Menikahi Luka 40
Karenina mundur membuat jarak. Tak mungkin dia berbohong. Jika kemarin-kemarin Wafi tidak tahu apa yang terjadi, kini mana mungkin dia tidak berbicara jujur soal obat tersebut.
Namun, bagaimana nanti jika Wafi tidak percaya? Buat bagaimanapun Farhana adalah kakaknya dan dia tentu tidak akan percaya begitu saja tentang hal ini.
"Aisyah? Apa yang kamu sembunyikan? Aku suamimu yang berhak tahu apa pun tentangmu. Katakan, ini obat apa?" Suara Wafi terdengar lembut, tetapi jelas ada ketegasan di sana.
"Itu ... itu obat ...." Dia tak bisa menahan tangis. Air mata Karenina tumpah begitu saja. Sehingga dia tidak bisa melanjutkan ucapannya.
"Aisyah? Kamu kenapa? Tolong jangan bikin aku bingung." Wafi mengajaknya untuk duduk di ranjang.
"Bilang ke aku, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa?" Kembali dia bertanya, tetapi kali ini sambil mengusap pipi basah sang istri.
"Mas Wafi."
"Ya? Kenapa?"
"Mas Wafi janji tidak akan marah pada siapa pun?"
"Marah? Kenapa harus marah?" Matanya menyipit mendengar perkataan sang istri.
Karenina berupaya tenang, dia menarik napas dalam-dalam lalu membuang perlahan.
"Janji ya, Mas. Kalau pun marah, marah saja ke saya. Saya nggak apa-apa."
"Hei hei, ada apa ini sebenarnya, Aisyah? Ada apa?"
"Obat itu ...."
"Iya? Kenapa obat ini?"
"Mbak Hana yang memberikan ke saya untuk diminum."
Wafi menautkan alisnya menelisik paras Karenina.
"Mbak Hana? Kenapa Mbak Hana? Ini sebenarnya ada apa?"
"Mas Wafi."
Wafi menangkup wajah Karenina dengan kedua tangannya.
"Mbak Hana memberikan obat itu agar saya meminumnya."
"Iya, tapi ini obat apa?" Terdengar nada suara tak sabar dari Wafi.
"Obat anti hamil," jawabnya lirih dengan bibir gemetar.
Wajah Wafi sontak berubah, rahangnya mengeras dengan mata berkilat amarah.
"Apa kamu bilang, Aisyah? Obat anti hamil? Mbak Hana memberimu obat ini dengan tujuan supaya kamu tidak hamil?" Dadanya naik turun dengan wajah memerah.
"Mas Wafi, sabar. Mas istighfar." Karenina mencoba menenangkan.
"Dan kamu diam saja? Kamu menuruti apa yang diperintahkan Mbak Hana?"
"Nggak, Mas. Nggak! Dengar penjelasanku dulu, Mas."
Wafi memijit pelipisnya, kekecewaan bercampur amarah memenuhi rongga dadanya. Sigap Karenina mengambil air mineral yang memang selalu tersedia di kamarnya.
"Minum dulu, Mas. Tenangkan hati, istighfar, ambil wudu," tuturnya lembut.
Wafi bangkit menuju kamar mandi, setelah meneguk minuman di tangan istrinya.
"Mas mau berbaring?" tanyanya saat sang suami selesai berwudu. "Berbaring di sini, supaya lebih tenang." Dia menepuk paha mempersilakan sang suami berbaring di sana.
Perlahan Wafi merebahkan tubuhnya. Napas pria itu terlihat lebih stabil dan tenang. Pun demikian dengan wajahnya yang terlihat dipenuhi amarah tadi sudah sedikit pudar.
"Aisyah, tolong ceritakan ke aku apa yang sebenarnya terjadi. Tolong jujur ke aku."
Sembari mengusap rambut Wafi, Karenina menceritakan hal yang sesungguhnya bagaimana awal mula Farhana memberikan obat itu padanya.
"Jadi Mbak Hana sering ke sini?" Wafi masih berbaring menatap istrinya.
"Iya, Mas."
"Dan kenapa kamu tidak pernah cerita apa pun ke aku?"
"Saya khawatir dan takut, Mas."
"Apa yang membuatmu khawatir?"
"Saya khawatir Mas dan Mbak Hana bertengkar karena saya, jawabnya pelan.
"Saya tidak ingin keluarga Mas Wafi saling salah paham karena saya. Saya tidak mau hal buruk terjadi di keluarga Mas Wafi. Saya sangat menghormati Umi, apa jadinya jika Umi tahu soal ini, saya nggak mau itu terjadi, Mas," terangnya.
Wafi memejamkan mata sejenak, dia tampak menarik napas dalam-dalam lalu perlahan duduk.
"Aisyah, tatap aku," titahnya sembari menangkup wajah sang istri.
"Maafkan aku ya. Maafkan jika aku tidak bisa menjagamu sebagaimana mestinya. Maafkan aku yang selama ini tidak peka pada semua yang terjadi padamu. Apa pun itu, tapi sungguh kejadian ini sudah sangat keterlaluan dan aku tidak bisa tinggal diam," ujarnya dengan rahang yang kembali mengeras. "Mbak Hana sudah sangat keterlaluan!" Dia lalu melepas tangannya.
"Mas Wafi, sudah ya. Jangan dilanjutkan, tidak bada gunanya memupuk amarah. Toh saya tidak pernah mengonsumsi obat itu."
Karenina mengusap lembut lengan Wafi, pria itu menoleh lalu meraih tangannya.
"Aku tahu, dan aku bahagia kamu tidak mengikuti apa yang diperintahkan Mbak Hana, tapi apa yang dilakukan Mbakku itu tidak bisa ditolerir. Aku harus turun tangan untuk hal ini."
"Lagipula ... kalau memang pada akhirnya nanti kamu hamil, sudah pasti Mbak Hana akan kembali mengancammu atau bahkan melakukan hal yang lebih dari sekarang. Dan aku nggak mau itu terjadi!"
Karenina mengangguk samar, teringat pagi tadi dia lupa memakai testpack yang dibelikan Mutia tempo hari. Bukan tanpa alasan dia hendak menggunakan alat itu. Karena seharusnya dia sudah datang bulan pekan ini.
"Mas Wafi, tolong ya, biarkan saya mengikuti apa yang diinginkan Mbak Mutia, saya sejauh ini sama sekali tidak keberatan, kok."
"Nggak, Aisyah! Aku tidak mengizinkan kamu melakukan apa yang diinginkan Mutia."
Bergeming, Karenina memainkan tali bathrobe-nya. Perasaannya kini campur aduk. Sudah barang tentu hak ini cepat atau lambat akan sampai ke telinga Farhana. Karena seperti yang diutarakan Wafi, dia akan tetap menanyakan hal itu kepada Farhana.
"Tapi aku mohon kamu bisa mengerti sebagai gantinya, aku akan menemanimu siang hari sementara jika malam, aku harus di rumah Mutia menemani di akhir-akhir masa kehamilannya. Karena kalau tiba-tiba harus lahir malam hari, tentu akan sulit jika aku di sini, kamu bisa menerima? Atau kalau tidak ...."
"Nggak, Mas. Saya bisa menerima. Insyaallah ini semua untuk kebahagiaan keluarga besar kita, bukan?"
Wafi merengkuh tubuh istrinya dan mengecup lama puncak kepalanya.
"Terima kasih, Aisyah. Meski banyak orang yang menyangsikan dirimu, kamu sudah bisa dengan mudahnya membuktikan jika dirimu adalah bidadari yang Allah kirim untukku," bisiknya tepat di telinga Karenina. "Kamu sudah benar-benar membuatku jatuh cinta, pungkasnya sebelum mereka memadukan raga mereguk cinta.
**
Mutia heran karena Wafi tidak seperti biasanya. Pria itu lebih sering diam dan menatap tumpukan kertas yang dia bawa dari pesantren.
"Mas Wafi?" Mutia mendekat ke meja kerja suaminya.
"Hmm? Belum tidur?" Wafi menoleh meletakkan buku yang baru saja hendak dia buka.
"Mas Wafi kenapa sih?" tanyanya sembari mengusap perut.
Pria yang mengenakan piyama hitam itu tersenyum. Dia bangkit mendekati sang istri. Bertumpu pada lutut, Wafi mengusap lembut perut Mutia.
"Assalamualaikum, anak Abi. Sudah bobok? Ini Umi masih belum bobok. Bobok ya, biar Umi bisa istirahat," bisiknya yang membuat Mutia tersenyum lebar.
"Sudah malam, kamu tidur ya." Wafi kembali menegakkan tubuhnya.
"Mas nggak istirahat?"
Wafi menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk.
"Iya. Istirahat. Ayo!" Merengkuh bahu Mutia mereka melangkah ke kamar.
"Mas Wafi kenapa sih?" Mutia tampak masih tidak nyaman dengan sang suami yang terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu.
Wafi menoleh, dia tersenyum sembari menarik selimut untuk istrinya. Tak lupa menyematkan kecupan di dahi.
"Aku nggak kenapa-kenapa, memangnya ada apa?"
Memiringkan tubuh, Mutia mengusap pipi Wafi yang juga tengah menghadap padanya.
"Sejak sore tadi, Mas lebih sering diam. Apa ... apa ini karena Mas kepikiran Nina?" tanyanya menyelidik dengan suara lirih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top