Menikahi Luka 42

Mutia mengangkat kepalanya dari bahu Wafi.

"Kamu tahu?"

"Mbak Hana mengancam?" tanyanya lirih. "Aku nggak tahu, Mas."

"Benar kamu nggak tahu? Kamu nggak tahu kalau Mbak Hana melarang Aisyah hamil dengan memberikan pil anti hamil. Kamu nggak tahu?"

"Nggak, Mas. Mbak Hana memberi pil anti hamil ke Nina?" Mutia membulatkan matanya. "Aku nggak tahu, Mas."

Wafi mengusap tengkuk kemudian menarik napas dalam-dalam.

"Kita sudah sampai, ayo turun, kamu bilang mau belanja, kan?"

Mutia bergeming, mungkin dia tahu jika Hana tidak menyukai Karenina, tetapi dia tidak tahu kenapa sampai Hana melakukan hal seperti itu.

"Eum, Mas."

"Ya?"

"Kita pulang aja."

"Loh, kenapa? Kamu bilang kamu mau ...."

Dia menggeleng cepat sembari berkata, "Nggak, Mas. Aku belanja via market place aja. Aku mau pulang dan istirahat."

"Bener nih pulang?"

"Iya, Mas."

"Oke, Pak Agung, kita langsung pulang aja. Nggak jadi belanja," titah Wafi yang ditanggapi anggukan oleh pria di balik kemudi itu.

**

Lama Wafi mengetuk pintu, akhirnya Karenina muncul. Wajahnya terlihat lebih cerah meskipun sedikit pucat.

"Aisyah? Kamu sakit?" tanya Wafi saat mereka duduk di ruang tengah.

"Nggak, Mas. Kenapa?"

"Kamu pucat. Kita ke dokter ya."

"Nggak usah, Mas. Oh iya, bagaimana kondisi kehamilan Mbak Mutia?" Dia mengalihkan pembicaraan.

"Baik, alhamdulilah."

"Alhamdulillah, eum ... nanti kalau Mas balik, titip ini ya, berikan ke Mbak Mutia." Dia menyodorkan kado cukup besar kepada sang suami.

"Apa ini?"

Menarik kedua sudut bibirnya dia berkata, "Dari beberapa artikel yang aku baca, ketika seorang ibu melahirkan dia akan merasa kepayahan, tapi seringkali orang-orang di sekitarnya tidak menyadari ini, mereka lebih fokus kepada bayinya, sementara sang ibu dibiarkan memulihkan kondisi fisik dan tentu saja jiwanya."

Wafi menyimak dengan tatapan tak beranjak dari paras sang istri.

"Lalu?"

"Lalu, bukan tidak mungkin si ibu akan merasa ditinggalkan bahkan ada sebagian yang merasa tidak dihargai, hingga muncul baby blues seperti yang banyak juga dialami oleh para ibu. Jadi sebagai bentuk penghargaan itu, saya memberikan sesuatu untuk Mbak Mutia dan calon putrinya," papar Karenina dengan senyum tulusnya.

Mengusap puncak kepala sang istri, Wafi mengucapkan terima kasih.

"Aku akan berikan ke Mutia. Sekali lagi, makasih ya."

"Mas mau makan apa? Aku buatin."

"Aisyah, kita ke dokter ya." Wafi seperti tidak yakin jika istrinya baik-baik saja.

"Mas, kenapa? Saya nggak sakit, saya cuma ...."

"Jangan bilang cuma kelelahan, Aisyah. Aku menikahimu, aku harus bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi padamu. Tanggung jawabku berat, tidak hanya di dunia, tapi di akhirat juga. Apa yang akan kukatakan jika Allah mempertanyakan posisiku saat kamu sakit?"

"Mas ...." Mata Karenina berkaca-kaca mendengar penuturan sang suami. "Jangan bicara begitu, aku ikhlas, Mas. Aku ikhlas dengan apa yang terjadi padaku saat ini. Aku tidak Bakan menuntut apa pun pada Mas Wafi atau siapa pun."

"Nggak, Aisyah. Aku tahu kamu ikhlas, tapi aku suamimu. Aku harus bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi padamu. Aku sudah berjanji pada Allah begitu aku mengucapkan ijab kabul. Kamu paham itu, 'kan?"

Sejenak dia diam. Jika ke dokter sudah pasti kehamilannya ini akan diketahui oleh sang suami, tetapi bukankah hal itu akan lebih baik? Wafi tentu akan lebih menjaga dia dari apa pun yang mungkin saja bisa dilakukan oleh Farhana.

"Aisyah, sebaiknya kamu siap-siap, kita ke dokter sekarang ya."

Segaris senyum tercipta di bibir Karenina. Meraih tangan suaminya, dia bangkit mengajak Wafi ke kamar. Mengernyit gak mengerti, Wafi melangkah mengikuti sang istri.

"Mas duduk dulu," titahnya melangkah menuju laci, "tunggu sebentar."

Mengambil alat pendeteksi kehamilan, Karenina menyembunyikan kedua tangan di belakangnya.

"Ada apa, Aisyah?"

"Mas, apa yang Mas lakukan ketika Allah memberi kebahagiaan kepada Mas Wafi?"

"Tentu saja aku bersyukur."

"Meskipun kebahagiaan itu sama sekali tidak pernah disangka?"

"Tentu saja."

"Meski kebahagiaan itu mungkin tidak diinginkan oleh sebagian orang? Apa Mas tetap akan berbahagia?"

Wafi bangkit dari duduknya menghampiri Karenina.

"Apa yang kamu sedang sembunyikan, Aisyah? Kamu menyembunyikan sesuatu lagi?" Wafi penasaran.

Masih dengan senyum, Karenina menyerahkan hasil testpack pagi tadi. Tentu saja dia garis merah itu sangat mengejutkan sekaligus membuat dirinya tak percaya bercampur gembira.

"Aisyah? Kamu ... masyaallah, Aisyah! Kamu hamil?" Mata Wafi terlihat berkaca-kaca. Tanpa menunggu jawaban dari istrinya dia memeluk Karenina erat. Bibirnya tak berhenti mengucapkan syukur dan memuji nama Allah.

"Aisyah, kita ke dokter sekarang!" ujarnya sembari melepas pelukan. "Aku mau tahu apakah anak kita sehat, apa jenis kelaminnya apa ...."

"Mas Wafi, jangan gitu ah! Mana bisa tahu apa jenis kelaminnya, ini masih belum berbentuk juga," tuturnya menahan tawa.

Wafi menepuk dahinya sembari tertawa kecil.

"Aku terlalu excited, masyaallah ini karunia Allah yang diberikan padaku. Pada akhirnya aku akan memiliki dua anak nantinya." Satu kecupan manis disematkan di dahi sang istri.

Perlahan dia mengajak Karenina untuk duduk. Wafi tampak mengambil ponsel dari kantong bajunya.

"Mas mau telepon siapa?" Karenina tampak cemas.

"Umi. Beliau harus tahu kabar bahagia ini. Mutia juga harus tahu!"

"Mas Wafi." Dia menahan tangan Wafi sembari menggeleng. "Jangan, Mas. Jangan sekarang," pintanya.

Wafi terlihat heran, dahinya berkerut dengan mata menyipit.

"Kenapa, Aisyah?"

Membasahi tenggorokannya, dia kembali menggeleng.

"Jangan sekarang, Mas. Sebaiknya menunggu Mbak Mutia melahirkan dan semuanya sudah kondusif, baru Mas bisa menyampaikan hal ini pada semuanya."

Wafi terlihat tak setuju, tetapi Karenina kembali menjelaskan mengapa dia melarang.

"Mas, Mbak Hana benar-benar tak ingin saya hamil. Mas tahu itu, 'kan? Bukannya saya suuzon, tetapi berhati-hati itu lebih baik, bukan?"

"Aisyah, besok aku ke rumah Umi, aku akan bicara dengan Mbak Hana sekaligus Umi. Aku akan katakan semuanya yang terjadi padamu. Semua ulah Mbak Hana yang membuatmu menderita selama ini."

"Jangan takut, Aisyah. Ada aku. Aku yang akan melindungimu, meski Mbak Hana kakakku, jika dia salah tetap akan kuluruskan. Karena ini sudah keterlaluan," sambungnya.

Wajah Karenina masih terlihat tegang. Dia benar-benar belum ingin berita kehamilannya ini diketahui oleh yang lainnya selain Wafi. Dia bisa menempatkan diri sebagai Mutia.

"Mas Wafi."

"Iya?"

"Boleh saya meminta sesuatu?"

"Boleh, kamu minta apa? Katakan!"

"Tolong, demi kebaikan saya dan calon anak kita ... untuk sementara Mas tahan dulu ya. Jangan beritahu siapa pun dulu. Saya khawatir Mbak Mutia merasa tidak nyaman."

Wafi menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa kamu selalu mengkhawatirkan orang lain, Aisyah? Sementara yang lebih harus dikhawatirkan adalah kamu. Heum?"

Dia tersenyum tipis sembari merapikan anak rambut yang berserak di dahinya. Mungkin keadaannya akan lain jika hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu.

Dia tidak pernah memikirkan atau memperhatikan orang lain. Siapa pun itu. Kala itu di kepalanya hanya bagaimana dirinya bisa bahagia bahkan jika harus membuat orang lain terluka.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top