Menikahi Luka 27
Karenina terkejut saat dia menutup pintu kulkas, karena Hadijah sudah ada di sampingnya.
"Umi? Umi perlu apa? Kenapa Umi ke dapur? Biar saya yang ...."
Hadijah menggeleng, dia mengambil nampan berisi puding dari tangan menantunya kalau meletakkan di meja pantry. Melihat Hadijah yang bersikap tak biasa, keningnya berkerut.
"Ada apa, Umi?"
"Ikut Umi ke kamar sebentar," ajaknya sembari menggandeng tangan Karenina.
Hadijah menutup dan mengunci pintu kamar, sementara Karenina diam gak mengerti apa maksud mertuanya berbuat seperti itu.
"Umi? Ada apa ini?"
"Nina, maafkan Umi, tapi ini Umi lakukan agar kamu tidak bersedih, Nak," tuturnya. "Kita duduk dulu!" Dia memberi isyarat agar Karenina untuk ikut duduk di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.
Hadijah menyentuh punggung sang menantu.
"Umi bisa merasakan kamu tidak baik-baik saja, Nina. Umi sangat paham dengan apa yang kamu rasakan. Maafkan, Umi, Nina."
"Tapi Umi percaya kamu bisa paham dengan apa yang terjadi saat ini. Ini semua di luar dari logika dan perkiraan Umi sebagai manusia. Kamu percaya itu, kan?"
Dia mengangguk memahami maksud mertuanya. Tak lagi berkata-kata, Hadijah meraih tubuhnya. Mereka berpelukan.
Air mata Karenina luruh begitu saja ketika Hadijah memeluknya erat. Sekian lama merindukan kehadiran seorang ibu, kini dia seperti mendapatkan kembali sosok ibu yang lama dia rindukan. Berkali-kali Hadijah membisikkan agar dirinya bersabar karena apa yang terjadi ini pasti selalu ada campur tangan Allah.
Tak diduga ternyata, Hadijah tahu apa yang ada dipikiran menantunya. Siapa pun pasti akan merasa luka jika berada pada posisi Karenina saat ini.
"Umi tahu kamu kamu tidak punya perasaan yang buruk, tetapi Umi juga tahu, sebagai perempuan kamu pasti sedang merasa dilema. Iya, kan?" Dia mengurai pelukan.
"Umi, Umi tidak perlu khawatir, saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya sangat paham dengan semua yang terjadi pada hidup saya," tuturnya lirih.
"Umi tidak perlu merasa bersalah, karena memang tidak ada yang salah di sini. Semua berjalan pada rel yang seharusnya dan ... mungkin saya yang harus terus belajar untuk menjadi lebih baik lagi," imbuhnya dengan menyeka air mata.
Hadijah terlihat bernapas lega, dia mengusap kembali punggung sang menantu. Perempuan paruh baya itu semakin terpesona dengan ketulusan hati Karenina.
"Sebaiknya sekarang Umi kembali ke ruang makan. Mereka pasti bertanya-tanya kalau Umi lama tidak kembali."
"Iya, Nina. Kamu juga sebaiknya segera kembali bergabung ya."
Tersenyum manis, Karenina mengangguk.
**
Karenina tersenyum lebar saat teringat pujian dari Sofia dan ibu mertuanya soal puding juga kue buatannya di depan semua orang saat makan bersama tadi. Setidaknya hal itu bisa mengalihkan perasaan sendirinya di dalam jamuan makan tersebut.
Gemericik air dari kamar mandi masih terdengar. Pertanda Wafi masih belum selesai membersihkan diri. Sebentar lagi waktu Maghrib tiba. Satu pekan ini waktunya Wafi bersamanya. Meski begitu dia sudah melapangkan hati jika sewaktu-waktu suaminya harus menemani Mutia yang memang harus istirahat total untuk menjaga kandungannya.
Setelah menyediakan baju yang hendak digunakan sang suami ke masjid, dia melangkah menuju dapur. Siang tadi dia memasak sayur asem, sayur favorit Wafi. Setelah cukup lama belajar komposisi yang pas pada Bu Joko akhirnya dia bisa membuat sayur kesukaan suaminya itu. Tak lupa ikan goreng dan sambal dilengkapi dengan perkedel jagung dan tempe goreng. Sederhana, tetapi itulah yang digemari Wafi.
Mengenakan apron berwarna merah, Karenina membuat jus semangka untuk disuguhkan saat makan malam nanti.
"Sibuk banget? Apa biasanya kamu juga sibuk begini saat nggak ada aku?" Suara sang suami mengejutkannya.
Membalikkan badan, Karenina merapikan rambut yang mengganggu di sekitar matanya.
"Mas Wafi? Cepat banget sudah di sini? Bukannya tadi masih di kamar mandi?" tanyanya heran.
Tertawa kecil, Wafi membantu menyingkirkan rambut sang istri yang masih berserak di dahi.
"Kenapa? Nggak suka aku temani di dapur?"
"Bukan begitu, tapi Mas, kan mau ke masjid, nanti kotor bajunya," jawabnya sembari menggeleng.
"Iya deh, iya. Kamu lagi bikin apa?"
"Jus semangka! Mas pasti suka!"
"Hmm ... kelihatannya enak!"
"Insyaallah enak. Sekarang Mas ke masjid dulu ya."
"Oke, aku ke masjid dulu ya," tuturnya lalu mengecup lembut kening sang istri.
**
[Wafi sekarang ada di rumahmu, kan, Nin?]
[Iya, Mbak Hana.]
[Ingat apa yang sudah aku pesankan padamu!]
[Iya, Mbak. Saya nggak lupa.]
[Jangan sampai Wafi atau siapa pun tahu soal ini! Hapus histori pesanku, jangan lupa!]
[Iya, Mbak. Saya paham.]
Tak lagi tampak Hana mengetik pesan di aplikasi chatting berwarna hijau itu. Karenina menarik napas dalam-dalam mengingat tak satu pun obat anti hamil itu dia konsumsi. Ada kegamangan saat dia hendak meminum pil tersebut.
Satu sisi dia merasa tidak perlu, toh menurutnya Wafi tidak akan melakukan hal itu padanya karena Mutia sedang hamil dan perlu perhatian khusus, sementara di sisi lain dia sebenarnya juga khawatir jika Hana tahu dirinya tidak patuh pada perintah dan perjanjian mereka kala itu.
Karenina kembali menarik napas dalam-dalam, kemudian menghapus histori chattingnya dengan Hana, lalu kembali membaca surah Al-Baqarah yang tadi sempat tertunda hingga azan Isya berkumandang.
**
Ada kebahagiaan tersendiri kala masakan yang sudah dia persiapkan sedemikian rupa dinikmati dengan lahap oleh sang suami. Hal itu yang dirasakan oleh Karenina. Berulang-ulang wafi mengatakan jika masakannya enak. Pun demikian dengan jus semangka yang disiapkan, semuanya diteguk habis oleh Wafi.
Setelah makan malam, seperti biasa, Wafi menyimak hapalan istrinya. Kali ini Karenina tidak menambah lembar hapalannya, dia hanya murajaah saja. Karena belakangan ini dia tidak bisa fokus. Terlalu riuh di kepalanya berbagai hal yang dia pikirkan. Hal tersebut membuat Wafi sedikit heran.
"Aisyah."
"Iya, Mas?"
"Satu pekan ... dan belum ada satu tambahan ayat pun?" tanyanya lembut.
"Maaf, Mas," jawabnya lirih sembari memainkan ujung mukenanya.
"Kenapa? Ada hal yang mengganggumu? Atau kamu kecapean?"
Dia bergeming. Tentu saja ada banyak hal yang mengganggunya. Sejak kedatangan Hana yang membeberkan idenya, kemudian kehamilan Mutia dan sikap tak acuh dari mertua Wafi, semua itu sangat menggangunya.
Akan tetapi, tentu saja yak mungkin baginya untuk mengatakan hal yang sesungguhnya kepada sang suami.
Genggaman tangan Wafi membuatnya mengangkat wajah menatap pria yang masih mengenakan Koko berwarna putih itu.
Paras yang rupawan dengan senyum yang bisa membuatnya teduh itu begitu sulit untuk bisa dibantah. Dia benar-benar telah jatuh cinta pada Wafi. Semudah itu dia bisa menjatuhkan hatinya pada sang suami meski mungkin tidak demikian dengan Wafi.
"Aisyah?"
"Iya, Mas?"
"Kenapa diam? Ada yang kamu sembunyikan?"
Menggeleng pelan dia menjawab, "Tidak ada, Mas."
Karenina lalu menggigit bibir menyesali jika dia sudah berbohong pada sang suami.
'Maaf, Mas Wafi. Saya terpaksa berbohong untuk kebaikan semuanya,' batinnya.
Jawaban Karenina tentu tidak membuat Wafi percaya begitu saja. Dia tahu ada hal yang sengaja disembunyikan oleh Karenina darinya.
"Kamu yakin tidak ada yang di sembunyikan dariku?"
Dia mengangguk samar. Sementara Wafi semakin mendekati wajahnya lalu kembali kecupan manis tersemat di keningnya.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Aisyah."
Wafi mengusap lembut pipinya. Kini dia dan Wafi tak berjarak, hingga jelas terasa embusan napas suaminya itu di pipinya.
"Mungkin sudah waktunya aku melakukannya. Melaksanakan kewajiban dan hakku sebagai suami."
Tak menyangka jika Wafi mengatakan hal itu, Karenina tak bisa berkata-kata. Dia hanya berusaha tenang meski dadanya berdegup kencang dan seluruh persendiannya terasa tak berdaya. Sementara sentuhan lembut Wafi benar-benar tak bisa dia hindari.
Bohong jika dirinya tak menyukai segenap perlakuan manis sang suami. Sementara hatinya riuh oleh desir halus yang menjadi candu, di sisi lain kepalanya dipenuhi oleh kalimat ancaman dari Farhana.
"Mas."
"Hmm?"
"Eum ...."
"Aku lupa, kita masih di sini." Wafi membuat jarak, dan hal itu menjadikan dirinya lega.
Namun, tentu saja hal tersebut sementara, karena baru saja Karenina melepas mukenanya, dalam sekejap dia merasa melayang dalam gendongan sang suami.
"Kita ke kamar," bisiknya dengan tatapan mata lembut dan hangat yang dengan cepat kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuh Karenina hingga saat tubuhnya menyentuh kasur yang lembut.
Tak ada yang bisa mencegah dia insan yang telah halal di mata Allah untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Karenina sudah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dengan segenap perasaan cintanya.
Sementara sebagai seorang suami, tentu Wafi tahu apa yang seharusnya dia lakukan untuk membuat istrinya nyaman dan merasa dihargai.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top