Tujuh

Mei 2021


Jantung Rana terasa tengah jumpalitan saat ini. Berbanding terbalik dengan Soni yang tersenyum simpul sambil menyetir. Menoleh ke arah Soni yang tampak tenang, alih-alih mereda, Rana malah semakin gugup.

Menyadari kegugupan kekasihnya, Soni meraih jemari Rana. Menggenggamnya erat, menenangkan wanita yang ia cintai.

"Tenang aja, nggak usah gugup gitu. Begitu sampai, kamu bakal rileks kok," kata Soni yakin.

"Ya gimana nggak gugup, ini kali pertama aku ke rumah kamu. Ketemu keluarga besar kamu. Apalagi lagi lebaran gini. Pasti kumpul semua." Rana menyuarakan kegelisahannya.

Soni tertawa pelan, kali ini mengusap punggung tangan Rana. Ditatapnya sekilas wanita yang hampir empat tahun ini menjadi kekasihnya.

"Tenang aja, semua keluarga aku bakalan welcome kok sama kamu, Na. Bahkan kamu tahu sendiri, Bunda yang mengundang kamu untuk datang ke rumah," ucap Soni.

Apa yang dikatakan Soni benar adanya. Meski belum pernah bertemu langsung dengan ibunda Soni, Rana cukup sering melakukan video call saat sedang bersama kekasihnya itu. Sayangnya, keberadaan Rana yang tengah di London membuat Soni menunda pertemuan dua wanita yang berarti di hidupnya.

"Kamu kok bisa tenang gini, sih? Udah biasa bawa anak gadis orang ke rumah, ya? Dikenalin ke Bunda?" tuduh Rana.

Terkekeh, kali ini Soni menyentil dahi Rana. Perkataan Rana membuatnya gemas sendiri.

"Sembarangan. Udah, pokoknya kamu tenang, jangan gugup. Apa pun ketakutan yang kamu pikirin, itu nggak bakalan terjadi. Trust me, Bunda akan excited bisa melihat kamu secara langsung."

Menuruti perkataan Soni agar lebih rileks, Rana berusaha menenangkan hatinya. Menarik napas dalam, Rana pun mengembuskannya perlahan. Perasaan gugup itu berangsur-angsur menghilang.

"Itu rumahku," tunjuk Soni pada rumah berlantai satu dengan cat berwarna putih.

Begitu mobil yang mereka tumpangi berhenti, Rana dapat dengan jelas mengamati kediaman Soni. Meski rumahnya tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk dipandang mata. Seperti halnya Annisa, ibunda Soni nampaknya suka mengurus tanaman.

"Bunda suka dengan tanaman, ya?" Rana menyuarakan isi hati.

Soni menggeleng. Menggandeng tangan Rana untuk masuk ke dalam.

"Nggak terlalu. Mungkin karena pandemi dan orang-orang di rumah aja, Bunda jadi ikut latah beli tanaman ini-itu," jelas Soni.

Rana manggut-manggut.

"Mama juga semenjak pandemi jadi lebih rajin ngurusin tanaman," kata Rana. "Tapi emang sebelumnya Mama suka ngurus tanaman, sih."

"Mungkin karena hype, jadi Bunda dan Mama lebih suka bertanam. Apalagi nggak boleh ke mana-mana, 'kan?"

Rana mengangguk setuju.

Memasuki rumah Soni, Rana dibuat takjub dengan penataan interior yang sangat apik. Meski kini menjadi orang tua tunggal semenjak ayah Soni meninggal dunia, Bunda tidak melepas tanggung jawabnya sebagai nyonya rumah.

"Assalamualaikum, Bun," kata Soni sembari mendekati wanita yang muncul dari balik sekat pemisah ruang tamu.

"Waalaikumussalam," balas Ani. "Wah, Rana sudah datang, ya?"

"Assalamualaikum, Bunda," sapa Rana. Tak lupa mencium punggung tangan Ani.

"Waalaikumussalam, ayo masuk ke dalam."

Genggaman tangan Rana dan Soni terlepas. Ani dengan semringah mengajak Rana masuk ke ruang tengah, di mana keluarga besar Soni tengah berkumpul.

Lagi-lagi Rana dibuat terkesima dengan kediaman Soni. Dari luar terlihat tidak terlalu besar, tetapi siapa sangka jika di dalamnya akan ada ruang keluarga yang bisa menampung sekitar dua puluhan orang. Tentu saja ditambah dengan segala perabot rumah tangga yang dipajang di dalam ruangan.

"Ini Bude Rina, budenya Soni. Anak tertua di keluarga Bunda," ucap Ani sambil memperkenalkan Rana pada perempuan yang tengah menyantap kue.

"Rana, Bude, salam kenal."

Rana memperkenalkan diri dengan sopan, sembari menyalami Rina yang tersenyum ramah.

"Kalau yang di sana itu adiknya Bunda. Om Adi namanya." Kali ini Ani menunjuk seorang laki-laki yang tengah berbincang dengan seorang wanita.

Rana manggut-manggut. Mengangguk sekali saat bersitatap dengan Adi.

Kemudian satu per satu anggota keluarga Ani perkenalkan pada Rana. Kegugupan yang semula Rana rasakan benar-benar menghilang dengan penerimaan dari keluarga besar Soni. Mengedarkan pandangan, Rana mendapati Soni tengah tersenyum sambil mengacungkan kedua ibu jari.

Rana mengangguk. Ikut tersenyum dan mengacungkan ibu jari. Tanpa kata, Rana dan Soni bersitatap sambil mengirim kode yang hanya mereka berdua yang tahu artinya.

***

Rana sudah mulai membaur dengan keluarga Soni. Bahkan ia kini tengah asyik bercanda dengan para sepupu Soni yang perempuan.

Soni memiliki lima sepupu perempuan dan dua sepupu laki-laki yang umurnya tidak terlalu jauh. Namun kata Soni, sebenarnya sepupu perempuannya ada satu lagi. Hanya saja saat ini tengah berkunjung ke kediaman kekasihnya. Seperti halnya Rana yang berkunjung ke kediaman Soni.

"Baru kali ini Kak Soni bawa ceweknya ke rumah," celetuk Sisi, anak pertama Rina.

"Iya, biasanya setiap kali ditanyain tentang cewek, Soni selalu menghindar," tambah Ovi.

"Nggak nyangka, malah dapet cewek pas dia ke London. Emang kayaknya harus pergi jauh dulu biar ketemu jodoh," komentar Tari, sepupu termuda Soni yang juga anak bungsu Om Adi.

Rana hanya terkekeh sambil tersenyum simpul menanggapi ucapan para sepupu Soni. Rana tidak menyangka, dia bisa dengan mudahnya akrab dan membaur dengan para sepupu. Apalagi usia mereka memang tidak terpaut terlalu jauh. Hanya dengan Sisi saja yang jarak usianya cukup jauh, 10 tahun.

Obrolan antara Rana dan sepupu Soni harus terhenti. Soni memang sengaja membiarkan Rana mengobrol dengan sepupunya. Kali ini, giliran Rana mengobrol berdua saja dengan Soni.

"Okay ladies, time is up! Gue ambil Rana dulu."

Para sepupu pun kompak menggoda Soni yang menggenggam jemari Rana saat menjauh. Wajah Rana seketika memerah menahan malu karena digoda sedemikian rupa.

Soni membawa Rana ke samping rumah. Ada bangku kayu berukuran sedang di dekat jajaran pot bunga berukuran sedang. Rana menghela napas lega saat akhirnya duduk di sana bersama Soni.

"So, how? Sepupuku cerewet semua, 'kan?"

"Not really. Mereka baik kok. Benar kayak kata kamu, mereka welcome sama aku."

Soni tersenyum puas. Dirangkulnya Rana dan memeluk wanita itu dari samping.

"Like I said before, kamu akan diterima dengan baik di sini, Na."

"Iya, Son. Aku bersyukur banget," aku Rana.

"Coba kalau ada Yaya juga. Dijamin bakalan lebih rame."

"Yaya?" tanya Rana.

"Iya, sepupu aku satu lagi. Tapi lagi ada urusan sama pacarnya, jadi nggak ada di sini."

Rana manggut-manggut. Tadi Ani juga berkata demikian saat sesi perkenalan dengan sepupu-sepupu Soni.

"Yaya seumuran sama aku. Jadi mungkin kalian bisa lebih nyambung ngobrolnya kalau dia ada di sini."

"Masih ada lain waktu, Son. Next time mungkin kami bisa ketemu dan ngobrol bareng."

"I think so. Apalagi dia emang ada rencana menikah dalam waktu dekat. Mungkin kalian bisa sharing mengenai baju pengantin atau apa pun itu."

"Sure."

Rana mengangguk setuju. Meski pernah gagal dalam membina rumah tangga, Rana tidak lantas melupakan rasa excited saat mempersiapkan pernikahan. Hal ini jugalah yang membuat Rana bergabung dengan salah satu wedding organizer yang juga memiliki butik sendiri.

"Sepupu kamu udah lama pacarannya?"

Soni terdiam, tampak menimbang.

"Hm, kayaknya baru beberapa bulan deh. Kalau nggak salah baru tahun kemarin jadiannya," jawab Soni. "Lumayan cepet, sih, prosesnya. Kenalan, pacaran, terus sekarang bahas untuk ke jenjang pernikahan."

"Sepupu kamu udah yakin banget, ya, sama pacarnya?" tanya Rana.

Tidak ada maksud lain dari pertanyaan itu, Rana hanya penasaran. Bukan pula ia skeptis. Hanya saja, dari pengalaman yang sudah, ada sedikit ketakutan akan gagalnya sebuah pernikahan. Apalagi mendengar cerita Soni mengenai jalinan asmara sepupunya yang baru seumur jagung dan sudah ada pembahasan mengenai pernikahan.

"Yaya sama kayak aku, Na. Dia nggak mau wasting time. Kalau dia rasa cocok dan yakin, dia akan ambil kesempatan yang ada di depan mata."

"Oh gitu."

"Lagian pacarnya juga yang ngajakin buat serius. Sama kayak aku yang ngajakin kamu serius, Na."

Rana tersedak ludahnya sendiri. Ini bukan kali pertama obrolan Soni menyerempet ke arah pernikahan. Bukan Rana tak cocok atau yakin dengan Soni, hanya saja ia masih memerlukan waktu lagi untuk saling mengenal.

Kemungkinan untuk menikah dengan Soni tentu ada, tetapi Rana belum siap untuk mengambil kesempatan tersebut. Rana masih perlu waktu untuk membereskan sesuatu yang masih mengganjal di dalam hatinya. Entah apa. Namun Rana yakini, sesuatu yang mengganjal tersebut bukanlah keraguannya terhadap Soni, melainkan hal yang lain.

"Na? Rana?"

Rana terkesiap. Tatapan yang Soni layangkan untuknya memperlihatkan dengan jelas bahwa lelaki itu Nampak khawatir.

"Are you okay? Kenapa kamu tiba-tiba diam?"

"I'm okay, Son. I just ... thinking about that."

Kali ini, Soni yang terdiam. Tak lama lelaki itu tersenyum tipis, mengusap ubun-ubun Rana.

"Nevermind, Na. Jangan terlalu dipikirin."

"No, Son. It's about our relationship."

"Aku nggak mau kamu terbebani, Na. Udah, jangan terlalu dipikirin, ya. Aku nggak bermaksud apa-apa."

"Tapi, Son—"

"Udah, nggak pa-pa. We need more time, but ... you must know, aku benar-benar serius menjalani hubungan ini. Aku berharap hubungan kita ada masa depan dan tujuan yang pasti."

"Yes, Son, I know. Aku juga berharap demikian."

"Then, that's enough for me. Setidaknya aku punya kesempatan, walaupun bukan sekarang."

"Kamu selalu punya dan akan aku beri kesempatan, Son. Anytime."

Soni tersenyum, mengusap lengan Rana. Perlahan, Rana menyandarkan kepalanya ke bahu Soni. Mata Rana terpejam saat Soni mendaratkan ciuman ke dahinya.

"Maaf kalau aku membicarakan hal ini lagi, sedangkan aku tahu kamu belum sepenuhnya memikirkan pernikahan."

"Nggak, Son. Aku—"

Soni membungkam kata-kata Rana dengan ciuman singkat. Lelaki itu tersenyum saat Rana menatap lurus padanya.

"Aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku saja, Na. Aku tidak bermaksud membebani kamu dengan pemikiranku mengenai pernikahan. Hanya saja saat Yaya bercerita bahwa kekasihnya mengajaknya untuk menikah, tiba-tiba saja aku kepikiran sama kamu, Na. Berpikir mengenai hubungan kita," jelas Soni.

Mata Soni menerawang. Rana dapat melihat ada secercah harapan di mata Soni saat lelaki itu membahas hubungan mereka.

"Maybe I'm jealous. Karena aku tidak seberani itu untuk mengajak kamu menikah saat hubungan kita baru beberapa bulan. Sedangkan kekasih Yaya, dia punya keyakinan sebesar itu hingga berani mengajak sepupuku menikah."

"Son, aku—"

"I love you, Rana. I know you love me back, but ... I wanna be your side. Forever."

Rana meraih jemari Soni, menggenggamnya erat.

"Rana, kalau suatu saat nanti aku mengajakmu menikah ... apa kamu akan menerimanya? Bukan dalam waktu dekat, maybe someday."

Kedua netra itu bersitatap. Detak jantung yang bertalu hebat saat Soni menantikan jawaban Rana. Tak lama, Rana mengangguk. Helaan napas lega membuat Soni tersenyum lebar.

"Aku akan menerimanya, Son. But, not now. Aku sepertinya masih harus mempersiapkan mentalku untuk menerima ajakanmu itu."

Soni mengangguk. Merengkuh Rana lebih dalam ke pelukannya.

"Baiklah. Aku juga harus mempersiapkan mentalku agar bisa meminta kamu menjadi istriku di momen yang tepat. Namun Rana, aku mohon, kamu mau menungguku sampai saat itu tiba."

"Sure, Son. Aku akan menungguhingga waktunya tiba."


***


Uwuu~ Soni ngajakin Rana nikah nih. Tapi ... Rana masih belum sepenuhnya siap.

Kalau kalian jadi Rana, bakal langsung nerima Soni atau minta waktu juga?


Jangan lupa terus baca Menikah Kembali, ya.

Ceritanya bakal makin seru dan akan ada kejadian-kejadian tak terduga.

Tungguin aja, ya.


xoxo


Winda Zizty

28 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top