Menikahi Luka 23
Baru saja Karenina mengenakan mukena hendak salat Duha, terdengar ketukan dan salam dari luar. Gegas perempuan yang memiliki alis indah itu memakai kaus kakinya. Sebelum membukakan pintu, dia lebih dahulu menyibak gorden untuk memastikan siapa yang datang.
"Mbak Hana?" gumamnya sembari menyipitkan mata.
Tak ingin kakak iparnya itu lama menunggu, dia segera membukakan pintu dan menyapa dengan sopan.
"Boleh aku masuk?" tanya Farhana setelah salamnya dibalas.
"Boleh, Mbak. Silakan." Dia memberi jalan agar anak pertama dari Hadijah itu masuk.
Setelah mempersilakan duduk, ramah Karenina berbasa-basi menanyakan kabar anak-anaknya.
"Nggak perlu basa-basi. Aku nggak lama!" Sama sekali tak terdengar nada bersahabat dari suaranya.
"Baik, Mbak. Maaf, ada perlu apa? Sepertinya ada hal penting yang ...."
"Iya. Penting. Sangat penting, karena ini menyangkut masa depan adikku dan lembaga pendidikan yang dia kelola!" potongnya.
Karenina menarik napas dalam-dalam, dia mengangguk samar dan menunggu Farhana melanjutkan ucapannya.
"Kamu paham dan aku rasa kamu tahu sejarah lembaga pendidikan ini, kan?"
Dia mengangguk lagi.
"Aku nggak mau semua yang sudah dirintis almarhum abiku jadi rusak."
Hening sejenak.
"Dengar, Nina! Keluargaku adalah keluarga yang sangat dihormati tidak hanya di kota ini, tetapi hampir di seluruh negeri ini tahu. Sekian lama perjalanan orang tuaku membangun semua ini hingga bisa mendapatkan citra yang baik di mata khalayak, dan aku tidak rela jika ada yang merusaknya meski hanya setitik! Karena sudah pasti semuanya akan hancur, dan aku rasa kalau kamu paham kamu juga tidak akan mau, kan?"
"Iya, Mbak," jawabnya sembari kembali mengangguk.
"Mungkin benar, kamu adalah perempuan yang sudah berhijrah, bahkan sudah hapal beberapa juz Alquran, tapi keluarga kami tidak tahu siapa keluargamu dan latar belakang keluargamu."
"Sebagai anak paling tua, aku punya hak dan tanggung jawab untuk tahu, sayangnya waktu Umi cerita soal kamu tidak lengkap, dan aku pun tidak bisa datang cepat kala itu."
Karenina mulai gelisah, dia mulai bisa mengetahui arah pembicaraan Farhana.
"Aku sangat menyesal setelah tahu siapa kamu, tetapi semua sudah telanjur terjadi. Pernikahan sudah dilangsungkan dan aku tidak bisa mencegah kemauan Umi, Mutia, juga Sofia," paparnya.
"Seharusnya, sebelum kamu menerima, kamu harus berpikir lebih dalam tentang bibit bobot dan bebet! Jelas tiga itu kamu masih tidak bisa aku melihat hal yang mumpuni untuk menjadi istri adikku," sindirnya. "Apa yang kamu pikirkan sehingga menerima begitu saja bahkan dengan cepat meng-iyakan tawaran mereka?"
Karenina menunduk, dadanya terasa sesak, denyut nyeri begitu terasa menyakitkan. Matanya pun mulai berkaca-kaca. Mungkin apa yang dikatakan Farhana itu benar, tetapi sungguh sangat menyakitkan untuk didengar olehnya, terlebih di saat dirinya sudah merasa siap untuk menjalankan apa yang menjadi harapan Mutia.
Karenina sudah tidak lagi merasa harus menunggu Wafi mencintainya seperti yang pernah dia harapkan sebelum dirinya banyak berbicara dengan Mutia. Melihat kegigihan dan keikhlasan kakak madunya itu dia sudah bisa berdamai dengan hati dan berniat untuk benar-benar ikhlas berhijrah untuk menebus semua dosa yang pernah dia lakukan di masa lampau.
Namun, saat mendengar ucapan Farhana, hati dan semangatnya mendadak patah. Patah untuk sebuah semangat jika dirinya pun bisa menjadi perempuan salihah yang seutuhnya. Semangatnya kembali setipis kulit ari, karena memang selama ini dirinya selalu berpikir jika keluarga besar Wafi sudah sangat bisa memahami dan menerimanya meski dia tahu Farhana masih tidak percaya padanya.
"Aku tahu setiap orang punya masa lalu, tapi coba kamu pikirkan, apa yang ada di benak orang di luar sana kalau mereka tahu siapa kamu. Siapa istri kedua Ustaz Wafi, siapa istri kedua menantu Ustazah Hadijah? Dan bahkan kami pun tidak bisa menjabarkan siapa kamu dan keluargamu, Karenina!" Nada suara Farhana meninggi. "Terlebih setelah aku tahu kalau temanmu adalah perempuan yang sudah menghancurkan keluargaku!" imbuhnya ketus.
"Cukup, Mbak Hana, cukup!" Karenina memberanikan diri untuk angkat bicara dengan napas tertahan.
"Maafkan saya yang sudah lancang dan tidak tahu diri masuk ke keluarga Mbak Hana. Maafkan saya karena saya tidak berpikir lebih untuk menerima Mas Wafi, maafkan saya dengan segala kesalahan yang saya buat, tapi beri kesempatan untuk saya untuk membuktikan jika saya benar-benar sudah berubah, bahwa saya benar-benar sudah bertobat dan terus berusaha untuk menjadi baik. Tolong, Mbak."
Farhana bergeming. Dia lalu menggeleng.
"Aku nggak mungkin meminta Wafi untuk membatalkan pernikahan atau menceraikanmu. Karena tentu adikku tidak akan melakukan itu. Demikian pula dengan Umi, Sofia, juga Mutia. Karena mereka sudah sedemikian rupa percaya begitu saja padamu!"
Karenina menyeka air matanya, masih dengan napas tersendat dia mengangkat wajahnya menatap Farhana.
"Apa yang harus saya lakukan, Mbak? Apa yang harus saya lakukan supaya Mbak Hana bisa percaya bahwa saya sebenarnya dari keluarga baik-baik yang hanya saja keadaan yang menjadikan diri saya seperti ini. Katakan, Mbak."
Perempuan yang mengenakan pasmina cokelat itu menaikkan alisnya.
"Kamu dinikahi oleh Wafi karena ada hal yang terpaksa dia lakukan, kan?"
Karenina mengangguk.
"Kamu tahu siapa Mutiara Salsabila, istri Wafi?"
Perempuan yang masih mengenakan mukena itu kembali menunduk. Siapa yang tidak kenal dengan Ustaz Burhan, beliau adalah salah satu dari Ustaz senior yang tentu sangat disegani. Ibaratnya jika Ustaz Burhan matahari, maka menantunya, Wafi adalah bulannya. Lalu dia, siapa? Pantas dan wajar jika Farhana selalu mengulik latar belakang keluarganya. Terlebih jejak hidupnya bukan jalan yang biasa dilalui oleh Mutiara Salsabila.
"Tahu, Mbak," jawabnya lirih.
"Dia itu perempuan cerdas yang layak menjadi pendamping adikku. Dari segala aspek dia memiliki semua kriteria yang seharusnya dimiliki pendamping seorang ustaz. Kontribusi untuk ummat jangan diragukan lagi untuk seorang Mutia, untuk hal itu aku pun nggak akan menjelaskan, karena aku tahu kamu pasti sudah mengetahui detailnya."
Farhana menarik napasnya lalu kembali berkata, "Sejak lama setelah dia merindukan kehadiran seorang anak, Mutia tidak pernah absen untuk konsultasi ke dokter kandungan terbaik di kota ini, dan sampai sekarang pun dia masih terus berikhtiar untuk itu meski Allah belum mengabulkan keinginannya yang tentu saja juga keinginan Wafi."
"Aku yakin Mutia bisa hamil dan melahirkan anak mereka tanpa harus Wafi menikah dengan orang lain, tanpa harus memasukkan orang lain lagi ke dalam keluarga kami, tapi ... karena semua sudah terjadi, aku nggak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan kamu berada di tengah-tengah keluarga kami."
Karenina semakin terluka. Dia tak ubahnya seperti pesakitan yang tak bisa berbuat apa-apa meski dia bisa melakukan itu. Jiwanya seolah dikoyak tak berbentuk dari setiap ucapan yang keluar dari mulut Farhana.
"Jadi, Nina ... aku mohon berhenti berangan-angan memiliki anak dari Wafi. Berhenti bermimpi untuk bisa menghadirkan kebahagiaan untuk mereka berdua dari rahimmu! Karena aku nggak akan pernah rela di keluargaku ada keturunan yang muncul dari seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya dengan jelas!" paparnya lagi dengan mata memindai tajam. "Kamu paham maksudnya, kan?"
Karenina bergeming. Dia bahkan seolah tidak bisa menyangga tubuhnya mendengar semua penuturan Farhana.
"Aku perjelas! Aku nggak mau kamu sampai hamil! Sebaiknya kamu mencegah kehamilan kamu dengan cara apa pun! Dan jangan sampai siapa pun tahu soal ini. Aku sangat berharap kamu bisa bekerja sama! Kamu bisa mengerti, kan?"
Tak menyangka akan ada ucapan seperti itu dari Farhana, Karenina semakin dibuat tak berkutik. Dia hanya mengangguk samar.
"Aku berharap program hamil Mutia sukses, karena kali ini dia ditangani oleh Profesor Haris dan istrinya! Jika pun tidak berhasil, sebaiknya jangan pernah bermimpi untuk melahirkan keturunan Wafi adikku!"
**
Terima kasih sudah berkunjung 🫰
Semoga suka kisahnya yaa.
Colek aja kalau nemu typo.
Peluk hangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top