Menikahi Luka 13
Seluruh persendian Karenina terasa melemas, ucapan yang keluar dari mulut Hadijah terasa benar-benar menerobos hingga palung hati yang terdalam. Sepulang dari rumah Ustazah Juariah, dia mendapat pesan dari Sofia jika selepas tarawih, dia dan uminya akan ke rumah. Tentu hal itu membuat dirinya bertanya-tanya.
Tanpa diduga ternyata apa yang dia dengar tidak pernah sama sekali terlintas di pikirannya. Menikah dengan pria saleh dan bertanggung jawab adalah impiannya. Akan tetapi, bukan seperti ini yang dia inginkan. Bukan menjadi istri kedua.
Matanya terlihat berkaca-kaca saat menyadari tidak nada lagi keluarga yang bisa diajak untuk sekadar membagi kisah ini. Namun, di sisi lain, ada rasa bahagia ketika Hadijah mengatakan bahwa dirinya layak untuk dijadikan menantu dan melahirkan cucu-cucunya kelak.
"Tapi, Umi, saya ... maksud saya, saya hanyalah seorang perempuan yang masih jauh dari kata pantas untuk ...."
"Nina, bukan hanya Umi yang memiliki pikiran seperti itu. Aku juga Mutia pun memiliki pikiran yang sama," sela Sofia.
Karenina menautkan jemarinya, perasaan bercampur aduk. Entah apa yang ada di kepala Wafi jika pria itu tahu tentang masa lalunya? Mana ada di dunia ini pria baik-baik seperti Wafi mau menikahi perempuan yang memiliki catatan tak sempurna.
Seolah tahu apa yang dipikirkan Karenina, Hadijah berkata, "Kamu jangan khawatir, Nina. Umi sudah menceritakan apa pun tentang kamu pada anak Umi dan dia bersedia. Sekarang tinggal menunggu jawaban darimu. Apakah kamu bersedia atau tidak. Jika pun tidak, kami tidak akan memaksa."
"Kami sekeluarga berharap, kelak akan ada anak-anak salih dan salihah yang akan mewarnai hidup Wafi dan tentu saja kamu juga Mutia," sambung Sofia.
Suara ketukan pintu membuat mereka yang sedang duduk di ruangan itu menoleh. Mutia tersenyum sembari menguluk salam.
"Boleh saya masuk, Nina?" tanyanya dengan wajah semringah.
"Silakan, Mbak Mutia." Karenina bangkit menghampiri sembari menjabat tangan istri dari Muhammad Wafi Firdaus itu.
"Maaf, saya terlambat, Umi. Jalanan macet," ujar Mutia setelah mereka semua kembali duduk.
"Nggak apa-apa, Mutia. Ini kami juga sedang menunggu jawaban Karenina. Umi sudah menyampaikan apa yang menjadi hajatmu juga hajat keluarga kita."
Mutia mengangguk, dia lalu menatap Karenina dengan mata berbinar. Ada selaksa harap tersirat di sana. Harapan agar Karenina tidak menolak dan menyambut baik keinginan mereka.
"Ustazah Mutia, maaf, apa Ustazah tidak salah orang?" tanyanya dengan suara lirih.
Tersenyum lebar, Mutia menggeleng tegas.
"Nggak, Nina. Tentu saja nggak! Aku sudah memikirkan semuanya dengan sangat matang. Pun demikian dengan Umi dan Mbak Sofia."
Menarik napas dalam-dalam, dia berpindah duduk di samping Karenina. Lembut dia mengusap punggung perempuan di sebelahnya itu.
"Mas Wafi juga setuju. Tidak ada kesalahan di sana. Alasan karena Allah yang menjadikan kami sepakat untuk memutuskan jika kamulah perempuan yang pantas menjadi ibu dari anak-anak suamiku." Suara Mutia terdengar tegas, sama sekali tidak ada getar keraguan pada setiap kata yang dia ucapkan.
Sejenak ruangan itu senyap. Karenina masih berjibaku dengan segala macam pikiran yang timbul tenggelam.
"Nina, apa kamu butuh waktu untuk berpikir?" Sofia memecah keheningan itu.
Perlahan Karenina mengangguk. Benar, dia butuh ruang untuk berpikir meski siapa pun orangnya pasti akan bahagia jika bisa masuk ke dalam keluarga Umi Hadijah.
Namun, dirinya masih merasa sangat tidak pantas menyandang status kedua dari Wafi yang notabene seorang pimpinan sebuah lembaga pendidikan Islam yang namanya sebagai dah tak asing lagi.
Menjadi seorang istri adalah kebahagiaan dan impiannya, tetapi menjadi istri kedua tentu saja hampir semua perempuan akan berpikir berulang-ulang untuk mempersiapkan mental saat harus berhadapan dengan masyarakat luas. Hal itu yang amat sangat mengganggunya.
"Nina?" Mutia menyentuh bahunya.
"Iya, Ustazah. Apa boleh saya mempertimbangkan ini semua?" tanyanya ragu, seolah khawatir jika pertanyaannya akan membuat Hadijah tersinggung.
Hadijah mengangguk sembari tersenyum.
"Tentu saja boleh, Nina. Kami akan menunggu jawabanmu. Apa pun jawabanmu nanti, Insyaallah itu pula yang terbaik untukmu dan untuk kami," ucapnya bijak.
**
Suara tertahan terdengar dari seberang.
"Seriusan, Nin? Kamu ... kamu dipinang oleh keluarga yang terpandang itu?"
Karenina tak menjawab, dia hanya tersenyum dan mengangguk, tetapi tentu saja Sheila tak melihatnya gerakan.
"Lalu? Kamu terima, kan? Hai, Nina! Ini yang namanya jodoh!"
"Tapi aku takut, Sheila."
"Takut kenapa?"
"Ada banyak hal yang kutakutkan. Apalagi masa lalu aku yang ...."
"Bukannya kamu tadi cerita kalau mereka sudah tahu kisah hidupmu?"
Karenina diam.
"Mereka itu memilih kamu pasti karena banyak pertimbangan, Na! Dan bagi mereka masa lalu kamu itu bukan masalah yang harus dijadikan pemberat. Toh kita semua punya masa lalu. Iya, kan?"
"Oke, Sheila. Makasih ya udah mau aku ajak diskusi. Maaf ganggu waktu istirahatmu."
"It's oke, Nina. Kabari aku kapan acara nikahnya ya. Aku pastikan datang!"
Tersenyum, dia lalu mengakhiri obrolan itu setelah mengucap salam.
Kini tinggal dia sendiri yang akan kembali mempertimbangkan keputusan ini, dan tentu saja dia akan bertanya dan memohon petunjuk pada Allah yang selalu dia lakukan di sepertiga malam.
**
Satu pekan setelah dia meminta waktu untuk berpikir, akhirnya pagi itu dirinya siap memberikan jawaban kepada keluarga Hadijah. Selama tujuh hari berturut-turut dia bersimpuh meminta petunjuk, Karenina seolah mendapat jawaban dari Allah.
Jawaban jika apa yang terjadi padanya adalah memang takdir yang harus dia jalani. Terlepas apa yang akan terjadi ke depannya, suka tidak suka dia harus siap. Karena dalam hidup jatuh bangun itu adalah hal biasa. Bahagia dan luka akan selalu jalan beriringan dan akan mendatangi setiap insan di dunia.
Seperti satu pekan yang lalu, Hadijah, Sofia dan Mutia duduk di ruang tamu di kediamannya. Jelas di wajah mereka masih sama seperti saat ketiganya datang sepekan yang lalu. Penuh harap.
"Jadi apa kami sudah bisa mendengar apa yang menjadi keputusanmu, Nina?" tanya Hadijah hati-hati.
Perempuan yang mengenakan gamis biru gelap itu mengangguk pelan. Mutia dan Sofia saling menatap, mereka kemudian menarik napas dalam-dalam.
"Jadi apa kamu siap jadi adikku, Karenina Aisyah?" Mutia menatapnya dengan wajah gembira.
Dipanggil dengan nama lengkap, membuatnya sangat terkesan. Bibirnya tertarik, membuat parasnya terlihat semakin cantik.
"Insyaallah saya siap, Ustazah Mutia. Insyaallah saya bersedia menjadi anak Umi dan jug adik dari Mbak Sofia," tuturnya mencoba menguasai semua perasaan yang bergejolak dalam dirinya.
Mendengar pernyataan Karenina, semua yang ada di ruangan itu mengucap syukur. Mutia terlihat yang paling emosional, dia bangkit dari duduk, mendatangi Karenina kalau memeluk erat perempuan itu. Tangisnya pecah di sela ucapan terima kasihnya pada perempuan yang akan menjadi madunya itu.
"Aku sangat bahagia, Nina. Terima kasih sudah bersedia menjadi bagian dari keluargaku. Terima kasih sekali lagi. Aku akan beritahukan kabar ini ke Mas Wafi segera. "
Mutia menatap Hadijah dan Sofia. Keduanya lalu bangkit dan duduk bersama di sebelah Karenina. Keduanya pun mengucapkan terima kasih atas jawaban yang mereka sudah terima hari itu.
"Umi, Mutia izin ya. Mau ketemu Mas Wafi di pesantren, kabar ini harus segera sampai ke telinganya."
Hadijah mengangguk sembari tersenyum.
"Hati-hati ya. Salam Umi untuk Wafi."
"Baik, Mi. Assalamualaikum. Nina, saya pergi dulu ya."
Karenina mengangguk sambil menjawab salam calon kakak madunya itu.
**
Terima kasih untuk teman² yang mampir 🫰
Btw di KBM App sudah sampai chapter 21😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top