Menikahi Luka 24


Takbir bergema di pelosok negeri, setiap orang muslim menyambut gembira. Rumah-rumah berhias cantik, segala kue terhidang lezat di meja menyambut datangnya hari kemenangan. Menyiapkan hidangan esok hari adalah kesibukan Karenina malam itu.

Menurut jadwal yang dia terima dari Mutia, hari pertama mereka semua akan berkumpul di kediaman Ustazah Hadijah hingga sore tiba, setelah itu bebas. Boleh tetap di sana atau berkunjung ke kerabat lainnya. Wafi sendiri saat ini masih berada di rumah Mutia. Karena memang satu pekan tepat pada malam lebaran.

Setelah kedatangan Farhana beberapa waktu yang lalu, dia sudah bisa menelaah kondisi yang sedang terjadi. Permintaan Farhana mungkin menyakitkan, tetapi setidaknya sikap kakak Wafi itu sudah jauh lebih melunak karena dia menyanggupi untuk mengikuti apa yang diinginkan Farhana.

Mungkin terasa tak adil bagi Mutia dan tentu saja bagi Hadijah, tetapi saat ini dia hanya ingin diberi ketenangan oleh Farhana, karena perempuan itu sudah tidak lagi kembali ke Bali. Farhana memutuskan untuk tinggal bersama Hadijah dan mengembangkan bisnisnya di kota itu.

Karenina ingin menunjukkan kepada kakak iparnya itu jika benar-benar tidak seperti yang dipikirkan oleh Farhana. Untuk mengubah persepsi anak tertua dari Hadijah itu. Dia memang harus mengunci mulut sampai benar-benar bisa menunjukkan kesungguhannya dalam berhijrah serta memberi kebahagiaan penjelasan baginya jika setiap orang berhak memilih dan memiliki kehidupan terbaik dengan belajar banyak dari kesalahan masa lalu.

Dia pun ingin mengembalikan nama baik almarhum papanya dengan caranya sendiri.

Bibirnya melebar melihat rumah sudah tertata rapi dan wangi. Besok pagi adalah kali pertamanya merayakan IdulFitri bersama keluarga barunya. Wafi berpesan melalui aplikasi hijau jika dia akan datang sebelum subuh untuk membersamai nya salat Ied pagi nanti. Kebetulan juga Wafi akan menjadi khatib di halaman pondok pesantren miliknya.

Saat sedang menata toples di meja, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari Farhana membuatnya menarik napas dalam-dalam.

[Nina, besok kita semua kumpul di rumah Umi, aku harap kamu benar-benar bisa memegang janji!]

[Iya, Mbak Hana. Mbak nggak perlu khawatir.]

[Pil yang dibelikan itu gimana?]

[Masih ada, Mbak.]

[Bagus. Kamu minum loh ya.]

[Iya, Mbak.]

Tak ada balasan dari kakak iparnya, dia lalu kembali meletakkan ponsel itu ke atas meja. Karenina memang belum mengonsumsi pil untuk menghambat kehamilan tersebut, karena memang dia dan Wafi sampai saat ini belum pernah melakukan hal yang satu itu. Selain karena masih dalam tahap pengenalan, Wafi juga harus membagi waktu dengannya dan dengan Mutia.

**

Mutia masih enggan menyentuh hidangan buka puasa. Padahal menu di penghujung ramadan itu adalah makanan kesukaannya.  Seharian perempuan itu merasa kehilangan tenaga. Bahkan Mutia memilih tidak beranjak dari ranjang ketika Wafi mengajaknya berbuka puasa di ruang makan.

"Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya sembari mengusap peluh di dahi sang istri. "Aku nggak enak badan, kita ke dokter ya."

"Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa. Mas buka puasa sendiri ya," pintanya. "Kepalaku pusing banget." Dia kembali bersandar di ranjang.

"Oke, aku bawakan minuman hangat lagi sama kurma untukmu, ya? Sejak tadi kamu hanya minum saja, kan?"

Mutia mengangguk lalu perlahan merebahkan tubuhnya. Tiba saja dia merasa mual dan kehilangan selera makan meskipun azan Maghrib tanda berbuka puasa sudah berkumandang.

"Mutia ... minum dulu, ini kurmanya. Kamu harus makan  beberapa.  Lembut Wafi kembali menyodorkan segelas air hangat dan kurma yang sejak tadi tidak disentuh oleh sang istri.

"Sudah salat Maghrib?" tanyanya.

"Maaf, Mas. Aku salat berbaring tadi.aku benar-benar nggak kuat sama rasa mual dan pusing ini," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

"Hei, iya, nggak apa-apa. Allah berikan kelonggaran itu untuk digunakan. Jadi jangan merasa bersalah karena telah salat dengan berbaring. Itu adalah solusi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya saat tak mampu untuk bangun. Kamu pasti paham itu, kan?"

Mutia mengangguk lemah. Dia mencoba mengunyah kurma yang baru saja dia ambil dari piring kecil yang ada di tangan suaminya.

"Sepertinya kamu nggak bisa ditinggal. Aku akan telepon Aisyah untuk mengabarkan kalau ...."

"Nggak perlu, Mas. Besok subuh insyaallah aku sudah baikan. Mas tetap harus ke sana. Penuhi kewajiban yang sudah seharusnya Mas lakukan!" Mutia menggeleng sembari memberi isyarat agar Wafi tak membantah.

Menarik napas dalam-dalam, Wafi mengangguk. Tak lama suara bel di pintu berbunyi.

"Aku rasa itu Mbak Hana, Mas. Tadi Mbak Hana telepon, dan aku cerita kalau aku sedang nggak enak badan, Mbak Hana janji ke sini selepas berbuka puasa."

"Oke, aku buka pintunya dulu ya."

Wafi beranjak dari kamar lalu membuka pintu. Benar apa yang dikatakan istrinya. Hana tiba dengan membawa sekeranjang buah-buahan segar. Wafi mengernyit menatap paras kakak tertuanya itu.

"Mbak Hana? Kenapa kelihatan gembira begitu?"

"Kamu nggak senang kalau Mbakmu ini bahagia?"

"Ya tentu senang, Mbak. Tapi ...."

"Sstt, udah! Ini Mbak nggak disuruh masuk nih?" Hana tersenyum lebar sembari menyerahkan bawaannya ke Wafi.

Wafi tersenyum tipis menerima bingkisan dari Farhana, dia lalu memberi jalan untuk sang kakak masuk ke rumah.

Kebahagiaan Farhana bukan tak beralasan, dia berharap keluhan Mutia adalah cikal bakal dari kehamilannya. Kakak pertama Wafi itu berharap sangat pada kehamilan istri adiknya itu.

"Apa ini, Mbak? Testpack?" tanya Mutia dengan mata menyipit.

"Iya. Testpack. Kamu belum coba pakai ini?"

Tertawa hambar, Mutia menggeleng. Dia bahkan sudah bosan melihat benda kecil itu. Dulu dia pernah membeli satu kotak sekaligus alat pendeteksi kehamilan itu, tetapi semuanya sia-sia. Kini jika Farhana membawakan untuknya, tentu akan terasa tak berguna.

"Sebaiknya Mbak nggak usah berekspektasi terlalu tinggi deh, Mbak. Benda itu tidak akan berfungsi meski aku mencoba semuanya satu per satu," ungkapnya malas.

"Mutia, kamu tidak sedang meragukan usaha dan doamu, kan?" Farhana menatap lekat adik iparnya.

Membuang napas perlahan, dia menggeleng.

"Tentu tidak, Mbak. Hanya saja untuk soal ini aku sudah tidak pernah lagi berharap karena ...."

"Karena kamu sudah mengalihkannya ke Karenina. Iya, kan?"

Mutia membisu. Tentu saja pertanyaan itu tidak harus dijawab, karena memang seperti itu adanya. Dia pun sudah membungkus rasa cemburu dengan segudang harapan agar Wafi bahagia.

"Mutia dengar! Kamu nggak boleh melenyapkan harap dan semua usaha yang sudah kamu dan Wafi lakukan. Akan selalu ada kemungkinan meskipun kecil untuk bisa mewujudkan apa yang jadi harapan kalian! Allah tahu, kok kalian bisa. Dan aku rasa kamu paham soal itu."

Mutia kembali membuang napasnya. Farhana benar, tetapi dia sudah sampai pada titik lelah dan pasrah. Farhana tidak tahu bagaimana rasanya saat ditanya soal anak oleh para jamaah yang belum tahu kondisinya.

Farhana juga tidak mengerti rasanya saat melihat mata Wafi yang berbinar ketika melihat anak kecil yang berlarian di masjid saat ikut ayah atau kedua orang tuanya ke kajian yang dia isi.

Kakak iparnya itu tidak bisa merasakan saat dia mendengar kasak kusuk soal kesuburan rahimnya. Semua itu dia telan dan abaikan bertahun-tahun dengan berpura-pura bersikap baik-baik saja di depan semua orang termasuk di depan Wafi suaminya

"Mutia, sebaiknya kamu coba. Please, Mbak sayang sama kamu, dan Mbak mau kamu dan Wafi bahagia!" Mata Farhana terlihat begitu berharap. "Coba ya. Mbak kali ini merasa yakin karena keluhan yang kamu alami ini hampir sama dengan keluhan pada umumnya ibu-ibu yang sedang hamil. Mbak juga dulu begitu. Jadi kamu coba ya?"

**

Terima kasih sudah berkunjung 🫰

Semoga suka

Salam hangat 😘🫰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top