Menikahi Luka 31

Wafi menggeleng cepat, dia keberatan jika Karenina harus tinggal bersama dengan mereka.

"Bukan apa-apa, Mutia, cobalah sebentar saja berada pada posisi Aisyah, tentu dia akan merasa tidak nyaman jika harus tinggal bersama di sini. Dia akan kehilangan privasi, begitu juga dengan kita!"

"Mas, aku cuma pengin ada teman bicara, itu aja. Dia nggak akan kehilangan privasi. Masa iya hanya karena aku dia kehilangan privasi?" Suaranya terdengar memelas. "Aku bosan di rumah terus, Mas. Berbaring seperti ini itu sangat melelahkan," keluhnya.

Wafi mengembuskan napas perlahan. Permintaan Mutia sulit, tetapi dia yang merasa keberatan jika itu terjadi. Karenina juga punya kesibukan dan tanggung jawab pada pekerjaan. Jika istri keduanya itu tinggal di sini itu berarti akan sulit bagi Karenina untuk menyelesaikan tanggung jawabnya.

"Dia nggak akan di sini saat giliran Mas berada di rumahnya, kok, Mas. Mas bisa bersenang-senang dengan Nina saat giliran dia. Aku cuma butuh teman, itu saja."

Pria yang memiliki janggut tipis itu mendekat lalu duduk di bibir ranjang. Matanya menatap penuh kasih kepada Mutia. Perempuan yang dia nikahi sepuluh tahun yang lalu itu terlihat pucat, meski tak memudarkan kecantikan yang dimiliki, Senyum Mutia selalu bisa meredakan resah di hatinya.

Sambil merapikan rambut istrinya, Wafi berkata dengan suara lembut, "Dengar, Mutia. Aisyah itu juga punya tanggung jawab, dia punya pekerjaan yang harus dia kerjakan setiap harinya. Kalau dia di sini, lalu bagaimana dengan semua desain yang dipercayakan oleh Rafika?"

Mutia bergeming, dia tampak mencebik. Sepanjang perjalanan pernikahannya, baru kali ini Wafi keberatan meluluskan permintaannya, selain saat dia meminta agar suaminya menikahi Karenina tempo hari.

"Aku senang kalau Nina di sini, Mas. Dia pasti akan memasak yang menggugah selera buatku. Mas, kan tahu aku sedang tidak berselera makan."

"Tapi Aisyah bukan khadimat, Mutia."

"Aku nggak bilang dia khadimat, Mas! Aku cuma ...."

"Sudah, Wafi! Kabulkan saja apa yang diinginkan istrimu!" Suara Farhana tiba-tiba terdengar dari arah pintu yang memang terbuka lebar.

Mereka yang berada di kamar sontak menoleh.

"Mbak Hana? Kok Mbak nggak ketuk pintu atau salam dulu? tegur Wafi. Pria itu terlihat tidak suka.

"Mbak udah salam, dan ketuk pintu, tapi kalian nggak dengar. Yang bukakan pintu Imah tadi. Lagian Mbak bawa jeruk Mandarin pesanan Mutia ini."

"Ada, Mbak jeruknya?" Mutia terlihat antusias.

"Ada dong! Lumayan muter-muter tadi nyarinya." Dia melangkah masuk. "Aku kasi Imah tadi jeruknya, sudah kubilang untuk diantar ke sini," jelasnya kalau duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang Mutia.

Wafi mengusap wajahnya.

"Kenapa? Kamu nggak setuju dengan permintaan Mutia? Dia itu cuma ingin ada teman bicara, Wafi. Masa begitu aja kamu keberatan?"

"Bukan begitu, Mbak, tapi ...."

"Tapi apa? Kamu tahu, kan? Istrimu itu sedang hamil dan kehamilan ini sudah begitu lama dinanti oleh kalian berdua? Saat seperti ini seharusnya kamu bisa membuat dia bahagia dengan menuruti permintaan Mutia. Perempuan hamil itu butuh dukungan dari orang-orang terdekatnya terlebih kamu sebagai suaminya," celoteh Farhana panjang lebar.

Mutia hanya diam menatap sang suami.

"Mbak kalau nggak sibuk juga akan senang hati menemani Mutia, tapi Mbak memang sedang sibuk-sibuknya. Lagipula Mbak rasa Nina nggak akan keberatan dengan permintaan Mutia!"

Wafi mengangkat wajahnya menatap Farhana.

"Ibu hamil itu secara psikologis sangat peka dan mood-nya mudah berubah, jadi kalau kamu ingin membuat Mutia bahagia selama kehamilannya ... kabulkan saja apa yang dia inginkan!"

"Kamu mau anak kalian lahir dengan sehat tanpa kurang apa pun secara fisik dan mental, kan?" Kembali Hana mencecar Wafi.

"Sudah turuti saja!"

"Oke, oke, tapi hanya siang hari dan itu pun kalau pekerjaan Aisyah sudah selesai!"

Kening Farhana berkerut.

"Pekerjaan? Pekerjaan apa? Dia kerja apa?"

"Nina kerjasama dengan Mbak Rafika, Mbak. Mbak kenal Mbak Rafika, kan?" jawab Mutia.

Farhana diam sejenak. Yang dia tahu, Rafika adalah pemilik butik busana muslim yang menjual brand dengan namanya sendiri. Sudah banyak produk gamis dan segala yang berhubungan dengan baju muslim dikeluarkan oleh Rafika Butik.

"Kenapa dia bisa ketemu Rafika?" Dia menoleh ke adik iparnya yang bersandar pada punggung ranjang.

"Mbak Sofia yang mengenalkan dan akhirnya mereka bisa kerjasama." Mutia menjelaskan.

"Nasibnya mujur ya, setelah kamu nikahi! Jadi tidak ada alasan buat dia atau kamu untuk menolak permintaan Mutia!" timpalnya menatap tajam ke Wafi.

"Paling nggak dia harus tahu caranya berterima kasih untuk semua kebahagiaan dan kenyamanan yang dia punya sekarang."

"Mbak Hana! Berhenti berbicara seperti itu tentang Aisyah!" Wafi sedikit mengangkat suaranya. "Aisyah jadi seperti itu bukan karena Wafi atau siapa pun, tetapi Allah yang menjadikannya seperti itu."

Menaikkan alisnya, Hana menyeringai.

"Kamu membela dia di depan Mutia istrimu? Dia ini sedang hamil anakmu, Wafi."

Pria itu memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit dari duduknya.

"Kamu jadi berani bersuara tinggi saat bicara denganku sekarang, padahal sejak dulu hal itu tidak pernah kamu lakukan. Apa ini karena Karenina? Dia yang mengubah dirimu?"

"Mbak Hana, tolong, cukup! Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tahu. Mbak nggak perlu mendikte apa pun soal Aisyah padaku. Tolong, Mbak," ungkapnya mencoba setenang mungkin.

Kembali Hana menyeringai.

"Mbak nggak sedang mendikte kamu, Wafi. Mbak cuma ingin yang terbaik untuk kamu juga Mutia. Apa salah? Mbak nggak ingin hal buruk terjadi pada kalian berdua. Bukankah memiliki anak ini hal yang paling kalian idamkan?" Hana menatap  Wafi dan Mutia bergantian.

"Mbak juga nggak mau apa yang terjadi pada Mbak terjadi pula pada kalian! Kalian itu pasangan ideal dan sangat dihormati oleh banyak orang! Kalian itu contoh pasangan yang penuh ketenangan, dan Mbak nggak rela siapa pun merusaknya! Mbak Hana sayang sama kalian berdua!"

"Mutia ... oke, tapi hanya siang hari saja Aisyah di sini, sore hari dia harus kembali pulang karena ada tanggung jawab yang harus dia lakukan."

Senyum Mutia melebar, dia mengangguk gembira sembari mengucapkan terima kasih.

**

Karenina tersenyum saat pintu mobil dibuka oleh Wafi.

"Maafkan kalau aku terlihat memaksamu, hanya setengah hari, dan aku pastikan tidak lama kamu begini," tuturnya saat sang istri sudah masuk.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku senang jika Mbak Mutia memintaku untuk menemaninya. Lagipula tidak merepotkan kalau sekadar menjadi teman bicara," ujarnya lalu keluar dari mobil.

Karenina mengedarkan pandangan. Dia melihat taman yang indah, ada banyak tumbuhan menghias halaman rumah  Wafi dan Mutia. Rumput hijau bak permadani menghampar rapi. Ada aneka bunga dan tanaman hias di sana. Sementara rumah bercat putih itu terlihat sepi.

"Kamu suka bunga-bunga itu?" Wafi meraih jemari istrinya sembari tersenyum.

Membalas senyuman sang suami, Karenina bertanya,"Ini semua yang menanam Mbak Mutia?"

"Ada yang dia tanam, tapi nggak semuanya. Beberapa jenis bunga kadang dikasi sama anggota pengajian, dan Pak Sulis tukang kebun yang menanam dan merawat," jelasnya.

"Nina." Terdengar suara Mutia dari arah pintu. Matanya menatap genggaman tangan Wafi dan Karenina.

"Mbak Mutia, assalamualaikum." Karenina melepas genggaman tangan Wafi kemudian melangkah mendekati perempuan yang mengenakan gamis hitam yang wajahnya tampak pucat itu.

Mereka lalu bersalaman.

"Kata Mas Wafi Mbak nggak boleh beranjak dari ranjang?" tanyanya saat selesai bersalaman.

"Iya, tapi aku nggak sabar menunggu kedatanganmu, Nin."

Wafi yang melihat keduanya akrab, tampak menghela napas lega.

**

Semoga ceritanya masih menarik yaa.

Terima kasih 🫰😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top