Menikahi Luka 34
Langkah kaki Karenina berhenti saat melihat Wafi tengah duduk menemani Mutia yang duduk di kursi roda di halaman samping rumah mereka. Keduanya terlihat sangat mesra. Tampak Wafi mengusap rambut sang istri yang yang bersandar di bahunya.
Tak ingin mengganggu keduanya, dia perlahan mundur, kalau menuju dapur. Karenina melihat Imah asisten rumah tangga Mutia sibuk menyiapkan jus tomat juga sayuran untuk makan siang mereka nanti.
"Saya bantu, Bik."
"Tapi, Mbak, Mbak, 'kan ...."
"Bukannya kemarin kita satu tim?" canda Karenina.
"Mbak Nina bisa aja, tapi dari tadi Mbak ditunggu loh sama Mbak Mutia."
"Saya emang salah, habis salat Subuh saya ketiduran," jelasnya sembari mencuci selada dan beberapa sayur lainnya.
"Mbak kecapean itu."
"Mungkin saya aja yang tidurnya terlalu malam, Bik," elaknya. "Jadi Mbak Mutia minta makan apa siang ini?" Dia menatap Imah.
"Gado-gado, Mbak."
"Oke, sini saya goreng kacangnya!"
Terlihat Imah keberatan karena dia merasa sangat tidak adil jika melihat Karenina harus terjun ke dapur seperti khadimat.
"Mbak Nina."
"Iya? Kenapa?"
"Mbak Nina ini baik banget!"
Keningnya berkerut saat mendengar ucapan Imah. Sambil tersenyum dia berkata, "Dari mana Bik Imah tahu kalau saya baik?"
"Ya ini, Mbak nggak segan masuk dapur untuk menyiapkan keperluan Mbak Mutia. Kemarin saya yakin Mbak sangat lelah, tapi demi membuat Mbak Mutia senang, Mbak paksakan. Iya, 'kan, Mbak?"
Karenina menggeleng lalu tertawa kecil.
"Bik Imah, untuk semua kebaikan tentu kita nggak boleh merasa lelah apalagi terpaksa. Ini untuk kebahagiaan Mbak Mutia dan Mas Wafi. Dua orang yang saya hormati dan hargai, jadi sudah sepantasnya saya melakukan hal demikian, 'kan?"
Imah tersenyum tipis. Sebelum bertemu dan bercakap-cakap dengan Karenina, dia pernah mendengar dari Farhana, jika perempuan yang menjadi istri kedua Wafi itu adalah perempuan yang biasa di dunia malam. Perempuan yang biasa menemani pria-pria yang butuh hiburan. Gambaran saat itu tentang Karenina jauh seperti yang dia lihat sekarang. Semua yang ada di kepalanya pupus seketika saat melihat Karenina.
Tak ada riasan menor di wajahnya, tak ada kalimat yang menyakitkan yang keluar dari lisannya, dan sama sekali tak dia dapati kesombongan pada setiap tindak tanduknya. Segala gambaran yang muncul musnah seketika saat pertama kali istri kedua Wafi itu tiba di rumah ini. Karenina begitu lembut dan rendah hati, dan sangat membuatnya kagum.
"Bik? Kenapa melamun?"
"Eh, nggak, Mbak. Sini, saya yang blender kacangnya, Mbak." Imah mengambil kacang yang sudah digoreng dari tangan Karenina.
"Mbak Nin."
"Iya, Bik?"
"Sebaiknya Mbak Nina ke halaman samping, buat Mbak Mutia tahu kalau Mbak sudah datang."
Karenina menggeleng.
"Nggak perlu, Bik. Biar saja nanti juga Mbak Mutia masuk. Biarkan saya menyiapkan makan siang bareng Bik Imah aja dulu."
Mereka kemudian memasak berdua. Sesekali Imah mencuri pandang mengagumi kecantikan Karenina.
"Umi Hadijah tidak salah memilih Mbak Nina untuk jadi menantu," cetusnya sambil tersenyum menatap Karenina.
"Kenapa, Bik?"
"Ya karena Mbak Nina cantik! Cantiknya bukan hanya terlihat di luar, tapi juga dari dalam!" pujinya.
"Masyaallah, Bik Imah jangan bilang begitu, saya khawatir kufur nantinya."
"Nah iya, 'kan? Nggak salah apa yang saya katakan, Mbak Nina itu cantik luar dalam!"
Karenina menggeleng sambil tertawa.
"Aisyah? Kapan kamu datang?"
"Mas Wafi, assalamualaikum." Dia bergegas menghampiri dan mencium punggung tangan sang suami.
"Waalaikumussalam, kenapa kamu nggak langsung ke halaman samping?"
Menggeleng samar, dia tersenyum. Bagaimana mungkin dia langsung menemui Wafi dan Mutia jika mereka sedang menikmati kebersamaan tentu saja tak elok jika tiba-tiba dia hadir di tengah-tengah keduanya.
"Mutia sejak tadi menunggu. Dia mengira kamu tidak datang, karena ponselmu tidak aktif."
"Maaf, Mas. Ponsel kehabisan baterai, tadi nggak sempat mengisi daya karena terburu-buru ke sini," jelasnya.
"Terburu-buru? Kenapa?"
"Saya ketiduran selepas salat Subuh. Maaf," jawabnya lirih.
Wafi menarik napas dalam-dalam, lalu mengusap puncak kepala sang istri. Dia tahu pasti semalaman istrinya itu berkutat dengan semua pekerjaan yang harus dia selesaikan segera. Mendengar penuturan Karenina, muncul rasa iba dan khawatir jika sang istri tidak bisa menyelesaikan semua pekerjaan karena harus menemani Mutia setiap harinya.
"Ini yang kukhawatirkan. Ya sudah, nanti biar aku bicara ke Mutia supaya dia bisa paham kalau kamu ...."
"Jangan, Mas. Nggak apa-apa, saya bisa, kok. Lagipula saya senang melakukan apa yang diminta Mbak Mutia."
"Kamu yakin?"
"Insyaallah, Mas."
Suara mobil berhenti.
"Itu Mbak Hana datang, sebaiknya kamu pulang, biar hari ini Mbak Hana yang menemani Mutia. Kamu harus istirahat dan kembali meneruskan pekerjaanmu."
Wafi mengajaknya ke halaman belakang, untuk menemui Mutia. Seperti yang diceritakan Bii Imah, Mutia gembira melihatnya datang.
"Aku pikir kamu nggak mau datang lagi, Nin."
"Nggak, Mbak. Saya pasti datang selama kondisi saya sehat. Maaf tadi saya bangun kesiangan," jelasnya.
"Loh ini ada Nina. Kenapa tadi kamu bilang dia nggak datang, Wafi?" Farhana muncul di tengah-tengah mereka.
"Iya, Mbak. Ini juga Nina barusan datang." Mutia menjelaskan.
"Kamu kenapa telat, Nin?" Telisik Farhana dengan paras tak suka.
"Aisyah sepertinya kecapean, Mbak. Setahuku dia punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan yang berhubungan dengan Rafika Butik. Jadinya dia bangun kesiangan hari ini," terang Wafi.
"Itu karena dia aja yang nggak bisa ngatur waktu. Soal pekerjaan men-desain itu bisa dilakukan dengan santai, kok. Bahkan kamu bisa bawa kertas ke sini untuk sekadar mencorat-coret untuk desain baju!" Kakak Wafi itu menatapnya sembari melipat kedua tangan di dada. "Mbak bisa bicara seperti ini karena pekerjaan kita nggak jauh beda lah!" imbuhnya dengan ekspresi kesal.
"Mbak Hana, Aisyah ini bukan cuma mendesain, tapi juga menjahit, Mbak," tangkis Wafi membela Karenina.
"Apa pun itu, asal bisa ngatur waktu aja semuanya mudah, kok! Lagian nemenin Mutia bukan hal yang membuat letih!" sindirnya.
"Udah, Mbak, toh sekarang Nina udah di sini. Nina, aku tadi minta bikinin gado-gado. Kamu bisa, kan?" Mutia menengahi.
"Bisa, Mbak. Tadi juga udah selesai bikin bumbunya, tinggal telur rebus sama motongin sayuran aja, kok."
"Syukurlah, ayo kita semua ke dalam!" Mutia meminta Wafi mendorong kursi rodanya.
Mereka semua menuju ruang keluarga. Wafi terlihat tidak tenang karena menurutnya Karenina butuh istirahat setidaknya untuk hari ini.
"Mbak Hana, hari ini Mbak nggak ada jadwal penting?"
"Kenapa?" Hana menoleh ke adiknya.
"Aku minta tolong Mbak untuk hari ini menemani Mutia, karena Aisyah sepertinya harus istirahat, Mbak."
Mendengar ucapan sang suami, Karenina menggeleng cepat.
"Nggak, Mas. Nggak apa-apa. Saya nggak capek kok. Lagian semalam sudah saya beresin semua kerjaan, jadi tinggal kirim aja lewat email bisa. Nggak apa-apa kok, Mas," tuturnya mencoba meyakinkan sang suami.
Farhana menyeringai. Semuanya berjalan seperti yang dia inginkan. Karenina terlihat mengikuti semua yang dia katakan.
"Sebaiknya kamu tidak perlu khawatir seperti itu, Wafi. Yang perlu kamu khawatirkan justru Mutia. Kalau Nina, dia nggak perlu harus istirahat cukup seperti istrimu dan ...."
"Aisyah juga istriku, Mbak! Ingat itu!" sela Wafi tegas.
"Iya, aku tahu, tapi Nina itu tidak hamil, dia bisa leluasa menjaga dirinya sendiri. Dia, kan bukan anak kecil yang harus diingatkan kapan harus istirahat, 'kan? Iya, 'kan, Nin?"
"Iya, Mbak," sahut Karenina dengan senyum tipis.
Sementara Mutia hanya diam mendengar perdebatan Hana dan suaminya. Memang beberapa hari terakhir ini Farhana sering mengungkapkan kekhawatirannya pada Mutia, jika suatu saat Karenina meminta perhatian lebih kepada Wafi. Mengingat perempuan hamil itu lebih sering memiliki mood yang cepat berubah.
"Kamu seharusnya meminta agar Wafi supaya lebih lama mendampingimu dibandingkan dengan Karenina. Kamu itu sedang hamil, aku pikir Karenina bisa memahami itu, kok!" Demikian ucapan Hana saat mereka sedang berdua beberapa waktu lalu. "Kamu yang paling butuh Wafi untuk saat ini, Mutia!" Ucapan Farhana kembali muncul.
"Nina."
"Iya, Mbak Mutia?"
"Apa kamu keberatan dengan permintaanku? Apa permintaan ini membuatmu lelah?"
Dengan senyum Karenina menggeleng. "Nggak, Mbak. Tentu saja nggak."
"Meski aku sering membuat kamu sibuk dengan semua keinginanku?"
"Iya, Mbak. Insyaallah semampu yang saya bisa, saya tidak keberatan."
Mutia menghela napas lega kalau menatap Wafi yang terlihat tidak sepakat.
"Mas Wafi, Mas dengar sendiri jawaban Nina, kan? Jadi sudah cukup. Mas nggak perlu khawatir seperti itu, lagipula aku juga nggak akan membiarkan dia kelelahan, kok," tuturnya dengan bibir mengembang.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top