Menikahi Luka 41
Wafi menggeleng, tangannya mengusap lembut kepala sang istri.
"Kamu istirahat ya, besok aku cerita."
Ada mendung di mata Mutia. Dia merasa hati Wafi tak benar-benar ada di sini. Diam-diam muncul sesal. Ucapan Hana kembali menari di kepalanya.
Sekarang akhirnya dia bisa merasakan apa yang dikhawatirkan kakak iparnya itu. Wafi mulai berbeda. Dia tak lagi hangat seperti biasa, bahkan malam ini meski ada sang suami di sebelahnya, dia merasakan kosong.
Mendadak dadanya terasa sesak, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Tak ingin tangisnya pecah, Mutia mengatupkan bibirnya menahan isak. Sementara Wafi sudah lebih dulu tertidur pulas.
**
Karenina memejamkan mata, sementara tangannya gemetar memegang hasil testpack yang baru sama dia pungut dari wadah yang berisi urinenya. Belakangan ini dia merasa mudah lelah, terkadang tiba-tiba dia ingin makan sesuatu yang tidak biasa dia konsumsi.
Seperti malam tadi, akhirnya dia meminta pada security pesantren untuk membelikan kerang saus Padang, setelah sebelumnya dia ingin makan getuk lindri yang biasa dijual di pujasera yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya.
Pelan dia membungka mata. Dua garis merah! Karenina hamil dan jelas terlihat garis itu. Seketika kebahagiaan membuncah, ada kebahagiaan sekaligus rasa hati yang meluap di dadanya.
Degup jantung semakin tak beraturan, anugerah ini sangat bahkan terlalu indah baginya. Lantunan kalimat syukur bergema di hatinya. Allah maha pembuat skenario terbaik. Tak ada yang tak indah jika memang semua dipasrahkan pada-Nya.
Karenina keluar kamar mandi, dia menyimpan testpack itu ke dalam laci. Terdengar suara gaduh di dapur pertanda Bu Joko sudah datang. Perempuan paruh baya itu memang dipercaya memegang satu lagi kunci rumahnya dengan tujuan agar dia bisa leluasa jika hendak bekerja.
Karenina duduk menghadap cermin. Wajahnya benar-benar terlihat berseri setelah akhirnya jika dia sedang hamil. Namun, wajah itu kembali murung jika teringat ancaman dan semua ucapan yang Hana tujukan padanya.
Kini dia berada dalam kebimbangan, bimbang apakah akan dia kabarkan soal kehamilan ini pada keluarga besar suaminya atau dia akan menyimpan sendiri hingga saat yang tepat?
Jika dia mengatakan hal ini segera, tentu akan memecah buncah kegembiraan kedua keluarga besar itu. Karenina siapa yang tidak antusias jika anak yang akan lahir itu adalah keturunan orang terhormat di kota ini.
Sementara dia dipandangan orang banyak adalah perempuan yang sangat berbeda level dengan istri pertama Wafi.
"Hai, Sayang ... Umi ada di sini. Umi berharap kamu kelak menunjukkan jika dirimu pun bisa menjadi penerus kakek dan abimu. Yang kuat ya, Nak. Kita berjuang bersama," ucapnya menunduk sembari mengusap perutnya pelan.
Dia melihat ke arah jam dinding, setengah jam lagi Wafi tiba. Semenjak dia setuju Wafi menemani Mutia di malam hari, suaminya itu selalu tiba sebelum para santri masuk kelas. Pukul tujuh pagi Wafi sudah dipastikan berada di rumahnya.
"Mbak Nina," sapa Bu Joko ramah. "Sudah saya siapkan madu dan lemon hangat buat Mbak Hana."
"Makasih, Bu. Oh iya, Bu, hari ini kita makan siang pecel aja ya. Saya pengin makan sayuran." Karenina duduk di ruang makan.
"Iya, Mbak. Oh iya, kemarin saya ketemu Mbak Hana."
"Oh ya? Di mana, Bu?"
"Saya waktu itu mau ke pasar beli beberapa kebutuhan di rumah, nah Mbak Hana saya lihat sedang bercakap-cakap dengan beberapa ibu-ibu di depan klinik bersalin," terangnya.
Karenina mengangguk lalu menyesap minuman hangat yang sudah disiapkan khadimatnya. Pikirannya kembali berkelana mencoba mencari cara bagaimana agar Farhana tidak tahu kondisinya saat ini.
Kegalauan masih meliputinya. Akankah Wafi diberi kabar atau tidak. Jika Wafi tahu sudah barang tentu keluarga besarnya juga segera tahu, dan Farhana sudah pasti tidak akan tinggal diam.
Tiba-tiba saja dia mulai cemas. Bagaimana jika Farhana berusaha dan memaksa agar dia menggugurkan kandungan. Apa yang akan dia lakukan jika tidak ada Wafi dan kakak pertama suaminya itu datang untuk melakukan sesuatu agar apa yang dia upayakan berhasil.
"Mbak Nina? Mbak?"
"Oh iya, Bu Joko? Kenapa?"
"Mbak ngelamun?"
"Nggak, Bu. Saya cuma ... saya cuma khawatir."
"Khawatir kenapa, Mbak?"
"Khawatir soal Mbak Mutia. Sekarang, 'kan sudah dekat menjelang kelahiran putrinya," tuturnya beralasan.
"Kita doakan saja, Mbak. Semoga ibu dan bayinya selamat."
"Putri? Anak Mbak Mutia perempuan, Mbak?" Bu Joko menoleh menatap Karenina.
"Iya, Mas Wafi cerita kalau anak mereka perempuan, insyaallah."
Karenina menatap telepon genggamnya, sudah pukul tujuh tepat, tetapi Wafi belum tiba. Tidak ada kabar dari sang suami. Tiba-tiba dia ingat jika hari ini adalah jadwal Mutia kontrol kandungan, dan sudah pasti Wafi menemaninya.
'Periksa. Apa aku harus ke dokter untuk memeriksakan kandunganku?' batinnya bermonolog.
Karenina menatap Bu Joko yang mondar-mandir di dapur. Meski Bu Joko bukan siapa-siapa, tetapi dianmwrasa begitu dekat.
"Bu."
"Iya, Mbak Nina?"
Dia diam cukup lama seolah menimbang-nimbang untuk mengutarakan hal yang ingin dia ungkap.
"Mbak Nina? Ada apa? Apa ada yang harus saya buat untuk Mas Wafi?"
"Oh nggak, Bu. Eum ... saya ke kamar dulu ya. Siap-siap ke pesantren."
"Iya, Mbak. Eh iya, Mbak Nina, Mas Wafi nggak jadi ke sini to?"
"Maaf, kalau jadi Mbak nggak bikinin lemon hangat seperti biasa?"
Karenina menggeleng. "Sepertinya Mas Wafi datang agak siang, Bu. Hari ini jadwal kontrol Mbak Mutia."
Bu Joko mengangguk paham. Sementara Nina mengayun langkah menuju dapur.
**
Hati Mutia berbunga-bunga mendengar penjelasan dokter kandungannya. Bayi yang dia kandung dalam kondisi sehat, pun demikian dengan dirinya. Hanya saja tadi tekanan darahnya sedikit tinggi. Menurut dokter itu hal wajar asal tekanan darahnya bisa dikondisikan.
"Ibu jangan stres, Bu. Tetap makan makanan bergizi dan vitaminnya diminum ya." Demikian pesan dokter tadi.
Rasa syukur pun terlihat dari Wafi. Pria itu gak kalah bahagia terlebih setelah tahu kondisi ini dan calon bayinya sehat.
"Mas."
"Ya?"
"Kita belanja yuk!" ajaknya sembari menggelandot manja di lengan sang suami.
"Belanja? Kamu mau beli apa lagi? Bukannya semua keperluan anak kita sudah siap semua?"
Bibir Mutia melebar. Memang benar ucapan suaminya. Semua kebutuhan perlengkapan bayi mereka sudah siap, tak ada satu pun yang terlewat. Itu karena baik kedua orang tua maupun mertuanya sudah membeli semua kebutuhan calon cucu mereka.
"Iya, Mas, tapi aku juga pengin kita belanja berdua. Kan selama aku hamil kita sama sekali nggak pernah lagi belanja bareng?" rajuknya.
Wafi menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk. Dia kemudian memerintahkan sopir pribadinya untuk mengarahkan mobil ke pusat perbelanjaan.
Mutia bersorak bahagia, dia merebahkan kepala ke bahu Wafi.
"Tapi nggak lama ya. Kamu ngga lupa, 'kan? Sebenarnya siang sampai sore aku harus bersama Aisyah?"
"Iya, Mas. Aku nggak lupa, kok." Mutia terlihat tidak suka dengan penuturan suaminya barusan.
"Mas."
"Hmm?"
"Mas belum menceritakan apa yang membuat Mas semalam gelisah."
"Ada apa, Mas?"
"Mutia, jawab jujur ya? Apa kamu tahu kalau selama ini Mbak Hana mengancam Aisyah?"
**
Udah dobel update yaa, Teman²
Terima kasih sudah berkunjung ke cerita ini.
Salam hangat 😘🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top