Menikahi Luka 33


"Kamu tinggal di sini?" Jonas menyipitkan matanya.

"Iya, Jonas. Terima kasih ya sudah mengantarku. Sampaikan salam ke Mama," jawab Karenina sembari menyerahkan sejumlah uang,

"Nggak perlu, Nin. Aku senang bisa ketemu dan tahu kamu baik-baik saja."

"Jangan begitu, Jonas. Ini kewajibanku untuk ...."

"Nggak, Nin. Jadi kamu istri seorang ustaz?" Jonas mengambil kesimpulan.

Karenina menunduk tak menjawab. Bungkamnya Karenina menjadi jawaban atas pertanyaan Jonas.

"I'm happy for you, Karenina Aisyah. Sungguh aku lega saat tahu ini semua. Aku yakin kamu aman dan nyaman bersama suamimu. Oke, aku pergi dulu. Terima kasih sudah mau menjawab pertanyaanku. Assalamualaikum."

Menarik napas dalam-dalam, Karenina membalikkan badan saat mobil putih yang dikendarai Jonas menghilang dari pandangan. Suara azan berkumandang, gegas dia melangkah menuju rumah. Akan tetapi, langkahnya tertahan saat melihat seorang perempuan tengah duduk di terasa seolah menunggu kedatangannya.

"Kamu nggak diantar Wafi?" tanya perempuan itu setelah menjawab salam.

"Nggak, Mbak. Kondisi Mbak Mutia drop, jadi saya pulang sendiri."

Dia lalu membuka pintu dan mempersilakan kakak iparnya itu masuk.

Farhana menatap penuh selidik, karena dia tadi melihat interaksi Karenina  dan sopir taksi yang tak biasa dari kejauhan.

"Siapa yang nganterin kamu?" tanyanya saat sudah duduk di ruang tamu.

Membasahi kerongkongan, dia menjawab, "Taksi online, Mbak."

"Taksi online? Tapi sepertinya kamu kenal, karena dia menolak uang yang kamu berikan."

Karenina menggeleng samar. Tentu saja tak mungkin baginya menjelaskan siapa Jonas di masa lalu. Karena sudah pasti kakak iparnya ini akan semakin memandang rendah dirinya dan bukan tidak mungkin akan muncul pikiran yang semakin membuatnya terpuruk.

"Aku perhatikan sejak mobil berhenti, kamu terlihat cukup lama bercakap-cakap dengan sopirnya. Kamu kenal?"

Farhana menelisik adik iparnya itu. Karena sejak tadi rupanya tanpa diketahui oleh Karenina, dia mengamati dengan saksama apa yang dilihatnya.

"Kenapa diam? Kamu kenal? Kalau kenal, bilang aja kenal, kenapa takut?" sindirnya. "Ah iya, kecuali kalau kamu menyimpan sesuatu!" Farhana tertawa mengejek.

"Siapa dia? Siapa laki-laki yang mengantarmu tadi?"

Pertanyaan Farhana semakin menyudutkan, kali ini dia merasa tak bisa lagi menahan kesal karena semua ucapan Farhana yang ditujukan padanya. Semenjak awal kakak pertama Wafi itu sudah menunjukkan ketidaksukaannya, terlebih saat tahu jika teman dekat Karenina adalah perempuan yang telah merampas suaminya.

"Ah iya, aku lupa siapa kamu dan bagaimana latar belakangmu. Bisa jadi laki-laki itu tadi adalah seseorang dari masa lalumu, atau bisa jadi seseorang yang bisa membayarmu, seperti waktu silam, iya, kan?"

"Cukup Mbak Hana! Berhenti menyudutkan saya dengan semua kalimat jahat itu! Mbak boleh benci saya silakan! Tapi Mbak nggak bisa menuduh saya seenaknya, Mbak! Saya cukup tahu diri dengan menempatkan di mana saya seharusnya di keluarga besar Mbak, saya cukup tahu diri dengan mengalah dan diam dengan semua ucapan yang tidak seharusnya yang Mbak tujukan pada saya, saya tahu, Mbak. Saya memang bukan perempuan seperti Mbak Mutia, saya paham itu!" cecar Karenina dengan mata berkaca-kaca.

Kali ini dirinya tak sanggup jika harus diam saja, karena Farhana sudah sangat merendahkannya.

"Biar bagaimanapun saya istri Mas Wafi, saya menjadi seperti ini karena Umi Hadijah yang meminta, pun demikian dengan Mbak Mutia. Andai bukan mereka, sudah pasti saya akan menolak, Mbak."

Dia menarik napas dalam-dalam. Satu persatu air matanya jatuh.

"Perempuan mana yang mau menjadi yang kedua, terlebih jika dituntut hanya untuk memberi keturunan. Tanpa perasaan. Itu semua sulit, Mbak. Dan saya pahami itu, saya tahu diri di mana saya berdiri, Mbak," imbuhnya.

Ruangan yang lebih didominasi dengan deretan buku itu seperti mencatat semua ucapan Karenina. Sementara di luar iqamah terdengar.

"Saya mau salat Maghrib, Mbak."

"Sebentar, dengar aku! Apa pun yang kamu katakan tadi, sama sekali tidak akan mempengaruhi keputusan dan pemikiranku! Mutia hamil, kamu sebagai madunya harus melayani dan menjaga dia selama kehamilannya. Kamu sudah jadi keluarga, jadi aku berharap kamu juga ikut menjaga calon penerus keturunan suamimu! Paham, kan?"

Karenina mengangguk, membiarkan pipinya basah.

"Bagus!" Farhana bangkit. "Oh iya, obatnya kamu minum, kan?" tanyanya menelisik. "Aku nggak mungkin melarang kamu untuk melayani Wafi, satu-satunya yang bisa mencegah kehamilanmu adalah obat itu! Kamu mengerti, kan?"

"Iya, Mbak," sahutnya lirih.

Farhana kemudian mengucap salam lalu melangkah pergi meninggalkan kediaman Karenina.

**

Wafi bersandar di ranjang, di sampingnya terbaring lemah sang istri. Mutia, perempuan yang selalu berusaha untuk membuatnya bahagia itu kini telah dipercaya oleh Allah. Sang Pencipta telah menitipkan ruh di rahim Mutia yang kelak akan meneruskan perjuangannya. Kehamilan yang sangat ditunggu bahkan oleh seluruh anggota pengajian di mana pun berada. Kehampaan yang disambut antusias oleh keluarga besar.

Wafi mengerti bagaimana usaha istrinya untuk bisa hamil, bertahun-tahun mereka mengikuti segala macam saran agar keinginan mereka terkabul. Hingga wacana untuk menikah lagi pun muncul. Namun, Allah memiliki rencana yang tidak diketahui oleh seorang hamba. Siapa yang menyangka saat harapan menipis, Dia beri kejutan dengan kehamilan Mutia.

Terkadang ada terbesit pikiran di kepala Wafi. Andai Mutia dan uminya bisa sedikit lagi bersabar, mungkin tidak akan ada pernikahan itu. Mungkin tidak akan ada seorang perempuan yang merasa 'dikorbankan' untuk sebuah keinginan.

Timbul rasa iba pada Karenina. Perempuan yang memiliki mata indah itu menurut Wafi sedang menyembunyikan lukanya. Semua memang terjadi begitu cepat, bahkan kehamilan Mutia yang dinanti kini dirasakan demikian cepat. Karena saat mengetahui kabar bahagia tersebut dirinya bahkan belum sama sekali menyentuh istri keduanya kala itu.

Wafi menarik napas dalam-dalam, dirinya khawatir kebahagiaan ini akan membawa dia pada ketimpangan yang bisa jadi dirasakan Karenina. Walau bagaimanapun sebagai manusia, tentu ada perasaan tertekan pada diri istri keduanya.

"Mas Wafi? Belum tidur?" Lirih suara Mutia menyapa.

"Ini baru mau tidur. Kamu butuh sesuatu?" tanyanya tersenyum. "Minum air putih atau mau minuman hangat?"

Istrinya menggeleng.

"Nggak, Mas. Aku mau ke kamar mandi," jawabnya.

"Oke, aku bantu."

"Nggak perlu, Mas. Aku bisa."

"Tapi aku khawatir. Kamu masih lemas, Mutia."

Tak menolak, akhirnya dia mengangguk.

"Mas nggak terganggu, kan?" tanya Mutia saat Wafi memapahnya ke kamar mandi.

"Terganggu kenapa?"

"Aku bikin Mas jadi khawatir dan nggak bisa istirahat nyaman ya, Mas?"

"Sstt, jangan mikir macam-macam. Udah kamu bisa masuk sendiri, kan? Atau aku masuk juga?" Wafi menatapnya lembut saat berada di depan pintu kamar mandi.

"Aku udah sendiri, Mas."

"Pelan-pelan, ya."

Mengangguk, Mutia kemudian masuk dan menutup pintu.

**

"Mbak Nina? Mbak?" Bu Joko mengguncang perlahan tubuh perempuan yang terlelap di sofa dengan mukenah dan kertas yang berserakan di sekelilingnya.

Setelah salat Subuh, dia kembali membuat desain untuk diberikan kepada Rafika. Akan tetapi, rupanya tubuh Karenina terlalu letih hingga dia tertidur hingga matahari beranjak meninggi.

"Masyaallah, Bu Joko, saya ketiduran," tuturnya bergegas bangun dari rebah. "Jam berapa sekarang, Bu?" Karenina membuka mukenah dan merapikan rambutnya.

"Sudah hampir sembilan, Mbak Nin."

"Subhanallah, saya terlambat, pasti Mbak Mutia nungguin." Dia lalu meraih ponsel, Karenina menepuk dahinya menyadari jika ponselnya kehabisan baterai.

"Bu Joko, saya minta tolong rumah dirapikan ya. Maaf saya nggak bisa bantu, sebab seharusnya jam tujuh tadi saya sudah ada di rumah Mbak Mutia."

"Iya, Mbak ini tugas saya. Mbak Nina tenang saja." Perempuan paruh baya itu segera merapikan meja dan kertas' yang berserakan di lantai. "Sekarang Mbak mandi dulu, saya tadi sudah masak untuk sarapan Mbak Nina."

Mengucapkan terima kasih, Karenina meninggalkan ruangan itu menuju kamarnya. Sementara Bu Joko menggeleng perlahan menatap Karenina. Dia adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana istri kedua Wafi itu mencoba kuat meski hatinya diselimuti luka.

**

Semoga masih menarik ya ceritanya.

Terima kasih sudah berkunjung 🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top