Menikahi Luka 14
Semuanya dimudahkan jika dilandasi dengan niat yang baik. Bulan Ramadan yang suci menjadi awal dari perjalanan baru dalam kehidupan Karenina.
Pesta pernikahan yang sakral pagi itu adalah hari di mana dia akan memijak pada satu fase hidup yang baru. Dia tak lagi sendiri, ada seorang pria yang akan melindungi, mengayomi,dan memberikan rasa nyaman pada dirinya.
Mengenakan gamis putih yang sengaja Mutia pesan lewat muridnya, Karenina Aisyah tampak anggun. Jilbab senada yang berhias ronce melati dan makeup natural memberikan kesan sederhana, tetapi sangat memesona.
Nida yang sejak tadi mengamati Karenina dirias, seolah terpukau oleh kecantikannya.
"Kak Nina cantik banget!" celetuknya sembari menatap antusias.
"Nida, sepertinya mulai hari ini, Nida harus mengganti panggilan ke Kak Nina deh," tutur Mutia yang berada di samping Nida.
"Kenapa, Aunty?"
"Iya, karena Kak Nina akan menikah dengan Om Wafi, jadi Nida panggilnya bukan Kak Nina lagi, panggilnya jadi Ammah atau Aunty Nina, gitu," jelas Mutia sembari tersenyum.
Nida mengerucutkan bibirnya. Dengan kening berkerut dia menoleh ke Mutia.
"Harus ganti ya, Aunty?"
"Iya, dong."
"Kak, Nina. Kak Nina mau ganti dipanggil apa?" tanyanya polos. "Aunty atau Ammah?"
Karenina yang tengah dirias, tersenyum manis.
"Terserah Nida aja mau panggil apa. Panggil Kakak juga nggak apa-apa, kok!" tuturnya.
Ijab kabul yang dilaksanakan di kediaman Sofia itu memang hanya dihadiri keluarga dekat saja. Meski begitu keceriaan di wajah para undangan begitu terlihat. Tenda putih yang didirikan di depan rumah sangat indah berhias bunga yang berwarna senada.
Wafi tampak tersenyum sembari menerima jabat tangan dari beberapa undangan yang baru saja tiba. Sementara tampak juga Ibnu yang sama seperti Wafi, dia pun menerima tamu dengan wajah gembira.
"Wafi, sebaiknya kamu duduk di tempat yang sudah disediakan. Penghulunya sudah datang," tutur Ibnu mendekati Wafi.
"Baik, Mas."
Pria yang mengenakan setelan jas berwarna putih dan peci yang senada itu melangkah masuk. Tepat pukul sepuluh pagi, acara pun akhirnya dimulai.
Dengan wali hakim, Wafi menikahi Karenina Aisyah dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram. Pria berkulit putih itu sangat tenang dan lancar saat mengucapkan ijab kabul sehingga semua pun berjalan seperti yang diharapkan.
Berjuta doa melangit di pagi yang sakral itu. Ada jutaan harap yang dipanjatkan. Ada rasa sedih bercampur keharuan yang memuncak membuat Karenina tak biasa menahan tetesan air matanya.
"Eh, udah cantik jangan mewek," bisik Sofia sembari perlahan menghapus air mata Karenina.
"Sekarang kita keluar ya. Ayo, aku sama Mbak Sofia akan mengantarmu bertemu Mas Wafi." Mutia meraih tangan Karenina. Mereka bertiga melangkah menuju ruang, tempat di mana wafi berada.
Tidak pernah bertemu dan berbicara sebelumnya dengan sang suami, membuatnya kehilangan rasa percaya diri. Berbagai pikiran muncul di benaknya tentang apa yang akan dia katakan saat mereka saling dekat nanti.
"Assalamualaikum, Karenina Aisyah," sapa Wafi saat dia sudah duduk di samping pria itu.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh," sahutnya masih menunduk. Dadanya bergemuruh seperti gunung yang akan meletus. Sungguh! Bahkan dirinya khawatir jika guruh itu akan terdengar oleh pria di sampingnya.
Wafi lalu mengulurkan tangan yang kemudian disambut olehnya. Untuk pertama kali setelah beberapa waktu dia kembali bersentuhan dengan pria. Namun, bedanya kali ini pria ini adalah sosok yang telah halal baginya.
Takzim Karenina mencium punggung tangan Wafi dan dengan sangat perlahan, Wafi membalasnya dengan mengecup kening sang istri.
"Jazakillah sudah bersedia menjadi bagian dari hidup saya," tuturnya dengan bibir melebar.
Karenina hanya tersenyum kemudian mengangguk samar.
"Barakallahu lakuma wa barak alaikuma wa jama'a bainakuma fii khair. Alhamdulillah, selamat Nina, selamat Mas Wafi, aku bahagia banget! Masyaallah!" Mutia memeluk Karenina dan menyalami Wafi. Matanya terlihat berbinar dengan senyum yang tercetak di bibirnya.
Wafi terlihat ikut senyum meski tatapan pria itu seperti tak tega dengan Mutia.
"Aku mau nemuin tamu-tamu yang lain ya. Oh iya, nanti akan ada buka puasa bersama dengan mereka. Setelah Zuhur nanti kita ada murajaah di sini, kalian nggak usah ikut! Ikutnya nanti aja waktu buka puasa bersama, oke?" Mutia menatap Karenina dan Wafi bergantian. "Ya udah aku ke sana dulu ya, Nin, Mas Wafi."
Istri pertama Wafi itu melangkah menjauh membaur dengan undangan yang lainnya. Tak lama menyusul Hadijah, Sofia dan Farhana yang jarang hadir di setiap acara.
Menelisik dari tampilan Farhana, kakak pertama Wafi itu memang berbeda. Baik dari pakaian atau pun dari sikapnya. Farhana memang memakai jilbab, tetapi tidak seperti yang semestinya dikenakan oleh muslimah. Meski begitu Karenina mencoba untuk beradaptasi sedemikian rupa agar semuanya merasa nyaman.
"Wafi, hati-hati ya, dengan kamu memutuskan untuk setuju menikah lagi, itu artinya ... masalah kamu akan bertambah! Semoga saja kamu bisa melewati semuanya dengan baik dan harapan Mutia agar kamu bisa memiliki keturunan bisa segera terwujud!" tutur Farhana sembari menatap Karenina.
"Kamu baik-baik sama adikku juga Mutia ya."
"Iya, Kak Hana."
Sepeninggal Umi dan kedua kakaknya, Wafi melirik ke samping. Benar kata Nida, Karenina memang cantik. Meski dirinya pernah melihat fotonya, tetapi kali ini dia benar-benar berada sangat dekat dengan perempuan ini.
"Kak Hana memang begitu, kamu harus sabar. Tapi sebenarnya dia baik, kok!"
"Iya, Mas. Saya paham."
Wafi menarik napas dalam-dalam.
"Nanti malam setelah tarawih, aku ajak kamu ke pesantren. Ada rumah yang akan aku dan kamu tinggali. Sudah lengkap dengan perabotannya. Kamu nggak keberatan meninggalkan rumah kamu, kan?"
Sejenak Karenina diam. Keberatan? Jika ditanya seperti itu tentu saja dia keberatan, tetapi ada kewajiban yang memang harus dia lakukan dan prioritaskan saat ini.
"Gimana?"
"Nggak. Saya nggak keberatan, Mas. Saya akan ikuti apa yang menjadi kewajiban saya."
Wafi tersenyum lega.
"Bukan berarti kamu benar-benar meninggalkan rumah kamu, kamu boleh ke rumah kamu karena setahu aku kamu memiliki toko online yang barang-barangnya ada di rumah itu, kan?"
Mendengar penuturan sang suami, Karenina tersenyum.
"Iya, Mas."
"Oke, sebentar lagi Azan Zuhur, aku siap-siap salat, kamu juga, kan?"
"Iya, Mas."
"Baik, kita ketemu di dalam nanti setelah salat. Sepertinya kita harus berbicara banyak."
Karenina mengangguk lalu kembali menyambut uluran tangan sang suami dan mengecup punggung tangannya.
**
Seperti yang dijanjikan oleh Wafi tadi sebelum salat Zuhur, mereka berdua bertemu di taman belakang. Karenina sudah mengganti gaun pengantinnya dengan gamis berwarna lilac senada dengan khimarnya.
Wafi yang baru tiba, duduk di sebelahnya.
"Kamu sudah makan?"
Perempuan yang memiliki kulit putih itu tersenyum malu.
"Kan puasa, Mas."
Pria yang mengenakan jubah berwarna hitam itu tersenyum jenaka sembari menarik napas dalam-dalam. Meski pernikahan ini bukan yang pertama, tetapi tetap saja dia harus memulai kembali mencoba mendekati dan mengetahui hal-hal apa yang disukai dan tidak disukai sang istri.
"Aku sudah mengetahui beberapa hal tentang kamu dari Umi, tapi mungkin kamu tidak tahu detail siapa aku."
Karenina diam, dia membiarkan Wafi melanjutkan ucapan. Pria itu lalu menceritakan semua hal tentang dirinya, meski ada beberapa yang diketahui oleh Karenina, tetapi dia terus menyimak hingga Wafi selesai berbicara.
"Mohon maaf sebelumnya, Mas, saya perempuan yang sangat awam, mohon dimaafkan jika kelak di perjalanan Mas mendapati hal-hal yang tidak Mas Wafi sukai. Saya mohon dimaafkan."
Wafi tersenyum. Dia mengangguk sembari memiringkan tubuhnya menghadap sang istri.
"Aisyah, apa aku boleh memanggil dengan nama belakangmu?"
Karenina memberanikan mengangkat wajahnya menatap sang suami. Dadanya kembali riuh dipenuhi oleh guruh serta ada desir yang sudah demikian lama tak pernah dia rasakan.
"Boleh? Karena aku lebih nyaman memanggil dengan nama itu."
Senyum tercetak di bibir Karenina, perlahan dia mengangguk.
"Apa pun yang Mas rida. Insyaallah saya patuh."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top