Menikahi Luka 35

Kasak-kusuk tentang masa lalu Karenina seperti bola salju yang menggelinding liar. Tak bisa dipungkiri hal itu akhirnya mengganggu Hadijah. Sore itu Hadijah duduk berhadapan dengan putrinya di bangku taman di halaman belakang. Perempuan paruh baya yang masih terlihat energik itu memindai tajam paras Farhana.

"Umi tahu kamu tidak suka dengan Karenina, itu sebabnya Ini tanyakan ini padamu."

Farhana menyandarkan tubuhnya kalau menoleh.

"Umi menuduh Hana yang menyebabkan masa lalu Nina tersebar begitu, Mi?"

"Umi tidak menuduh, Umi bertanya kepadamu karena hanya kamu di keluarga kita yang tidak nyaman dengan kehadiran Karenina."

Seringai muncul di bibirnya.

"Lagipula mungkin memang sudah saatnya mereka tahu, Mi."

"Jadi benar kamu yang menyebarkan soal Karenina?"

Anak pertamanya itu diam.

"Kamu keterlaluan, Hana! Umi ngga menyangka kamu punya sifat busuk seperti itu. Apa maumu, Hana? Amarahmu pada istri Wafi itu sama sekali tidak berdasar! Dia tak ada masalah denganmu. Jangan hanya karena mantan suamimu direbut oleh sahabatnya kalau kamu berhak melampiaskan sakit hatimu pada Nina. Itu sama sekali tidak benar!" cecar Hadijah.

Farhana masih dia, tapi jelas di wajahnya tak tampak penyesalan dan rasa bersalah sedikit pun.

"Umi, apa yang bisa diharapkan dari seorang perempuan yang berlatar belakang seperti Nina itu?"

"Farhana!"

"Umi, maafkan Hana, maafkan kalau kali ini Hana berseberangan dengan Umi. Coba Umi renungkan, pernikahan Wafi dengan perempuan itu adalah sebuah kesalahan dan ketergesaan." Hana menarik napas dalam-dalam.

"Umi, Sofia bahkan Mutia, rencana itu hanya karena napsu. Hana tahu Nina itu cantik, sangat cantik. Tapi bukan itu seharusnya yang  dijadikan landasan menikahkan adik Hana dengan dia, Umi."

"Hana heran, kenapa Umi tidak berpikir lebih dalam soal ini. Dan sekarang ... Allah sudah menjawab, kan? Buktinya, Mutia hamil dan perempuan itu? Nggak. Hana berharap dia tidak hamil selamanya."

"Farhana! Tahan kata-kata burukmu itu!" bentak Hadijah. "Jangan pernah mengeluarkan kalimat buruk untuk siapa pun. Kamu nggak usah memupuk kebencian dengan dalih yang kamu ungkap tadi."

"Hana tidak sedang berdalih apa pun, Umi. Hana cuma ingin Umi sadar kalau menikahkan Wafi dengan Karenina itu adalah sebuah kesalahan besar."

Sejenak ruangan itu hening. Hadijah menarik napas dalam-dalam. Sementara Farhana justru terlihat santai. Dia benar-benar tak ingin ada Karenina di dalam silsilah keluarganya.

"Umi nggak tahu, kan? Apa yang terjadi saat Hana ke rumah Nina beberapa waktu yang lalu?"

Hadijah menoleh mengalihkan pandangannya ke Farhana.

"Apa yang terjadi? Ada kejadian apa?"

Dengan senyum yang tercetak lebar, Farhana mengisahkan bagaimana dia melihat Karenina saat turun dari taksi online waktu itu.

"Ada interaksi yang tidak biasa antara Nina dengan seseorang di mobil itu. Hana yakin mereka saling kenal, tapi waktu Hana tanya ... Nina nggak ngaku," paparnya.

Hadijah menggeleng tak setuju.

"Kalau pun memang mereka saling kenal memangnya kenapa? Apa itu salah? Apa Nina membawa seseorang itu ke dalam rumah? Nggak, 'kan?" tangkis Hadijah.

"Ya jelas enggaklah, Mi, enggak untuk saat itu. Entah lain waktu."

"Hana, kamu tahu? Justru karena ulahmu sekarang kita jadi buah bibir dan otomatis berimbas ke pesantren. Jadi sebenarnya bukan Nina yang menghancurkan keluarga kita, tapi kamu, Hana!"

Farhana membuang napas kasar, sebagai anak pertama tentu dia tak terima dikatakan seperti itu oleh uminya.

"Jadi Umi sekarang belain Nina menantu Umi itu?"

"Bukan begitu, Hana, Umi kecewa dengan sikap dan perilakumu yang dengki itu."

"Hana nggak dengki, Umi. Hana cuma nggak ingin ada darah perempuan yang nggak jelas itu menjadi bagian keluarga kita jika nanti bisa hamil!"

"Farhana, cukup!" sentak Hadijah. Perempuan yang memiliki wajah teduh itu berubah tegas. Garis wajahnya menampakkan kekecewaan yang teramat sangat.

Hadijah menarik napas dalam-dalam.

"Keputusan Umi menikahkan Wafi dengan Nina bukan tanpa pertimbangan dan alasan. Jadi simpan saja kesimpulanmu itu. Apa pun yang terjadi sekarang,  soal kehamilan Mutia, itu di luar dari kemampuan Uni sebagai manusia biasa."

"Hana hargai keputusan Umi, karena jika tidak tentu Hana sudah minta Wafi untuk menceraikan Karenina. Sekarang kita semua harus fokus pada kehamilan Mutia. Biar bagaimanapun anak yang ada dalam kandungan Mutia adalah anak yang jelas asal-usul ibunya."

Tak lagi menanggapi, Hadijah bangkit dari duduknya menuju kamar meninggalkan Farhana.

'ini semua terjadi karena perempuan itu! Aku nggak akan biarkan dia merusak nama baik keluarga ini,' tuturnya bermonolog.

**

Setiap hari dijalani Karenina dengan lapang dada. Lelah dia singkirkan jauh-jauh demi memberi ketenangan dan kebahagiaan untuk Mutia. Sementara dia pun tak ingin Farhana terus merongrong dengan berbagai ucapan buruk yang ditujukan padanya.

Tak pernah dia mengeluh meski tubuhnya terkadang letih, terlebih pekerjaannya kini semakin berat karena tuntutan dari butik. Beberapa desain yang dia buat banyak digemari, itulah sebabnya Rafika meminta agar Karenina membuat lebih banyak sampel desain yang memungkinkan mereka memproduksi gamis-ganis terbaru di setiap bulannya.

Tak terasa enam bulan sudah dia menemani Mutia melewati masa-masa sulit di awal kehamilan. Kini kakak madunya itu sudah bisa sedikit beraktifitas meski terbatas. Tentu saja hal itu membuat dia bersyukur karena Mutia tidak memintanya setiap hari berkunjung ke rumahnya.

Pun demikian dengan Wafi, beberapa bulan sebelumnya, dia memang lebih sering berada di kediaman Mutia karena permintaan Karenina yang khawatir jika kakak madunya itu hanya berdua saja dengan khadimatnya jika malam hari. Mengingat dari ceritanya, Mutia kadang tak bisa tidur nyenyak dan seringkali menangis jika sendirian.

"Mbak Nina," panggil Bu Joko yang sudah ada di sampingnya membawa nampan.

"Ini tehnya," tutur perempuan paruh baya itu sembari menyodorkan cangkir berisi minuman hangat.

"Makasih, Bu."

Karenina menyesap perlahan. Suasana di luar yang dingin membuat teh hangat itu begitu spesial.

"Sore ini Mas Wafi datang, Bu. Saya mau memasak sup kacang merah nanti," ujarnya meletakkan cangkir ke meja.

"Iya, Mbak. Eum ... kok tumben Ustaz Wafi ke sini, Mbak?" tanya Bu Joko terdengar sangat ingin tahu.

Karenina menautkan kedua alisnya, dia tersenyum mendengar pertanyaan Bu Joko yang tak biasa.

"Eh, maaf, Mbak, bukan maksud saya untuk ...."

"Nggak apa-apa, Bu. Bu Joko sudah saya anggap sebagai keluarga, jadi wajar kalau muncul pertanyaan seperti itu," selanya.

Karenina membuang napas perlahan, kemudian meminta agar khadimatnya itu duduk.

"Bu Joko tahu, 'kan? Kalau Mbak Mutia hamil?"

"Iya, Mbak. Saya tahu."

Perempuan yang mengenakan gamis rumahan berwarna pink itu tersenyum.

"Kasihan Mbak Mutia, begitu lama beliau menunggu saat seperti ini dan Allah sudah mengabulkan meski dengan pengorbanan yang tak mudah." Karenina diam sejenak. "Saya yang meminta dengan sadar supaya Mas Wafi memberikan waktunya lebih lama kepada Mbak Mutia demi kebaikan Mbak Mutia dan bayi di rahimnya," imbuhnya.

Bu Joko mengangguk paham, tetapi tentu dia bukan tidak tahu bagaimana Farhana yang tak jemu menyambangi majikannya itu dan berbicara seolah Karenina tak berhak mendapatkan apa yang seharusnya dia dapat.

"Mbak Nina."

"Iya, Bu?"

"Sebelumnya saya minta maaf kalau baru mengatakan hal ini kepada Mbak Nina," jawabnya ragu dengan kepala menunduk.

Mata Karenina menyipit menatap perempuan yang mengenakan jilbab instan berwarna hitam itu.

"Soal apa, Bu? Bu Joko mau mengatakan apa?"

"Ini soal ...."

"Assalamualaikum." Terdengar suara salam dan ketukan pintu dari luar.

"Mas Wafi? Bu, Mas Wafi datang. Kita bicarakan nanti ya. Saya mau bukan pintu dulu."

"Tumben siang datangnya, biasanya sore," gumam Karenina.

Tak ingin sang suami menunggu lama, Karenina berlari kecil menuju pintu untuk menyambut kedatangan suaminya yang beberapa bulan bertandang hanya bisa dihitung dengan jari.

**

Aku suka kalau ada yang komen, btw sejauh ini menarik gak?

Terima kasih sudah berkunjung 🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top