Menikahi Luka 15

Rumah bercat hijau itu terlihat sangat asri dan bersih. Ada pohon mangga di depan yang membuat sejuk dan beberapa tanaman lidah mertua dan pucuk merah serta kembang krokot yang akan mekar saat mentari mulai naik.

Dia kemudian masuk, sofa berwarna kuning gading dan rak buku menyambut kedatangannya. Buku-buku berbahasa Arab yang dia tidak tahu apa isinya itu berjajar rapi mengisi rak kaca tersebut.

Dia masih mendengar sang suami bercakap-cakap di luar dengan salah satu ustaz. Karenina terus melangkah masuk. Rumah ini ada dua kamar yang masing-masing memiliki kamar mandi di dalam. Perempuan bergamis hitam itu melangkah ke ruang tengah.

Ada sofa besar berwarna cokelat. Ruangan itu memang terlihat lebih luas karena langsung terkoneksi dengan pantry dan ruang baca. Konsepnya sangat sederhana, tetapi bisa membuat siapa pun nyaman.

Karenina menarik kedua sudut bibirnya, dia melangkah ke pantry. Semuanya alat masak lengkap ada di sana. Meski dia bukan perempuan yang hobi memasak, tetapi kali ini dia harus menyukainya.

Dia masih teringat bagaimana dulu sekali saat keluarganya masih utuh, Bik Rohimah pernah bilang jika nanti dirinya sudah berumah tangga harus bisa memasak, karena memanjakan perut suami itu salah satu cara agar suami tidak berpaling.

"Semoga kamu suka rumahnya." Suara Wafi tiba-tiba terdengar tepat di belakangnya.

"Mas Wafi? Eum ... iya, saya suka," tuturnya sembari membalikkan badan.

"Kamu suka masak?" tanya pria itu dengan bibir mengulas senyum.

Karenina tersenyum datar.

"Nggak suka?" tanyanya lagi.

"Mungkin setelah ini aku akan menyukainya," ujar Karenina dengan pipi memerah karena malu.

"Memasak itu hal yang mudah, kok. Asal ada kemauan aja untuk belajar."

Wafi mendekat dan berdiri di depan sang istri.

"Nanti kamu bisa belajar sama aku," ujar Wafi sembari memasukkan tangannya ke saku celana.

"Mas pintar masak?" tanyanya mencoba membunuh ketegangan yang sejak tadi menyelimuti.

"Nggak pintar, cuma bisa. Kalau pintar ... aku jadi chef nanti, bukan ngajar para santri," candanya sembari menaik turunkan alis.

Karenina tertawa kecil mendengar celoteh sang suami. "Sudah malam, Mas. Mas mau istirahat atau mau aku buatkan minuman?"

Wafi menggeleng. "Istirahat aja. Nanti telat salat lail-nya. Kita masih harus sahur juga, kan?"

Dia mengangguk. Ini adalah moment canggung selanjutnya. Wafi sudah sah menjadi suaminya, dan itu artinya jika pun malam ini mereka mulai sekamar, tentu saja apa yang akan dilakukan sang suami padanya adalah bernilai ibadah.

Seperti memahami apa yang bergelayut di pikiran sang istri, Wafi tersenyum.

"Koper sudah aku letakkan di kamar kita, kamar depan. Kalau kamu mau ganti baju atau bebersih silakan. Aku menunggu di luar."

Karenina mengangguk samar. Dia lalu mengayun langkah menuju ke kamar diikuti oleh tatapan Wafi yang masih tersenyum.

Perlahan Karenina menutup pintu kamar. Perempuan itu memandang ke arah cermin betapa wajahnya merona merah dan debar cepat di hatinya seperti tak berdetak normal.

Matanya mengedar ke setiap sudut ruangan. Tak ada televisi di sana. Yang ada hanya meja dan lagi-lagi rak buku yang serupa seperti yang dia temui di ruang tamu dan ruang tengah tadi. Kemudian dia menatap ke sisi lain ranjang, ada dua sajadah terhampar yang salah satunya ada mukena terlipat rapi di sana. Melihat itu, semakin keras jantungnya berdegup.

"Ya Allah ... apa yang aku lakukan sekarang?" gumamnya seperti seseorang yang sedang dalam ancaman.

Karenina melangkah ke ranjang. Tempat tidur dengan ukuran besar itu terlihat sangat nyaman. Ada dua bantal dan satu guling dilengkapi dengan selimut tebal. Masih dengan pakaian tertutup, lengkap dengan khimarnya, Karenina merebahkan tubuh di sana. Rasa penat seharian membuat matanya tak bisa ditahan untuk terpejam.

Sementara Wafi yang sejak tadi menunggu heran karena sang istri tidak juga keluar dari kamar. Beranjak dari sofa, pria itu berjalan mendekati kamar.

"Aisyah, Aisyah? Kamu nggak apa-apa, kan? Aisyah?" panggilnya sembari mengetuk pintu berkali-kali.

Tidak ada tanda-tanda pintu terbuka. Wafi mulai merasa ada yang tak beres. Meski begitu dia kembali mengetuk pintu dan hasilnya sama. Pintu itu tetap tertutup.

Menarik napas dalam-dalam, Wafi memutar kenop pintu. Dia mengucap syukur karena tak dikunci. Perlahan pria itu membuka lebar pintu kamar itu. Matanya tertumbuk pada satu pemandangan yang membuat dia tersenyum.

Sang istri tampak terlelap kelelahan di ranjang dan masih memakai pakaian yang sama sebelum masuk kamar tadi. Masih dengan langkah pelan, Wafi mendekat. Dipindainya paras Karenina yang tengah terpejam itu dengan senyuman. Tak ingin sang istri terjaga, Wafi kembali menuju pintu dan perlahan menutup dari luar.

**

Karenina terjaga saat mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Sadar sedang tidak berada di rumahnya sendiri, gegas dia bangkit dan merapikan khimar dan gamisnya. Wajahnya tampak merasa bersalah karena sudah terlelap tanpa sengaja.

Dia lalu bangkit dari ranjang saat Wafi keluar dari kamar mandi. Pria itu sudah mengenakan kaus oblong dan celana tiga perempat. Tampak sang suami baru saja berwudu karena rambut dan wajahnya terlihat basah.

"Hai, sudah bangun?" sapa pria itu dengan mata menyipit. "Kamu Sepertinya sangat lelah. Nggak apa-apa kalau mau kembali tidur, nanti masuk waktu sahur, aku bangunkan."

Karenina menggeleng, dia menggigit bibir sembari menunduk.

"Maafkan saya, Mas. Saya ketiduran. Maaf kalau Mas menunggu dan ...."

Wafi tertawa kecil sembari menggeleng.

"Nggak apa-apa. Aku tahu kamu lelah. Meski tadi aku menunggu cukup lama dan ... aku khawatir kamu kenapa kenapa," ujarnya masih dengan tawa. "Aku lega lihat kamu tertidur nyenyak. Itu artinya kamu betah di sini," imbuhnya.

Wafi mendekat, dia lalu meraih tangan Karenina.

"Aku tahu kamu mungkin belum terbiasa berada di situasi seperti ini, tapi percayalah, andai gamis dan khimar itu bicara dia pasti nakan berteriak jika dia lelah," bisiknya.

Kembali berada sangat dekat dengan Wafi, Karenina seolah berada di puncak kincir angin yang tinggi dan siap-siap meluncur ke bawah.

"Aisyah?"

"Eh iya, Mas. Eum ... saya ganti baju dulu."

Pria itu mengangguk membiarkan sang istri menuju ke lemari.

"Aisyah."

"Ya, Mas?"

"Nggak perlu pakai khimar di dalam rumah, ya. Aku suamimu."

Membasahi kerongkongannya, Karenina hanya mengangguk menanggapi.

"Kita salat jama'ah dua rakaat ya. Aku tunggu," imbuhnya sembari duduk di sofa yang ada di kamar itu.

"Iya, Mas."

Cukup lama Karenina mematut diri di depan cermin di dalam kamar mandi. Dia benar-benar tidak bisa tenang dan tidak yakin dengan tampilannya tanpa khimar. Terlebih jika harus keluar dari kamar mandi tanpa penutup kepala dan terlihat oleh pria yang sedang menunggunya.

"Aisyah, kamu nggak tidur, kan di dalam sana? Ayo keluar, waktunya jalan terus ini." Suara Wafi memanggilnya.

Dia sadar tidak mungkin di dalam sini terus, karena tentu semuanya akan tertunda. Menarik napas dalam-dalam, Karenina memutar kenop dan perlahan keluar dari kamar mandi.

Memakai baju panjang berwarna biru langit, Karenina membiarkan rambutnya tergerai begitu saja. Perlahan di melangkah meski lagi-lagi guruh di dadanya sangat riuh.

Wafi yang duduk di sofa tampak terpesona melihat perempuan yang sejak pagi tadi sudah sah menjadi istrinya. Mata pria itu menelisik Karenina dari ujung rambut hingga kaki.

Tampak sempurna. Kulit putih dan rambut hitam, hidung mancung serta mata indah dan alis yang rapi, semua itu adalah pahatan sempurna yang di berikan Allah kepada istrinya.

Andai dia tak ingat jika akan melaksanakan salat dua rakaat, mungkin Wafi akan tetap di tempatnya sambil terus mengamati kecantikan sang istri dari setiap sudutnya.

Semoga kisah ini masih menyenangkan untuk dibaca.

Terima kasih apresiasinya.

Colek aja jika typo yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top