Menikahi Luka 3


Semenjak bekerja menjadi Ladies Companion, Karenina perlahan mulai bangkit dari keterpurukan. Dia seperti kembali menemukan kehidupannya yang pernah lepas dari genggaman. Kemewahan yang sempat hilang kini dia bisa rasakan.

Dia telah membuktikan apa yang diucapkan Sheila, jika setelah dia kembali memiliki uang, maka teman-teman yang tadinya sempat menjauh, akan kembali mendekat.

Dengan uang yang didapat tanpa harus susah payah dia bisa dengan mudah menghambur-hamburkan uang. Semua itu sangat dinikmati oleh Karenina.

Karenina tertawa mendengar penuturan Sheila saat mereka berbincang di telepon. Dari kisah Sheila dia tau jika rekannya itu tengah berbahagia dengan hidupnya sekarang. Bergelimang harta meski hanya sebatas simpanan.

"Kamu nggak khawatir kalau sewaktu-waktu istrinya tahu?"

Tawa Sheila terdengar.

"Biar saja istrinya tahu, toh semua yang diberikan Om Bram sudah jadi gak milikku! Oh iya, kamu harus atur jadwal! Kita ketemu di Bali, Nin!

Karenina menarik bibirnya singkat. Mungkin itu ide bagus mengingat sekarang Vano akan melangsungkan pernikahan di pulau Dewata itu.

Meskipun waktu sudah berlalu, tetap saja ada amarah yang masih belum selesai pada mantan kekasihnya. Karenina sedang mencari cara yang tepat untuk membalas rasa sakit hatinya pada pria yang dulu begitu dia cintai.

Beberapa waktu lalu dia bertemu Silvi teman kampusnya, yang sebentar lagi akan wisuda. Dari keterangan Silvi, Karenina tahu kabar soal Vano. Menurut temannya itu Vano akan menikah dengan anak dari salah satu pejabat di kantor pajak.

"Nina! Kamu masih dengerin aku, kan?"

"Eh iya, Sheil. Masih, kok."

"Eh terus ... kamu kemarin cerita sekarang lagi dekat sama Jonas, bener?"

Bibirnya melebar mendengar pertanyaan Sheila. Jonas adalah teman Sheila. Pria itu bekerja di sebuah bar. Selain itu dia kerap mengisi posisi drummer untuk acara live music di tempat itu. Kedekatan Sheila dan Karenina menjadi perhatian Jonas, hingga akhirnya mereka saling kenal dan memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan.

"Karenina!"

"Eh iya, iya, Sheil! Sori."

"Widiih, aku mencium bau-bau orang jadian nih! Kok kamu nggak cerita kalau udah jadian? Kamu udah jadian, kan?"

Karenina tertawa kecil. Sejak satu bulan yang lalu dia memang sudah resmi pacaran dengan Jonas. Baginya selain tampan dan memiliki postur tubuh atletis, Jonas adalah pelindung dan bisa membuatnya nyaman. Kedewasaan yang dimiliki pria bertato di lengan itu sangat mengerti semua masalah yang ada pada dirinya.

"Selamat ya, Nin! Eum ... aku harap kalian saling berkomitmen satu sama lain."

"Thank you, Sheil," tuturnya sembari mengulum senyum. Andai Sheila ada di hadapannya, pasti temannya itu tahu bagaimana rona merah di wajah Karenina.

"Eh tunggu! Kamu nggak sedang sama dia, kan ini?" selidik Sheila.

Ditanya seperti itu, dia tak menjawab. Perempuan bermata cokelat itu mengatupkan mulutnya mencoba menahan desir bahagia agar tidak terdengar norak di telinga Sheila.

Karenina menatap pria yang tengah terlelap di ranjang. Dini hari tadi setelah memberi servis pada pelanggan, dia dijemput Jonas. Pria itu terlihat sedikit mabuk hingga Karenina membiarkan pria itu tertidur di apartemennya. Meskipun begitu, Karenina menghindari untuk tidur seranjang dengan kekasihnya itu.

"Dia ada di sana, Nin?" Kembali Sheila menyelidik.

"Iya, Sheil. Dia semalam tidur di sini."

"Wow wow woww! Kalian ...."

Karenina menggeleng cepat meski Sheila tak melihat. Dia tahu apa yang dipikirkan rekannya itu.

"Nggak, Sheil! Please, kamu tahu aku, kan? Aku tidur di sofa kok semalam."

Tawa renyah terdengar dari Sheila. "Kalian begitu juga nggak apa-apa! Hei, dunia ini sudah nggak peduli dengan apa yang sedang kamu pertahankan, Beib! Apalagi kerjaan kita. You know laah, seperti apa stigma di masyarakat tentang apa yang aku dan kamu kerjakan. Iya, kan? Jadi ... nggak perlu menahan atau menyembunyikan apa yang ada di pikiranmu." Sheila bertutur panjang lebar.

Karenina menarik napas dalam-dalam, kembali matanya menatap Jonas yang masih terlelap.

"Jangan bilang Jonas diam-diam aja semalam," godanya tergelak. "Aku tahu siapa Jonas, tapi kamu tenang aja, Nin. Dia nggak pernah naksir sama aku, aku pun begitu, karena aku terlalu nyablak  dan dia bukan tipeku," kelakar Sheila kali ini sambil terbahak.

"Ya udah sana! Lanjutkan apa yang ingin kamu lanjutkan. Nanti aku telepon lagi. Bye, Nin!"

Obrolan berakhir. Karenina kembali meletakkan ponselnya di meja. Tepat saat itu mata Jonas terbuka. Dia seperti terkejut tengah berada di tempat yang bukan kamarnya.

"Nina? Kok ...."

"Hai. Kamu semalam mabuk, dan aku pikir bahaya kalau kamu pulang naik mobil. Jadi kubiarkan kamu tergeletak di ranjangku," jelasnya sembari melangkah ke pantry membiarkan Jonas yang masih mencoba memulihkan kesadarannya.

"Kamu mau minum apa, Jo?" serunya. "Mau lemon hangat nggak?"

"Terserah, Nin!" sahutnya perlahan bangkit dari rebah.

Pria berambut gondrong itu menatap sekeliling apartemen Karenina. Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat foto perempuan itu tengah berdiri dengan latar belakang pantai.

Karenina memang sangat cantik, tak heran jika banyak pelanggan yang menginginkan lebih daripada sekadar menemani berkaraoke. Namun, menurut cerita Sheila, dia menolak semua itu meski dengan iming-iming yang sangat luar biasa.

Pada awalnya Jonas heran kenapa Karenina mau berpacaran dengannya yang hanya seorang bartender dan drummer yang tentu saja masa depannya tidak secemerlang pelanggan Karenina. Akan tetapi, entahlah, rasa hati dan nyaman tidak bisa dibohongi, bukan?

"Nin, aku semalam ... nggak ngapa-ngapain kamu, kan?" Jonas mendekat ke pantry, saat Karenina selesai membuat minuman untuk mereka.

Tertawa kecil, dia menggeleng. "Kenapa? Emang kamu sering ngapa-ngapain cewek-cewek kalau lagi mabuk?" tanyanya sembari menyodorkan segelas lemon hangat kepada Jonas.

"Ck! Nggak gitu, Nin, aku nggak mau kamu ...."

"Tenang aja, lagian kamu sampai kenapa-kenapa aku nggak bakalan bikinin kamu minuman pagi ini."

Pria yang menindik hidungnya itu menghela napas lega. Dia lalu duduk di sebelah Karenina dan meneguk minuman hangat itu hingga tandas.

"Nin."

"Hmm."

"Maaf ya."

"Untuk?"

"Aku jadi bikin kamu repot."

"Santai aja, Jo."

"Nin."

"Apa lagi?"

"Kita nikah yuk!"

"What?" Karenina tersentak mendengar ajakan Jonas.

Kalimat itu sama sekali tidak pernah terlintas di kepalanya. Kata menikah adalah kata yang paling dia ingin hindari mengingat dia tidak lagi memiliki keluarga yang bisa di jadikan sandaran saat hati membutuhkan nasihat.

Sementara Jonas masih memiliki ibu yang kini berada di Jawa. Selain itu setiap terlintas kata menikah, memorinya selalu menyajikan bagaimana indahnya hubungan dia dan Vano kala itu.

Mereka sudah merencanakan seperti apa konsep pernikahan yang akan mereka gelas nanti. Namun, jika sekarang pria di hadapannya itu mengajak menikah saat hubungan mereka baru naskah berlalu satu bulan, tentu hal itu sangat mengejutkan.

"Kenapa? Kamu nggak mau nikah sama aku?"

Menggeleng cepat, Karenina mengangkat tangannya memberi isyarat agar Jonas tidak meneruskan kalimatnya. "No! Bukan begitu, Jo."

"So, what? Kita saling mencintai ...." Jonas memiringkan kepalanya menatap Karenina. "Atau kamu nggak serius sama hubungan kita?"

"No, Jo! Bukan itu, tapi ... aku belum siap untuk ...."

"Untuk hidup miskin bersamaku?" potong Jonas.

"Bukan, Jo. Aku khawatir kamu tidak mendapatkan apa yang kamu cari pada diriku. Kita baru kenal dan  bagaimana reaksi ibumu kalau tahu siapa aku. Aku nggak kaya, aku perempuan yang harus setiap malam melayani pria-pria kesepian dan itu semua ...."

"Karenina, cukup!" Jonas menggeleng sembari mengangkat telunjuknya. "Semua itu nggak penting. Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku, itu saja udah cukup, dan ibuku ... beliau perempuan yang sangat bijaksana. Dia percaya sepenuhnya padaku tentang apa pun yang kuputuskan untuk masa depanku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top