Menikahi Luka 10
Sayup-sayup terdengar seseorang membaca juz amma. Langit subuh masih pekat, dan suara itu seperti tidak terdengar lelah. Sesekali dia terdiam lalu kembali melanjutkan bacaannya. Dari ayat yang terdengar dia sedang membaca surat Al-Insyirah.
Air matanya mengalir begitu saja saat membaca arti dari ayat tersebut. Dia merasa begitu dekat dengan Sang Pencipta. Seusai salat dia rakaat, dia menyambung dengan membaca Kalam Allah.
Sudah hampir enam bulan dia menempati rumah ini, Karenina merasakan perubahan yang luar biasa padanya, meninggalkan pekerjaan sebagai LC dan beralih menjadi penjual baju-baju muslim adalah profesi dia sekarang.
Meski hasil yang didapat tidak sebesar pada saat bekerja di tempat karaoke, tetapi dia merasa lebih tenang. Masih teringat bagaimana reaksi rekannya Sheila saat dia mengatakan lewat telepon untuk meninggalkan pekerjaannya.
"Kamu mau berhenti? Kamu yakin bisa hidup sederhana? Kamu bilang bukannya kamu mau membalas dendam atas apa yang sudah dilakukan keluarga tirimu itu, kan?" cecar Sheila seolah tak rela jika dirinya berhenti.
"Aku sudah memikirkan semuanya, Sheila. Terima kasih untuk semua kebaikanmu. Aku harap suatu saat kita bisa ketemu, dan aku harap kita bisa tetap berteman."
"Terserah kamu aja, tapi sewaktu-waktu jika kamu butuh aku, telepon aja ya."
"Terima kasih, Sheila. Aku harap kita bisa ketemu."
"Nina."
"Ya?"
"Jonas ...."
"Aku sudah nggak lagi tahu bagaimana kabarnya. Nomor telepon kan sudah aku ganti, dan hanya kamu yang tahu. Kumohon, jangan beri ke siapa pun nomor ini ya."
Terdengar tarikan napas dari seberang.
"Oke. Kamu jaga diri baik-baik ya. Aku harap kamu bahagia dan bisa diterima dengan baik oleh siapa pun tanpa melihat latar belakangmu dulu."
"Makasih, Sheila."
Percakapan selesai.
Karenina menarik napas dalam-dalam mengingat rekannya yang basah dianggapnya sebagai saudara. Sheila-lah yang bisa membantu dia bangkit dari keterpurukan, meski jalan itu tidak bisa dianggap benar. Namun, dari Sheila pula dia bisa memahami arti bagaimana bisa survive dalam hidup.
Karenina melihat ke arah jam dinding, sudah hampir pukul enam pagi. Tidak terasa dirinya sudah hampir empat jam bersimpuh di sajadah. Ada banyak doa yang dia langitkan. Memohon ampun adalah doa yang tak bosan dia pinta.
Besok adalah hari pertama ramadan. Ini adalah kali pertama dia kembali menunaikan puasa setelah entah kapan terakhir dia jalankan.
Nida, anak Sofia tetangganya kemarin sudah demikian antusias menceritakan kebiasaan dia dan uminya saat ramadan tiba. Salah satunya adalah membuat takjil dan membagikannya gratis.
Mengingat cerita Nida, dia menarik bibir singkat. Pagi ini akan ada kajian dari Ustazah Mutia. Setelah beberapa kali mengikuti kajian dari Ustazah Mutia, Karenina merasa dirinya begitu lama terjebak dalam kubangan dosa dan merasa jika dia terlalu meremehkan setiap perbuatan maksiat yang pernah dia lakukan di masa lampau.
Selain ada kajian, nanti juga dia ada jadwal setor hapalan juz sembilan pada menantu dari Umi Hadijah itu. Menelisik latar belakang pendidikan Mutia, dia terkagum-kagum pada kecerdasan perempuan berwajah manis itu. Mutia lulus dengan predikat cumlaude di salah satu perguruan tinggi negeri dan kini menjadi istri dari seorang pria yang juga memilih latar belakang pendidikan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Terkadang ada sesal di lubuk hatinya, andai dirinya sejak dulu hijrah, sudah barang tentu semua kepahitan ini tidak akan terjadi. Kalau pun terjadi, dia sudah bisa lebih siap menghadapi sehingga tidak sampa bekerja di tempat hiburan malam seperti dulu.
Namun, bukankah penyesalan butuh selalu hadir di akhir cerita? Bukankah semua yang terjadi memang sudah ditentukan garis takdirnya?
Bel pintu berbunyi, terdengar suara salam Sofia dan Nida di luar. Gegas dia melepas mukena dan memakai jilbab instan dan berlari ke pintu.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh, maaf kalau menunggu lama, Mbak Sofi."
"Nggak apa-apa. Saya bisa minta tolong nggak, Nin?"
"Iya, Mbak. Minta tolong apa ya?"
"Ayahnya Nida minta jemput di bandara, sementara Nida hari ini ada acara di sekolahnya. Mana jam-nya bentrok lagi. Eum ... kalau kamu nggak sibuk, bisa minta tolong antar Nida ke sekolah, Nin?" tanyanya dengan paras penuh harap.
"Bisa, Mbak. Saya nggak sibuk kok. Lagian kebetulan pagi ini rencana mau nganterin gamis buat Salma yang rumahnya nggak jauh dari sekolah Nida."
Sofia menghela napas lega. Dia kemudian berterima kasih dan berpesan pada Nida agar tidak menyusahkan Karenina.
"Ibu, berarti Ayah nanti waktu ramadan di rumah ya?"
"Iya, Sayang. Ayah udah nggak balik lagi ke Qatar, Ayah udah kerja di sini aja. Nida nggak perlu nangis-nangis lagi karena rindu Ayah," jelas Sofia membungkuk sembari mencubit gemas pipi putrinya.
"Nin, aku titip ya. Maaf kalau bikin kamu jadi repot." Sofia menegakkan badannya menatap Karenina.
"Iya, Mbak. Nggak apa-apa kok! Lagian Nida anak yang baik dan salihah!" ucapnya sembari menatap bocah kecil yang mengenakan seragam hijau lengkap dengan jilbabnya itu.
"Oh iya, Nin, jam sepuluh nanti yang ngisi pengajian bukan Mutia. Dia ternyata ada jadwal ngajar di pondok pesantren abinya, jadi nanti yang ngisi adikku, nanti dia datang bareng Umi. Tolong kamu kabari akhwat yang lain ya," pesannya sebelum membalikkan badan menuju mobil.
**
"Istrimu masih keukeuh meminta kamu menikah, Wafi?" tanya Hadijah saat mereka di mobil menuju kediaman Sofia.
"Ya begitulah, Mi," sahut Wafi pasrah.
"Begitulah gimana?" desak uminya.
Wafi lalu menjelaskan apa yang sudah menjadi kesepakatan mereka berdua.
"Jadi kamu mau?"
"Mau nggak mau ya harus mau, Mi. Semua Wafi lakukan asal Mutia bahagia."
Hadijah menarik napas dalam-dalam. Dia tahu alasan terbesar putranya untuk menolak. Wafi khawatir tidak bisa menjaga rasa adil di antara dua istrinya nanti. Namun, dari cerita wafi barusan, Mutia terlihat sudah sangat ikhlas dan pasrah atas apa pun kemungkinan yang nantinya akan terjadi, termasuk jika ada ketidak adilan yang tentu semua itu akan dirasakan salah satu di antara mereka kelak.
"Kamu minta Mutia sendiri yang mencarikan akhwatnya?"
Mengedikkan bahu, Wafi mengangguk.
"Apa Mutia sudah bicara ke Umi sendiri soal ini?"
Hadijah menggeleng.
"Tapi beberapa waktu lalu dia sempat menaruh kekaguman pada seorang akhwat yang baru saja hijrah," ungkap perempuan paruh baya di sampingnya itu.
Wafi tampak tidak tertarik dengan ucapan uminya. Dia menoleh sejenak lalu kembali fokus mengemudi.
"Umi kenal dengan perempuan itu, dan jujur sebenarnya Umi juga kagum dengan tekad dia untuk berhijrah," sambung Hadijah kali ini tanpa menoleh. "Dia benar-benar telah ditempa oleh hidup yang tidak mudah. Dihancurkan mentalnya hingga dia hampir saja terus tenggelam dalam jurang pergaulan yang tanpa batas, tapi dia kemudian bertemu Nida."
Mendengar nama keponakannya disebut, Wafi menoleh dengan kening mengernyit.
"Nida? Nida anak Mbak Sofia?"
Hadijah mengangguk menatap Wafi.
"Ada banyak yang membuat Umi kagum dan mungkin juga Mutia, hanya dalam waktu empat bulan, dia sudah hampir hapal sembilan juz!"
Wafi mengangguk paham.
"Umi mengerti kenapa Mutia tertarik pada akhwat itu. Dan Umi juga tahu bahwa Mutia tentu tidak akan sembarangan memilih dan menjatuhkan pilihan pendamping untuk kamu, suaminya."
Wafi membuang napas perlahan. Dia sudah sampai pada titik pasrah dengan alasan istrinya, terlebih kini terkesan Umi juga seperti memberi signal menyetujui usulan Mutia.
"Umi."
"Ya?"
"Jujur Wafi lelah jika kita harus membicarakan hal ini terus. Wafi akan bahagia jika Umi bertanya hal lain, misal, bagaimana prospek para santri untuk mendapatkan beasiswa ke Timur Tengah atau bagaimana prospek para santri yang akan diterjunkan ke masyarakat untuk syiar dan lain sebagainya," keluh Wafi.
Melihat ekspresi sang putra yang terlihat tidak antusias, Hadijah tertawa kecil lalu mengangguk.
"Baiklah, jadi ceritakan ke Umi, bagaimana prospek santri unggulan kamu itu!"
Wajah Wafi berubah cerah, dia tersenyum kecil kemudian menjelaskan dengan rinci pertanyaan Hadijah.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top