangat penting! Kamu harus jadi orang pertama yang tahu karena ini erat hubungannya denganmu!"
"Mbak Hana, jangan bikin saya penasaran!" Mutia menggigit empal daging dari rawon yang dibuat khadimatnya.
Farhana menyeret kursi lebih dekat ke Mutia, lalu duduk. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bercerita tentang apa yang baru saja dia ketahui.
"Maksud Mbak Hana ... Nina hamil?" Suara Mutia terdengar bergetar seolah tak percaya.
Farhana mengangguk. "Tapi kurasa dia masih menyimpannya sendiri, bahkan mungkin Wafi pun tidak tahu."
Mutia bergeming. Hatinya terasa bercampur aduk. Jika dulu dia begitu menginginkannya kehamilan Karenina, tetapi kini ada sudut hati yang mencoba berontak.
Bagaimana mungkin dia dan Nina hamil bersamaan meski mungkin ada selisih waktu. Lalu bagaimana Wafi, jika mengetahui kedua istrinya hamil, mana yang akan dia prioritaskan? Terlebih jika nanti anak Karenina laki-laki, tentu anak Nina-lah yang akan menempati kandidat utama pengganti Wafi. Lalu bagaimana dengan anaknya yang jelas dinyatakan seorang perempuan?
"Mutia."
"Iya, Mbak?"
"Coba kamu telepon Wafi, tanya ke dia apa dia tahu soal ini!"
"Tapi, Mbak, Mas Wafi ... apa tidak lebih baik jika Mas Wafi nggak tahu soal ini?"
"Maksud kamu?"
"Kalau Mas Wafi tahu, sudah pasti dia akan lebih sibuk dan waktu untuk menemani alu di saat hamil tua akan berkurang."
Farhana menatap adik iparnya.
"Benar juga, mungkin aku yang harus menanyakan hal ini. Aku yang akan mendesak Karenina untuk bicara jujur tentang kondisinya, lalu ...." Dia menarik napas dalam-dalam.
"Lalu apa, Mbak?"
"Aku akan minta agar dia pergi jauh dari Wafi!"
"Maksud Mbak Hana? Pergi jauh?"
"Iya, supaya dia tidak menghantui perasaanmu dan keluarga besar kita!"
Mutia kembali terdiam. Sembari mengusap perut, dia perlahan bangkit.
"Kamu mau ke mana, Mutia?"
Tak menjawab, dia memanggil khadimatnya.
"Ada apa, Mbak Mutia?"
"Tolong bilang ke Pak Min, siapkan mobil! Saya minta antar ke suatu tempat!" titahnya.
"Kamu mau ke mana, Mutia?" Hana ikut bangkit dari duduk.
"Ke rumah Nina," jawabnya tegas
Dahi Hana berkerut mendengar jawaban itu.
"Untuk apa? Ingat apa kata dokter, Mutia! Kamu harus ...."
"Ini urusan Mutia, Mbak. Mutia nggak apa-apa, kok! Lagipula ... akan lebih baik jika bisa mendengar langsung jawaban dari Nina dan mendengar sendiri soal kondisinya!"
Mutia melangkah ke kamar.
"Kamu yakin? Apa perlu Mbak temani?"
Perempuan yang perutnya membuncit itu menoleh sembari menggeleng.
"Nggak perlu, Mbak."
**
Karenina duduk menatap ponselnya. Mencoba meraba-raba tujuan Farhana datang dan segera pergi sebelum bertemu dengannya.
"Bu Joko."
"Iya, Mbak?"
"Apa tadi ponsel saya dibuka Mbak Hana?"
Perempuan paruh baya itu menggeleng.
"Saya tidak tahu, Mbak, tapi tadi Mbak Hana bertanya ponsel itu milik siapa."
Hati Karenina mendadak tak tenang, dia mulai berpikir jika bisa jadi kakak iparnya itu mengetahui soal dirinya karena tak biasanya Farhana pergi begitu saja sebelum bertemu atau berbincang dengannya.
Perempuan yang baru saja tiba dari pesantren itu menarik napas dalam-dalam mencoba memberi afirmasi positif meski dia yakin Farhana sudah melihat wallpaper telepon genggamnya itu.
"Bu Joko, saya mau istirahat dulu ya."
"Iya, Mbak. Eum, Mbak Nina mau makan apa?"
"Saya tadi sudah makan di pondok, Bu."
Bu Joko mengangguk paham. Dia lalu kembali ke dapur. "Mbak Nina, saya mau beli cairan pembersih lantai di warung ya," pamit Bu Joko.
Karenina mengangguk kemudian melangkah ke kamar.
[Aisyah, kamu baik-baik saja, 'kan?] Bibirnya melebar membaca pesan sang suami.
[Baik, Mas. Kenapa tanya begitu?] balasnya.
[Nggak apa-apa, aku cuma khawatir aja.]
[Aku baik, Mas. Ini lagi di kamar barusan pulang dari pondok.]
[Syukurlah. Aku masih di kediaman Ustaz Musa, mungkin sebentar lagi pulang.]
Karenina menatap jam dinding. Sudah lewat pukul satu, otu artinya Wafi akan sangat sebentar di rumahnya. Tentu waktu yang sedikit itu akan sangat tidak memberi nyaman untuk Wafi istirahat karena sore, suaminya itu akan segera kembali pulang menemani Mutia.
[Mas, kalau Mas ke sini, apa nggak terlalu sore?]
[Nggak, Aisyah. Aku bawakan sesuatu untukmu.]
Karenina menarik napas dalam-dalam lalu kembali tersenyum.
[Baik, Mas. Aku tunggu.]
Karenina meletakkan ponsel di sebelahnya, lalu merebahkan tubuh sembari mengusap perut yang masih rata. Bibirnya kembali melengkung indah. Sembari memejamkan mata dia menggumam, "Semoga Allah menjagamu, Nak. Semoga kehadiranmu menjadi penyejuk bagi keluarga ini dan semoga kelak kamu bisa mengemban apa yang seharusnya kamu jalankan."
Sejenak kemudian dia memejamkan mata, tetapi telinganya mendengar pintu diketuk berulang. Sadar jika Bu Joko tidak berada di rumah, dia bangkit .
"Apa itu Mas Wafi?" gumamnya. "Tapi kok cepat banget sampainya?" Dia tak bisa menahan senyum karena gembira.
Mengulum senyum, setelah merapikan rambut dan memoles bibir dengan lipstik tipis, Karenina mengayun langkah meninggalkan kamar menuju pintu depan.
"Mas Wafi!" Matanya menyipit, dan segera menutup mulut dengan tangan, saat tahu siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Mbak Mutia ... masyaallah. Maaf, saya pikir ...."
"Boleh aku masuk?" potong Mutia yang menatap Nina dari ujung rambut hingga kaki.
"Boleh, Mbak. Silakan. Maaf, saya kaget dan sama sekali tidak menyangka Mbak datang ke sini." Dia minggir mempersilakan Mutia untuk masuk.
Menarik napas dalam-dalam, istri pertama Wafi itu masuk kemudian duduk.
"Mbak mau minum apa? Biar saya siapkan."
"Nggak, Nin. Nanti aja. Sekarang aku pengin kamu duduk di sini." Mutia menepuk ruang kosong di sebelahnya.
Melihat paras tak biasa pada Mutia, muncul sejumlah pertanyaan di kepalanya.
"Maaf, Mbak Mutia, saya nggak bisa ke rumah Mbak karena Mas Wafi ...."
"Soal itu aku tahu, Nin. Nggak apa-apa, toh malam hari Mas Wafi menemaniku, dan terima kasih kamu sudah merelakan waktu malamnya untukku," selanya.
Karenina mengangguk pelan. Dia kemudian mengusap perut Mutia. Sambil tersenyum dia berkata, "Masyaallah, dia bergerak, Mbak! Masyaallah!"
Mutia menghela napas perlahan.
"Dia bergerak ... karena mungkin dia tahu dia akan mendapatkan saudara." Mata Mutia memindai paras kaget adik madunya.
"Maksudnya, Mbak?" Nina bertanya ragu.
Tersenyum tipis Mutia bersandar.
"Bayi yang kukandung ini tahu siapa yang mengusapnya barusan. Dia merasakan jika mungkin sebentar lagi dia akan memiliki saudara yang hanya selisih beberapa bulan saja," jelasnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top