Menikahi Luka 29


Menemani suami sekaligus mendengarkan langsung kajian yang dibahas oleh Wafi di depan para jamaah adalah pengalaman pertama baginya. Pembahasan malam itu masih tidak jauh-jauh dari makna lebaran dan segala hal yang berhubungan dengan bulan Syawal.

Tampak semua jamaah mendengar dan mengikuti seluruh penjelasan yang dipaparkan oleh suaminya. Namun, di pertengahan, samar dia mendengar kasak-kusuk di belakangnya. Meskipun terdengar samar, tetapi jelas beberapa perempuan di belakangnya tengah berbisik-bisik tentang dirinya.

"Jadi ini istri kedua Ustaz Wafi?" bisik seseorang tepat di belakangnya.

"Sstt, jangan keras-keras!" sambung yang lainnya.

"Cantik sih ya. Kalau menurutku lebih cantik istri keduanya," imbuh yang lain.

"Memang cantik sih, tapi itu tadi ...."

"Itu tadi apa?"

"Mantan wanita malam!" sambut yang lain.

"Heh! Jangan ngawur kalau bicara!"

"Aku nggak ngawur, ini fakta! Aku tahu dari kakaknya Ustaz sendiri. Kan aku kenal baik sama Hana kakaknya itu!"

Karenina mencoba menahan diri untuk tidak menoleh. Sekuat tenaga dia mencoba menulikan pendengarannya agar emosinya tetap stabil. Bibirnya terus mengucapkan kalimat istighfar.

"Jadi dia mantan pelacur sebelum sama Ustaz?"

"Aku nggak tahu, tapi tahulah seperti apa wanita malam itu!" timpal seseorang yang mengaku kenal dengan Farhana.

"Herannya kok Ustaz mau, terus kenapa juga Ustazah Mutia juga Ustazah Hadijah merestui ya?"

"Eh, tahu nggak? Bisa jadi perempuan malam kayak gitu pakai guna-guna! Guna-guna supaya bisa hidup enak dan terpandang!"

"Kasihani Ustaz Wafi ya."

"Nah menurutku nggak salah kalau Farhana tidak setuju dengan pernikahan mereka!"

"Aku rasa ini ada hubungannya dengan lamanya Ustazah Mutia yang tidak hamil-hamil itu."

"Eh iya, aku lupa kasi kabar kalau Ustazah Mutia sedang hamil muda!"

"Syukurlah! Alhamdulillah kalau istri pertama Ustaz hamil! Pasti keluarga besar mereka sangat gembira!"

Kasak kusuk itu terus berlanjut. Sementara telinga Karenina tak bisa berpura-pura untuk tidak mendengar. Hatinya begitu sakit karena ternyata kekhawatiran itu akhirnya terjadi. Jamaah suaminya bahkan tahu siapa diri nya dari Farhana. Kakak pertama Wafi itu sedemikian tidak suka padanya.

Karenina menarik napas dalam-dalam, dia sedang berpikir bagaimana cara agar keluarga terhormat Ustazah Hadijah itu tetap selalu terjaga tanpa ada dia di dalamnya. Meminta cerai? Apakah itu alasan terbaik untuk melindungi keluarga itu dari gunjingan serta fitnah? Apakah justru tidak semakin membuat keluarga besar itu malu? Sementara jika diteruskan, maka dia yakin gunjingan akan semakin besar dan akan mencoreng nama baik pesantren yang dikelola suaminya.

Tanpa terasa kajian selesai, diakhiri dengan doa dan salam, para jama'ah membubarkan diri untuk bersiap salat Isya. Bersamaan dengan itu, azan pun berkumandang.

Masih terngiang ucapan beberapa jamaah saat di dalam masjid tadi, dan hal yang sama kembali dia dengar saat Karenina berada di kamar mandi. Obrolan mereka yang sedang mengantri untuk wudu sama seperti yang dia dengar saat acara kajian tadi.

"Kok bisa ya Ustaz Wafi menikahi perempuan seperti itu?"

"Iya, biar bagaimanapun bibit itu perlu loh!"

"Dan anehnya, Ustazah Hadijah kok juga mengizinkan. Apa kira-kira yang ada di pikiran beliau ya?"

"Lagi bicarakan apa sih, Bu? Kok kelihatannya serius?"

"Sudah dengar belum soal istri kedua Ustaz Wafi?"

"Yang tadi itu, kan? Cantik ya. Namanya bagus, Karenina Aisyah."

"Iyalah, kan dia perempuan penghibur dulunya, perempuan kayak gitu, kan perawatannya nomor satu, maklum yang dijual kan penampilan, Bu."

Obrolan tentangnya kembali riuh di tempat wudu itu. Tak tahan mendengar lebih lama, Karenina keluar dari kamar mandi. Melihat dia muncul, sontak semua yang ada di tempat itu membisu dan menoleh ke arahnya.

"Afwan, sudah pada ambil wudu?" tanyanya seolah tak mendengar topik pembicaraan mereka.

"Ada yang sudah ada yang belum, Umm," jawab salah satu dari mereka.

"Mari, ambil wudu, sebentar lagi iqamah."

Mereka sejenak saling pandang. Terlihat jelas di mata mereka rasa segan dan cemas karena sudah pasti yang dibicarakan mendengar dengan jelas obrolan mereka.

**

Sepanjang perjalanan pulang, Karenina mencoba menyembunyikan gundahnya. Dia memilih menyingkirkan sedihnya saat bersama suami.

"Gimana? Apa yang kamu khawatirkan tadi, tidak terjadi, kan?" tanya Wafi dari balik kemudi.

"Iya, Mas," jawabnya seraya mengulas senyum.

Menghela nalas lega, Wafi meraih jemari istrinya dan menggenggam erat.

"Jangan pernah memelihara prasangka yang nantinya justru akan membuatmu tidak nyaman. Jalani saja apa yang seharusnya dijalani, jika pun apa yang dikhawatirkan itu terjadi ... apa pun itu, hadapi, tunjukkan jika memang seperti itulah takdir yang harus dihadapi. Karena Allah adalah sebaik-baik sutradara. Kamu pasti paham, kan?"

Karenina mengangguk. Wafi benar, memang inilah jalan yang diberi oleh Allah untuknya dan harus dia hadapi dan jalani. Termasuk merasakan sakit sebuah perjalanan hijrahnya kali ini adalah serangkaian ujian untuknya.

Dia berharap kelak ada hadiah indah dari Allah untuk dirinya. Maka mungkin saat ini dia harus lebih melapangkan dada dan ikhlas serta terus bersabar menerima apa pun celaan atau pujian yang ditujukan padanya.

"Kenapa berhenti, Mas?" tanyanya saat Wafi menepikan mobilnya.

"Aku suka martabak di tempat ini. Kita beli ya? Kamu suka, kan?"

"Suka, Mas."

"Kamu tunggu di mobil ya. Buat aku yang keluar."

Dia mengangguk. Menarik napas dalam-dalam, Karenina melihat pemandangan di luar, matanya menyipit kala menangkap sosok pria yang tak asing baginya. Pria itu berada tak jauh dari mobilnya. Dia sedang duduk di motor besar, tampak pula seorang perempuan berpakaian serba mini tengah tertawa terbahak sembari sesekali mengusap lengannya.

"Mas Alvin?"

Kening Karenina berkerut mencoba memastikan pria itu. Jelas dia adalah Alvin kakak tirinya yang pernah beberapa kali mencoba melecehkannya. Mendadak ketakutan melanda, tak ingin pria itu tahu, Karenina menyembunyikan wajahnya di balik masker. Melihat Alvin, kembali membuka memori gelap yang membuat dirinya merasa perempuan menjijikkan.

Meski tak ingin dia ingat, tetapi bayangan saat Alvin hampir saja merenggut kehormatannya, adalah peristiwa yang paling menakutkan baginya. Hampir saja dia kehilangan hal yang paling penting jika saja tidak ada Mbok Mirah yang terjaga malam itu.

Perbuatan Alvin pernah diadukan kepada Mira mama tirinya, tetapi bukan pembelaan yang dia dapat, malah sebaliknya. Mira justru memberi jalan agar Karenina lebih baik menjual diri saja, dengan begitu uang bisa didapat dengan mudah tanpa harus mengambil jatah dari perusahaan yang kini dipegang sang mama tiri.

Dua martabak telur sudah selesai dibuat. Aroma khasnya menguar saat Wafi meletakkan di kursi belakang.

"Kenapa pakai masker? Kamu nggak suka baunya? Atau ...."

"Nggak, Mas. Nggak apa-apa. Aku suka kok, cuma ... ini tadi agak batuk."

"Oke, apa perlu beli obat? Atau ke dokter?"

"Nggak, nggak usah. Kita pulang aja yuk, Mas."

Menaikkan alisnya, Wafi kemudian mengangguk.

"Oh iya, barusan Mutia kirim pesan ke aku, katanya bolu kukus buatanmu enak, dan dia suka!"

"Syukurlah." Karenina tersenyum.

Entah esok apa lagi keinginan Mutia. Terkadang dia berpikir jika itu bukan keinginan kakak madunya, tetapi justru Hana yang membuat semua seolah-olah Mutia yang menghendaki. Namun, dia tak ingin berburuk sangka kepada siapa pun.

"Aisyah?"

"Kamu melamun lagi, kan?"

Tersenyum tipis, dia menggeleng.

"Nggak, eum ... kita pulang sekarang aja yuk, Mas!"

Wafi mengangguk. Tak lama mobil mereka meluncur membelah jalanan.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top