Menikahi Luka 37
Karenina merapikan berkas-berkas sang suami di meja ruang tengah. Satu kertas terlepas dari tangannya, segera dia membungkuk memungut lembaran tersebut. Keningnya mengernyit membaca deretan nama donatur tetap untuk pesantren yang dikelola Wafi.
"Papa?" gumamnya dengan bibir bergetar. Nama papanya tertera di sana bersama puluhan orang lainnya.
Tanpa sepengetahuannya, ternyata sang papa sudah lama menjadi donatur tetap untuk pesantren ini, dan tepat di tahun papanya meninggal, tak ada lagi yang meneruskan kebiasaan baiknya itu.
Perlahan ingatannya berkelana. Kembali tampil kilasan kebersamaan dengan papanya. Pria yang paling menyayanginya itu sama sekali tidak pernah berkata kasar meski dirinya lebih sering menyusahkan. Perhatian dan kehangatan papanya kembali terasa, membuat hati Karenina menghangat karena rindu.
Tanpa disadari setitik air mata jatuh tepat saat Wafi muncul.
"Aisyah? Kamu menangis? Kenapa?" tanyanya sambil mengulurkan tangan mengusap air mata sang istri dengan jemarinya.
"Nggak, Mas. Nggak nangis, kok, cuma ...."
"Meneteskan air mata? Heum?" Dia mendekat meraih bahu istrinya. "Ada yang membuatmu bersedih? Katakan, ada apa!"
Karenina tak menjawab, hatinya semakin nelangsa mengingat sang papa. Perlahan kerinduan semakin memuncak, benar kata pepatah jika semuanya akan terasa sangat berarti jika sudah tiada.
"Aisyah? Kita duduk dulu ya."
Mereka duduk berdampingan, sementara kertas yang bertuliskan nama-nama donatur masih dipegang erat oleh Karenina. Penasaran, Wafi mencoba mengambil lembaran tersebut.
"Apa ada hubungannya dengan lembaran ini?" Dia menoleh menatap Karenina yang masih bergeming dengan air mata yang kembali mengalir. "Aisyah?"
Tak mendapatkan jawaban, Wafi membaca satu persatu daftar nama di kertas itu. Bibirnya berhenti bergumam kala membaca nama seseorang yang pernah dia sebut di belakang nama sang istri. Agung Wicaksana. Karenina Aisyah binti Agung Wicaksana.
"Ini nama ... papamu, kan?" Wafi menatap dengan penuh tanya.
Mengangguk pelan, Karenina menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kali ini isaknya terdengar keras.
Tak menyangka jika almarhum mertuanya adalah seseorang yang mendonasikan hartanya yang cukup besar untuk pesantren, muncul rasa hormat yang luar biasa sekaligus salut, dan tentu saja dia bisa merasakan kesedihan sang istri.
Wafi baru tahu karena untuk masalah donatur dan pembangunan bukan urusannya, ada staf khusus yang bertugas untuk itu. Dan kertas yang dia simpan dalam map itu adalah laporan beberapa donatur yang sudah meninggal dunia.
"Ternyata ini jawaban dari segala pertanyaanku. Allah punya rencana indah untuk kita. Dia mempertemukan aku dengan seseorang yang punya andil besar pada pesantren ini dan kamu adalah bagian terbaik dari hidup beliau yang diberikan lewat Allah untukku."
Wafi memeluk erat sang istri, betapa indah cara Allah mempertemukan dia dengan Karenina. Siapa pun tentu akan sangat risih jika mereka masih mengulik masa lalu sang istri. Bukan dia tak mendengar kasak-kusuk yang saat ini menyeruak, tetapi Wafi memilih menutup telinga rapat-rapat karena tak ingin melihat Karenina merasa tidak nyaman.
"Papa tidak pernah bercerita apa pun pada saya soal ini, Mas. Andai beliau tahu, betapa saat ini saya merasa bangga memiliki beliau," tuturnya di sela isak.
"Dan beliau pasti lebih bangga dan bahagia memiliki kamu, Aisyah," bisik wafi tepat di telinga Karenina.
"Dan aku pun sangat bahagia memilikimu juga mertua seperti beliau," imbuhnya sembari mengeratkan pelukan.
**
Farhana meletakkan potongan apel ke piring kalau menyodorkan kepada Mutia.
"Banyak makan buah, Mutia."
"Makasih, Mbak."
Dia mengangguk lalu membuang napas perlahan.
"Nggak terasa sudah enam bulan lebih, itu artinya kira-kira tiga bulanan lagi kita bisa melihat betapa cantiknya putrimu dan Wafi," ungkapnya.
"Alhamdulillah, iya, Mbak. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kemudahan untuk aku dan bayiku." Mutia mengusap lembut perutnya.
"Kapan giliran Wafi ke rumah?" tanyanya menatap adik iparnya.
"Satu pekan lagi."
Alis Farhana bertaut mendengar jawaban Mutia.
"Satu pekan lagi? Bukannya sudah sejak pekan kemarin Wafi berada di rumah Nina?"
"Iya, Mbak, sebagai ganti setelah beberapa bulan belakangan ini Nina hanya dapat giliran yang sangat sedikit," terangnya.
Farhana gelisah, sejak beberapa bulan dia memang tidak lagi mengontrol Karenina. Dia tak tahu apakah adik iparnya itu meminum obat anti hamil darinya atau tidak. Apakah obat itu sudah habis atau masih ada.
Menarik napas dalam-dalam, Farhana bangkit dari duduk.
"Mbak Hana mau ke mana?"
"Sebentar ya. Mbak mau keluar ada perlu. Eum ... kamu mau dibelikan makanan atau apa gitu?"
"Nggak usah, Mbak." Mutia menggeleng.
Farhana memungut tas tangannya lalu menatap Mutia.
"Mutia, jujur Mbak nggak bisa terima soal mengganti giliran yang kamu ucapkan tadi."
"Kenapa, Mbak?"
"Mendampingi istri yang sedang hamil adalah kewajiban suami. Apa pun itu. Tidak peduli dia memiliki istri lebih dari satu!"
Mutia bergeming. Sebenarnya dia tak ingin membuat hati Karenina luka karena harus terus memaklumi ketidakhadiran Wafi di rumahnya untuk waktu yang cukup lama. Tak dipungkiri kehamilan ini adalah hal yang ditunggu-tunggu olehnya dan tentu saja Wafi, maka sebagai perempuan hamil dia pun ingin selalu ditemani oleh suaminya. Namun, dia khawatir jika hal itu membuat Karenina berkecil hati dan merasa ditinggalkan.
"Nggak apa-apa, Mbak. Toh untuk selanjutnya Mas Wafi akan bicara siapa ini kepada Nina. Karena saya sudah meminta agar Mas Wafi kembali meminta Nina untuk kembali menemani saya terlebih di akhir masa kehamilan ini."
"Kamu minta agar Nina ke sini lagi?"
"Iya, Mbak. Ada kamar di sini, saya berharap dia mau tinggal di rumah ini dengan begitu Mas Wafi tidak perlu ke rumah dia, sampai saya melahirkan,"
Bibir Farhana tertarik singkat. Tak menyangka upayanya untuk membuat Nina tak tahan dengan pernikahannya sedikit terbantu oleh kehamilan dan mood Mutia.
"Baguslah. Kapan dia ke sini?"
"Mungkin dua bulan lagi, menjelang persalinan, Mbak."
**
Beberapa orang santriwati memapah Karenina yang tiba-tiba pingsan saat menyimak hapalan mereka. Sebenarnya sejak beberapa hari belakangan ini kesehatannya sedikit terganggu.
Kemarin sore saat Wafi harus kembali ke kediaman Mutia, dia sudah merasakan tidak nyaman pada badannya. Hanya saja hal tersebut dia abaikan karena tidak ingin membuat suaminya khawatir.
Bu Joko terlihat panik saat majikannya itu terkulai lemas di ranjang. Parasnya seputih kapas. Dengan lembut dia membantu Karenina untuk meminum teh hangat. Sementara santriwati yang tadi mengantarnya pulang sudah kembali ke pesantren.
"Mbak Nina, apa perlu ke klinik pesantren? Kalau iya, saya antar yuk, Mbak."
"Nggak, Bu. Saya cuma harus istirahat saja. Karena sejak kemarin saya memang nggak tidur." Dia kembali merebahkan tubuh.
"Ya sudah, eum ... sebaiknya Mbak kasi kabar ke Mas Wafi, Mbak." Bu Joko berkata sebelum dia meninggalkan kamar.
"Nggak perlu, Bu. Saya nggak apa-apa, kok."
Menarik napas dalam-dalam, Bu Joko mengangguk lalu menutup pintu pelan sembari menguluk salam.
**
Aku mau ngucapin terima kasih sudah mengikuti kisah ini. Terima kasih juga karena selalu memberi support untukku. Sungguh support kalian berupa komentar itu sangat berarti.
Peluk erat 🤗🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top