Menikahi Luka 19
"Farhana, tenangkan dirimu! Cukup! Seperti yang kamu bilang jika kamu dengan Bram sudah menjadi masa lalu, kan? Sekarang biarkan dia dengan pilihannya dan kamu juga berhak bahagia dengan pilihanmu!" Hadijah berucap tegas.
"Hana tahu, dan Hana nggak peduli sama dia atau perempuan itu, yang Hana pedulikan sekarang adalah Wafi dan Mutia, Umi," tuturnya membela diri.
"Urusan Wafi sudah ada sendiri dan kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Apa pun yang nantinya akan terjadi, Umi rasa Wafi sudah dewasa, kamu tidak perlu khawatir," papar Hadijah masih dengan nada tegas.
"Maafkan saya, Umi. Wafi, maafkan aku dan maafkan kedatangan kami, Karenina. Sepertinya kami harus segera pergi dari sini, karena ...."
"Pergilah!" Hana masih dengan wajah meradang.
Tak ada kalimat lagi yang diucapkan oleh Bram. Dia lalu memberi isyarat agar Sheila mengemas tasnya dan mengajak untuk pergi. Sebelum pergi, dia menghampiri Karenina yang tak bisa berbuat apa-apa selain tunduk.
"Nina, aku balik ya. Maafin aku karena aku sudah membuat kacau pertemuan kita ini," ungkapnya lirih.
Karenina hanya mengangguk menahan air mata yang hendak tumpah.
"Aku juga minta maaf, Sheila. Kamu hati-hati ya."
Sheila mengangguk lalu membungkuk ke arah Hadijah kemudian melangkah mengikuti Bram yang sudah lebih dahulu meninggalkan ruangan itu.
Sepeninggal kedua tamu Karenina, Wafi menarik napas lega, demikian pula dengan Ibnu dan Hadijah. Sementara Farhana masih tampak dipenuhi oleh amarah.
"Minumlah, dan segera berwudu, setelah itu kita melanjutkan untuk berbuka puasa bersama," tutur Hadijah sembari menyodorkan segelas air putih ke putrinya.
Tak menolak, dia meneguk minuman itu perlahan lalu meletakkan di atas meja.
"Hana pulang duluan aja, Mi."
"Kenapa? Tadi kita ke sini untuk memenuhi undangan adikmu juga Karenina."
Menggeleng cepat, Hana bangkit.
"Maaf, Umi, Hana nggak bisa." Dia menatap adik iparnya yang masih menunduk. "Wafi, sebaiknya kamu berhati-hati dengan siapa pun itu termasuk orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam keluarga kita dengan mudahnya!" ujarnya sengit.
Wafi tak menjawab, dia membiarkan saudara tertuanya itu berjalan cepat meninggalkan mereka semua.
Sepeninggal Farhana, Hadijah menoleh ke Karenina. Dia tahu bagaimana suasana hati menantu barunya itu. Tentu tidak mudah menerima ucapan buruk dari Farhana barusan, terlebih hal itu diucapkan di depan banyak orang.
"Nina."
"Iya, Umi?"
"Umi minta maaf ya. Umi minta kamu juga mau memaafkan Mbak Hana," tutur Hadijah hati-hati.
Seraya mengangguk, Karenina tersenyum.
"Iya, Umi. Seharusnya saya yang minta maaf, karena saya sudah mengizinkan mereka datang dan ...."
"Bukan salahmu, kamu tidak tahu apa-apa soal ini. Yang kamu tahu hanya Sheila temanmu dan dia datang mengunjungimu, itu saja, kan?"
"Iya, Umi," sahutnya dengan suara pelan.
Menarik napas dalam-dalam, Wafi meraih jemari istrinya lalu menggenggam erat.
"Mbak Hana hanya terbawa emosi tadi, jadi kamu jangan pernah berpikir macam-macam, Aisyah," ujar Wafi lembut.
"Iya, Mas. Saya paham, kok. Mungkin kalau saya ada di posisi Mbak Hana juga akan bersikap seperti itu, aku paham, sangat paham."
Hadijah menarik kedua sudut bibirnya, lalu menoleh ke Ibnu.
"Panggil Sofia juga Nida dan Fahmi, kita makan bareng. Kasihan Nina sudah memasakkan banyak untuk kita!" titahnya yang ditanggapi anggukan oleh Ibnu.
**
Karenina mencium punggung tangan suaminya. Malam ini Wafi akan menemani Mutia hingga satu pekan. Itu artinya sepanjang malam dia akan sendiri sama seperti malam-malam saat dia masih belum menikah. Ada banyak rencana di kepalanya untuk memanfaatkan malam-malam di saat suaminya tidak di rumah.
Tentu saja dia akan kembali mencoba menggambarkan pola desain untuk gamis dan mungkin akan menambah keterampilan memasaknya yang sudah mulai bisa dikatakan baik karena saat berbuka tadi, sang mertua memuji masakannya.
Selain itu dia akan kembali melancarkan hapalan yang masih belum begitu sempurna menurutnya.
"Kamu baik-baik di rumah ya. Besok pagi seperti biasa Bu Joko datang. Oh iya, apa perlu aku minta beliau menemanimu malam hari?" Wafi terlihat khawatir.
"Nggak perlu, Mas. Saya di sini di lingkungan pesantren saja sudah merasakan kenyamanan. Jadi Mas nggak perlu khawatir."
Wafi tersenyum. Dia merasa lega karena Karenina dengan mudah bisa menyesuaikan diri di tempat yang baru.
"Besok ada kajian di masjid, ada Ustazah Halimah, mungkin besok ada Mbak Sofia juga. Kamu mau ikut?"
"Iya, Mas. Tadi Mbak Sofia sudah bilang ke saya, dan insyaallah saya datang kalau Mas izinkan."
Mengusap puncak kepala sang istri, Wafi melebarkan bibirnya.
"Pasti aku izinkan untuk hal-hal yang baik seperti itu," tuturnya dengan tatapan mata yang hangat.
"Makasih, Mas."
Mengangguk, Wafi lalu melihat ke jam dinding.
"Aku tinggal, ya."
"Iya, Mas. Hati-hati, salam untuk Mbak Mutia."
"Insyaallah. Assalamualaikum, Aisyah."
"Waalaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, Mas. Hati-hati," pesannya lagi.
Pria yang mengenakan kurta berwarna hitam itu mengangguk lalu menitahkan agar istrinya segera masuk dan mengunci rumah mereka.
**
Wafi tersenyum melihat Mutia membuka pintu. Perempuan yang dinikahinya sepuluh tahun yang lalu itu masih sama seperti dulu. Senyum tulus tak pernah absen saat menyambut kedatangannya. Wafi selalu merasa beruntung memiliki Mutia. Dengan kecerdasan yang dimiliki, dia bisa membantu memajukan visi dan misi pesantren yang dipimpin Wafi.
Tak jarang dia diminta untuk mengisi pengajian di kampus atau di pengajian ibu-ibu di berbagai tempat. Meski Mutia sibuk, dia tidak pernah abai dengan segala kewajibannya. Sikap tawadhu yang ditunjukkan sang istri itulah yang membuatnya berat jika harus mengabulkan permintaan Mutia kala itu.
"Mas Wafi? Kenapa masih berdiri di situ? Ada yang salah? Atau ... Mas masih ingin ke rumah Karenina?" Pertanyaan istrinya membuat Wafi tersenyum lebar, dia lalu menutup pintu dan memeluk Mutia erat.
"Kenapa pertanyaanmu begitu?" Wafi mencubit gemas pipi Mutia.
"Nggak apa-apa, kalau memang Mas masih mau lebih lama di sana nggak apa-apa. Aku paham, kok," tuturnya dengan kerling menggoda.
Melihat gesture dan ekspresi sang istri, dia tertawa kecil lalu menarik lembut pinggang Mutia mendekat ke arahnya. Menatap hangat, pelan dia membelai pipi perempuan yang mengenakan baju terusan sebatas lutut dengan potongan dada rendah itu.
"Aku nggak akan membiarkan kamu sendiri di saat yang seharusnya aku bersamamu, Mutia. Biar bagaimanapun, kamu adalah perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta," ujarnya kemudian mendaratkan kecupan di kening istrinya.
Senyum lebar kembali tercetak di bibir Mutia. Diantak akan berbohong dengan perasaannya, bahwa saat harus berjauhan dengan Wafi dirinya merasa rindu, tetapi hal itu selalu berusaha dia tepis karena ada hal yang lebih penting daripada perasaannya.
"Mas tadi bilang udah makan di rumah Nina, kan? Jadi gimana kalau sekarang kita jalan-jalan keluar?"
"Keluar? Kamu mau ke mana?"
Mutia mengedikkan bahu, sambil tertawa kecil dia mengungkapkan keinginannya untuk sekadar menghabiskan waktu di luar rumah bersama Wafi.
"Sambil beli siomay depan hotel syari'ah itu, Mas. Aku pengin banget!" pintanya.
Mengerutkan dahi, Wafi tersenyum lalu mengangguk.
"Oke,tapi nggak biasanya kamu begini?Tumben?"
Mutia berjalan ke kamar dia berniat untuk mengganti bajunya.
"Aku kangen aja sama tempat pertama kita ketemu waktu itu," ungkapnya.
Tertawa kecil, Wafi menggeleng mengikuti langkah istrinya. Dia ingat penjual siomay yang disebutkan Mutia itu memang menjadi awal mula dia bertemu.
Sekilas, tetapi sangat bermakna. Kala itu Mutia menunggu giliran dilayani oleh penjualnya, sementara Wafi sudah selesai, tetapi sayangnya waktu itu ternyata dia tak sadar jika dompet di kantong celananya tidak ada.
Kebingungan, Wafi yang kala itu memang sudah kenal dengan Mutia meminta tolong pada Mutia agar mau meminjamkan uangnya untuk membayar siomay.
"Aku bersyukur dompetku ketinggalan saat itu."
"Bersyukur?" Mutia berdiri membelakangi Wafi dan meminta agar suaminya menarik resleting gamisnya.
"Iya, setidaknya Allah sudah menunjukkan siapa jodohku melalui dompet yang tertinggal dan tukang siomay," terangnya sembari memeluk sang istri dari belakang."Karena sebelumnya Abi selalu bercerita tentang kamu, Mutia."
Mutia tersenyum, dia pun tak pernah habis untuk merasa bahagia dan penuh syukur karena Allah memberikan suami yang sangat baik padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top