Menikahi Luka 39

"Maaf, Mbak Nina, beberapa waktu lalu saya menemukan obat-obatan ini saat membersihkan kamar Mbak Nina." Bu Joko menyodorkan obat yang dia maksud ke Karenina.

"Ya Allah, Bu Joko kenapa baru bilang ke saya?"

"Waktu itu saya mau bilang, tapi tidak jadi karena Mas Wafi keburu datang," jelasnya.

Karenina menarik napas dalam-dalam lalu memasukkan ke kantong gamisnya.

"Mbak Nina."

"Iya, Bu?"

"Saya minta maaf.

"Minta maaf? Untuk apa?"

"Saya tidak sengaja mendengar obrolan Mbak Nina dengan Mbak Hana waktu itu."

Karenina sontak menautkan alisnya menelisik Bu Joko.

"Obrolan? Obrolan yang mana?"

"Tentang obat itu, Mbak. Maafkan saya, tapi saya sama sekali tidak bermaksud untuk mencuri dengar, tapi ...."

"Nggak apa-apa, Bu. ibu nggak salah, tapi saya minta ibu rahasiakan hal itu ya, Bu," potongnya.

"Saya nggak mau Mas Wafi tahu soal ini," imbuhnya.

"Kenapa, Mbak? Bukannya Mas Wafi berhak untuk tahu?"

Dia bergeming, apa yang diucapkan Bu Joko tidak salah. Wafi akan tahu, tapi tentu tidak untuk saat ini.

"Tidak sekarang, Bu. Saya nggak mau ketenangan ini berubah. Saya hanya ingin keluarga Mas Wafi tidak kacau dengan adanya saya," dalihnya.

"Maaf sekali lagi, Mbak, tapi apa yang dilakukan Mbak Hana itu keterlaluan, Mbak."

Dia tak menyahut. Karenina hanya menarik singkat bibirnya kalau kembali ke sketsa desain gamis yang dia buat.

**

Wafi diam mendengar penuturan mertuanya. Sesekali dia tampak mengangguk dan sesekali dia menarik napas dalam-dalam.

Seperti yang direncanakan. Sore itu meski mendung dan sedikit gerimis, Malihah tetap datang dan mengungkapkan apa yang dia ingin sampaikan.

"Umi rasa kamu juga nggak mau jika terjadi sesuatu pada Mutia, 'kan?" Malihah menelisik menantunya.

"Iya, Mi. Tentu saja Wafi tidak ingin Mutia kenapa-kenapa."

"Syukurlah, jadi permintaan Umi untuk sementara tidak tinggal di rumah Nina tidak berlebihan, 'kan?"

Kedua tangan Wafi bertumpu di pahanya. Wajah pria berkulit bersih itu terlihat gamang sekaligus gusar. Tidak biasanya Malihah datang dengan tujuan yang sama sekali tidak pernah dia duga.

Sejenak dia menoleh ke Mutia yang duduk di sebelah Malihah. Istrinya itu sejak tadi memilih bungkam.

"Umi, Nina adalah istri Wafi, dia berhak mendapatkan apa yang seharusnya dia dapat termasuk giliran mendatanginya. Wafi tidak mau berjalan berat sebelah."

"Wafi rasa Mutia paham soal ini," imbuhnya.

"Mutia, bukankah jauh sebelum aku menikah dengan Nina sudah kuingatkan soal ini?" Tatapan Wafi sedikit menusuk kepada Mutia. "Tapi kamu memaksa dengan ribuan alasan sehingga aku menyerah."

Wafi menarik napas dalam-dalam. "Apakah kamu yang meminta seperti itu, Mutia? Kamu tega melihat suamimu berjalan pincang di akhirat nanti?"

Mutia menggeleng cepat, "Bukan itu yang aku maksud, Mas. Aku sudah memberi solusi untuk itu kemarin, 'kan? Tapi Mas sepertinya keberatan mengabulkan permintaan itu."

"Mas dengar, 'kan, apa kata dokter kemarin waktu kita periksa? Mas pasti masih ingat jika sebaiknya aku ada yang menemani saat Mas tidak di rumah kalau malam hari?" Mata Mutia mulai berkaca-kaca. "Aku ingin merasa nyaman, Mas. Dan aku nyaman saat ada Mas di sampingku di saat-saat seperti ini."

Malihah menatap Wafi tajam. Dia semakin khawatir jika apa yang dipikirkan Farhana benar terjadi.

"Jadi kamu tidak bersedia meski Umi yang meminta?" timpal Malihah. "Umi pikir, Karenina bisa paham kalau kamu bicara soal ini. Dan memang seharusnya dia paham!"

"Umi, mohon maaf, Aisyah memang sudah tahu soal ini. Soal keinginan Mutia agar Aisyah tinggal di rumah ini, saat ini tidak mungkin."

"Kenapa? Sementara kehamilan Mutia semakin tua. Apa perlu Mutia Umi bawa pulang agar kami tidak khawatir?" Kali ini Malihah seolah mengancam.

"Umi, biarkan hal ini jadi pembicaraan intern kami berdua. Tanpa mengurangi hormat Wafi ke Umi," tuturnya sopan.

"Apa Nina menolak?" tanya Mutia.

"Aisyah sakit dan dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tolong, biarkan dia menyelesaikan apa yang menjadi kewajibannya. Menemanimu bukan kewajiban Aisyah."

Wafi mengembuskan napas perlahan. "Soal jadwal giliran ... aku bisa atur dan aku pastikan malam hari aku bersamamu."

**

Farhana meradang mendengar Mutia mengutarakan apa yang terjadi setelah pertemuan Wafi dengan uminya. Dari ucapannya jelas jika Mutia tidak terima dengan sikap Wafi yang terkesan menurut dia melindungi Karenina.

"Mutia, ini semua terjadi karena kamu membuka lebar pintu untuk Karenina!" sesal Hana.

"Andai kamu bersabar sedikit lagi, niscaya hal ini tidak terjadi!" imbuhnya.

"Saya tidak berpikir sejauh itu, Mbak. Saya hanya ingin Mas Wafi bisa memiliki anak, itu saja. Tapi ...."

"Sudahlah! Semua sudah terjadi. Sekarang kamu tidak perlu meminta apa pun lagi soal Nina. Buat nanti Mbak yang urus!"

"Tapi, Mbak, kata Mas Wafi, Nina, 'kan ...."

"Sakit?" potongnya sambil mengambil minuman di meja. "Sakit, minum obat nanti juga sembuh!"

"Saya khawatir kalau dia masih sakit, Mbak."

"Nggak, Mutia. Dia sudah sembuh, kok. Umi cerita kalau dia cuma kelelahan aja," jelasnya.

Mutia menunduk, jika Karenina sudah sembuh kenapa Wafi masih terlihat enggan membawa Karenina ke rumahnya? Apakah Nina menolak atau justru Wafii yang tidak rida jika mereka berada di satu atap?

"Sudah, kamu nggak usah khawatir, biar Mbak Hana yang bicara ke Nina. Oh iya, kamu sudah bicara langsung sama dia soal keinginanmu?"

"Belum, Mbak. Saya pikir dengan Mas Wafi yang meminta, sudah cukup untuk Nina mengikutinya."

Farhana menyandarkan tubuhnya di bahu kursi.

"Sebaiknya kamu telepon dan cari tahu sendiri seperti apa kondisi dan apa jawaban Nina soal ini!"

**

"Assalamualaikum, Aisyah."

Wafi membuka pintu kamar, terdengar suara air dari dalam kamar mandi. Senyum tercetak di bibirnya, sembari menunggu sang istri mandi, Wafi duduk di bibir ranjang. Sejebak mengistirahatkan tubuh dia bersandar pada tumpukan bantal.

Ponselnya yang ada di saku bajunya bergetar, satu pesan masuk dari staf pengajar pesantren. Setelah membalas pesan masuk, dia meletakkan ponsel itu ke meja yang terletak di sebelah tempat tidur.

Ada yang menarik perhatiannya sehingga alisnya saling bertaut.

"Obat apa ini? Aisyah sakit apa sehingga harus mengonsumsi obat? Kenapa selama ini aku nggak tahu dan kenapa dia juga tidak pernah cerita?" gumamnya sembari membolak-balik obat tersebut.

Tak lama kenop pintu kamar mandi berputar, Karenina terlihat segar dengan rambutnya yang masih basah. Wajah perempuan berkulit putih itu sontak berubah saat melihat sang suami sudah duduk di ranjang dengan obat pemberian Farhana di tangannya.

"Mas Wafi? Kenapa nggak kasi kabar kalau mau ke sini?"  Karenina cepat mendekati Wafi dan mencium punggung tangan sang suami.

Pikirannya bekerja keras untuk menjawab pertanyaan Wafi tentang obat yang tengah berada di tangannya itu.

"Tadinya aku mau ngasi kabar, tapi ... aku ingin buat kejutan, dan berhasil, 'kan?" Dia mengusap pipi istrinya.

"Wangi! Aku suka," bisik Wafi kemudian menyematkan kecupan singkat di bibir Karenina.

"Mas Wafi, saya ganti baju dulu ya, eum ... obat itu ...."

Tanpa dia duga, Wafi justru menarik tubuhnya perlahan hingga mereka tak berjarak.

"Nggak perlu ganti baju. Kamu nggak akan ke mana-mana," bisiknya tepat di telinga sang istri.

"Katakan, kenapa kamu menyembunyikan sakitmu? Obat apa ini, Aisyah?"

**

Terima kasih sudah mampir di kisah ini. Semoga selalu suka yaa. Love you all

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top