Tiga
Happy reading
***
November 2019
Rana tersenyum lebar. Hatinya menghangat seiring dengan kehangatan yang ia peroleh dari lilin di depan wajahnya. Angka 2 dan 3 berada di atas kue tart berlapis potongan coklat.
"Ayo, make a wish dulu," ucap seseorang di hadapan Rana.
Senyum Rana makin semringah. Ia mengangguk, memejamkan mata, dan merapalkan doa dalam hati. Setelahnya lilin dengan angka 2 dan 3 itu ia tiup sampai cahaya yang berpendar di atasnya padam.
Dengan tangannya yang bebas, orang itu menekan sakelar lampu. Cahaya dari bohlam di atas mereka kembali menyinari ruangan. Sedang tangan yang lain, masih memegang kue tart yang khusus dibuat untuk Rana Noviandra.
"Kamu harusnya nggak usah repot-repot bikin surprise kayak gini," ucap Rana seraya duduk di sofa.
Orang tersebut mengikuti. Tak lupa meletakkan kue tart ke atas meja, di sebelah pisau kue dan piring kertas kecil.
"Nggak repot buatku, Na," balas orang itu.
Rana tersenyum hangat. Mengubah posisi duduknya hingga menghadap orang yang kini mengisi hidupnya. Menorehkan kembali lembaran kisah di buku hidupnya tahun ini.
"Soni," panggil Rana pelan.
Sang empunya nama pun menoleh. Balas tersenyum saat Rana membelai pipinya lembut.
"Terima kasih, ya, sudah menemaniku lagi tahun ini. Merayakan pertambahan usiaku seperti tahun yang sudah."
Soni meraih jemari Rana di pipinya. Mengecup jemari lentik itu penuh kasih.
"Aku yang harusnya berterima kasih. Kehadiran kamu justru membuat hidupku lebih berwarna dari sebelumnya."
Kedua tangan itu bertaut. Tatapan mata yang saling tertuju lurus dengan senyum yang terkembang lebar. Aksi saling menatap itu dengan cepat Soni hentikan.
"Potong kuenya dulu. Kamu pasti capek pulang kerja, 'kan."
Rana mengangguk. Ia menggeser duduknya lebih mendekat ke arah Soni. Meraih pisau dan memotong kuenya. Tak lupa ia memberikan potongan dan suapan pertama pada Soni.
"Gimana kuenya?" tanya Soni.
"Enak, as always. Kamu emang chef terbaik, Son," puji Rana tulus.
"Kamu terlalu memuji, Na," balas Soni, tak enak hati. Namun pujian Rana yang memang tulus itu masuk ke hatinya dan membuat Soni bahagia.
Menghabiskan beberapa potong kue buatan Soni, Rana pun pamit untuk membersihkan diri. Seharian bekerja sebagai freelance di salah satu butik cukup membuat tenaganya terkuras. Beruntung lelahnya hilang setelah melihat Soni.
Selagi menunggu Rana, dengan sigap Soni membereskan kekacauan yang ada. Menyimpan sisa kue tart ke dalam kulkas dan mencuci piring, bekas mereka bersantap malam. Selain membuatkan kue tart untuk Rana yang sedang berulang tahun, Soni juga memasak makan malam mereka.
Hal yang sudah dua tahun ini ia lakukan saat sang kekasih bertambah usia. Soni tidak lelah, tentu saja. Ia malah bersyukur dan sangat bahagia. Seperti yang ia katakan pada Rana tadi, kehadiran gadis itu sungguh membuat hidupnya kembali berwarna.
Rana yang empat tahun silam sudah mencuri perhatiannya sejak pertama kali bertemu. Tak mudah mendekati gadis itu. Selain sering mengabaikan Soni, Rana juga seolah tak ingin membuka hatinya untuk siapa pun. Beruntung, setelah usaha yang ia lakukan, Rana akhirnya mau menjalin hubungan asmara dengannya dua tahun silam.
Hari Soni yang semula kelabu, kini memiliki warna lain. Rana juga kini sudah mulai membuka diri. Gadis itu sudah lebih terbuka dan mau menerima cinta Soni. Meski Soni butuh usaha ekstra agar Rana sepenuhnya mau menerima sosok dirinya.
Asyik mencuci piring, Soni tidak menyadari Rana sudah keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arahnya. Pelukan dari belakang dan lengan Rana yang bergelayut di sekitar pinggangnya membuat Soni menyadari kehadiran gadis itu.
Aroma sabun mandi dan sampo yang digunakan Rana kini menyapa indra penciumannya. Aroma itu makin menguar saat Rana menggosokkan pipinya di punggung Soni.
"Na, aku cuci piring dulu, ya."
Rana menggeleng. "Biarin kayak gini. Aku butuh obat lelahku."
Soni tersenyum. Membiarkan saja Rana berbuat semaunya. Saat Soni selesai mencuci piring dan menyusunnya di rak khusus peralatan makan yang masih basah, pelukan itu berubah arah. Mereka saling berpelukan erat seolah tak terpisahkan lagi.
"Kamu ada masalah?" tanya Soni, sarat perhatian.
Rana menggeleng.
"Lalu?"
Tidak biasanya Rana semanja ini padanya. Tentu Soni sedikit khawatir. Apalagi ini adalah hari ulang tahun Rana. Setahu Soni, Rana tidak pernah sesendu dan selelah ini saat tengah berulang tahun.
"Mungkin hanya lelah saja," jawab Rana. "Apalagi tugas akhirku masih on progress. Aku juga mesti freelance di modeste. Mungkin karena itu."
"Kamu mau istirahat? Atau kamu mau liburan akhir pekan ini?" Soni mengecek jadwal di ponselnya. "Weekend ini aku free, gimana kalau kita piknik di luar?"
Rana menggeleng, terkekeh pelan.
"Aku lebih memilih meringkuk di atas kasur dengan selimut tebal ketimbang piknik di luar. Kamu ingat ini bulan apa? Ini November, Son."
Soni terperangah sesaat, menyadari kebodohannya.
"My fault," ucapnya. "Kalau gitu, kita kencan saja di apartemen. Gimana?"
"Sounds great."
"Oke. Sekarang, bisa kamu lepas pelukannya? Aku bukan tidak menyukai kamu memelukku seperti ini, hanya saja aku harus menghidangkan dessert yang aku lupakan. Aku sempat membuat puding selagi menunggu kamu pulang tadi."
Alih-alih melepaskan, pelukan Rana malah makin erat.
"Aku nggak mau dessert-nya sekarang. Aku maunya meluk kamu kayak gini."
"Kamu bisa peluk aku sambil makan dessert."
"Nggak mau."
"Oke. Kamu boleh meluk aku kayak gini." Soni menyerah.
Masih berpelukan, keduanya melangkah menuju sofa. Lupakan dessert yang sudah Soni buat. Mereka bisa memakannya di lain kesempatan.
Perlahan, Soni menjatuhkan dirinya di atas sofa. Posisi Rana yang masih memeluk Soni sontak membuat gadis itu jatuh ke pangkuan sang kekasih. Cukup lama berada dalam posisi itu, akhirnya Soni sedikit bernapas lega saat Rana mulai menjauh. Duduk di samping lelaki itu tanpa berkata sepatah kata pun.
"Sebaiknya aku pulang, sudah makin larut. Kamu juga harus istirahat, Na."
Mengusap pelan pipi Rana, Soni lantas berdiri. Mengambil jaket dan kunci mobil, lelaki itu pun hendak keluar dari apartemen Rana. Namun belum sempat menuju pintu depan, langkahnya terhenti. Rana kembali memeluk Soni dari belakang.
"Bisa kamu tidur di sini malam ini?"
Pertanyaan itu tentu menggiurkan. Setelah dua tahun bersama, baru kali ini pertanyaan itu Rana lontarkan. Namun akal sehat Soni kembali datang, dengan tegas ia menolak dan melepaskan pelukan Rana.
"Sudah terlalu malam. Kamu butuh istirahat, begitu juga aku. Jangan lupa kunci rapat pintunya. Aku pulang."
Tidak menahan apalagi mengulang pertanyaan, Rana membiarkan Soni pulang. Menatap punggung lelaki itu hingga tergantikan daun pintu yang menutup.
***
November 2014
Nando berulang kali melirik jam di pergelangan tangan. Menatap sekeliling, dilihatnya teman sekaligus rekan seperjuangannya masih berdiskusi. Waktu sudah berganti. Langit pun kini sudah menggelap, tetapi rapat mingguan ini belum juga usai.
Desahan napas Nando terdengar berat. Ia sungguh gelisah. Terlebih hari ini seharusnya ia merayakan momen spesial bersama Rana, sang istri tercinta.
"Lo kenapa? Kayak ulet bulu. Gerak mulu dari tadi."
Celetukan Verdi membuat Nando tersentak. Ia sendiri bahkan tidak menyadari kegelisahannya ia tunjukkan melalui gerak tubuh.
"Rapatnya masih lama nggak?"
"Lo ada acara?"
Nando mengangguk. "Bini gue ulang tahun," bisiknya.
Lelaki berambut ikal itu berdecak.
"Mending lo cabut sekarang aja. Buru. Ntar bini lo marah malah berabe. Lo tahu sendiri gimana kalo cewek marah. Apalagi pas dia ulang tahun gini."
Ucapan Verdi ada benarnya. Apalagi ia memang terlalu sering pulang malam karena perkumpulan UKMK dan HMJ. Membuat Rana harus sendirian menunggunya pulang di rumah.
"Tapi rapatnya—"
"Udah deh," potong Verdi cepat, "urusan pribadi lo lebih penting dari urusan kayak ginian. Harusnya lo nggak dateng dari awal, daripada malah gini, 'kan."
Nando meragu sejenak. Namun ia akhirnya berdiri, mengambil tasnya lalu berlalu dari sana. Setengah berlari ia menuju parkiran. Membuka kunci mobil yang untungnya tidak terlalu jauh ia parkirkan.
Sepanjang mengemudi. Nando Kembali dilanda kekhawatiran. Hari ulang tahun Rana tinggal beberapa jam lagi usai dan Nando sama sekali tidak berada di sisi sang istri. Nando sudah membayangkan betapa kesalnya Rana saat ini.
Tadi pagi ia hanya mengucapkan selamat dengan singkat dan mengecup kening Rana. Jam kuliah pagi membuat Nando harus bergegas agar tidak diusir dosen dari kelas karena terlambat.
Meski Rana tersenyum tadi pagi, bukan berarti senyum itu akan tetap terbingkai di wajahnya dengan ketidakhadiran Nando di pertambahan usianya.
Di tengah perjalanan pulang, Nando menyempatkan diri mampir ke salah satu bakery. Membeli kue ulang tahun untuk Rana.
Ini adalah perayaan ulang tahun Rana yang akan mereka rayakan sebagai sepasang suami-istri. Tidak mungkin Nando akan melewatkan hal ini begitu saja. Statusnya bukan lagi sebagai seorang kekasih, tetapi suami Rana. Karena itulah, ia akan memberikan yang terbaik bagi wanita yang telah ia persunting di hadapan Tuhan dan semua orang.
Pagar rumah mereka sudah bisa Nando lihat. Sedikit menambah kecepatan, Nando akhirnya tiba dengan selamat. Bergegas turun, tak lupa Nando menghidupkan lilin yang sudah ia persiapkan.
Pendar cahaya dari lilin di kegelapan malam, tak lantas membuat Nando merasa tenang begitu saja. Ia masih khawatir. Takut Rana akan kecewa padanya.
Nando bisa menerima semua kemarahan Rana padanya. Namun ia tidak mau melihat dan menyadari kekecewaan di wajah Rana.
Suara gerakan kunci pintu yang dibuka segera menyambut indra pendengaran Nando. Saat daun pintu itu perlahan-lahan terbuka, Nando dengan sigap memposisikan dirinya di hadapan Rana dengan kue ulang tahun yang sudah tertancap lilin yang menyala.
"Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday ... my wife."
Nyanyian Nando dengan suara lirih membuat Rana terpaku di ambang pintu. Ditatapnya berulang kali wajah Nando dan kue di tangannya secara bergantian. Mulanya ekspresi bingung tergambar di wajah Rana. Namun senyum lebar dengan sorot haru itu berhasil tertangkap mata Nando.
"Makasih, my husband."
"Tiup dulu lilinnya," kata Nando lembut. Dengan sebelah tangan, ia menyeka air mata yang mulai jatuh dari pinggir mata Rana.
Menuruti Nando, Rana lantas meniup lilin yang berpendar itu dan memeluk sang suami erat. Pelukan itu Nando balas dengan kecupan di dahi dan kedua pipi Rana.
"Masuk yuk. Kalau berdiri terus di depan pintu gini, ntar kita digerebek pak RT," canda Nando yang membuat Rana langsung mencebik.
"Gerebek aja. Nggak ngapa-ngapain juga. Lagian kita juga udah sah ini."
"Iya deh, iya. Yang udah sah jadi istrinya Nando," goda Nando, membuat Rana memukul lengannya.
"Ya udah, masuk sana. Mandi dulu, baru makan. Tadi mama datang ke sini bawain lauk untuk kita."
"Mama aku apa mama kamu?" tanya Nando. Ia letakkan tas di sofa dan kue di meja makan.
"Mama Dhea," jawab Rana.
"Oh, mamaku."
"Ih, itu sekarang mamaku juga tahu," protes Rana.
"Iya, iya. Mama kita berdua." Nando mengacak rambut Rana gemas. "Ya udah, aku mandi dulu kalau gitu."
"Jangan lama-lama mandinya, aku belum makan. Nungguin Kakak pulang lama banget."
"Maaf, ada urusan di kampus."
"Iya, iya. Udah, sana mandi. Aromanya udah nggak segar lagi," ejek Rana. Setengah mendorong Nando.
"Siap Bos!"
***
I'm back!!!
Ada yang menantikan lanjutan cerita Menikah Kembali? Aku harap ada.
Akhirnya aku kembali menulis cerita ini setelah sekian lama. Ah, entah kenapa aku begitu lama vakum menulis sampai rasanya berdebu dan penuh sarang laba-laba.
Gimana menurut kalian mengenai bab ini?
Kalau kalian menyukai cerita Menikah Kembali, jangan lupa dukung cerita ini dengan menambahkannya ke perpustakaan dan menekan tombol vote/like. Rekomendasikan cerita ini ke teman-teman kalian agar lebih banyak lagi yang membaca.
Jangan lupa juga follow akun Instagram, TikTok, maupun Snack Video-ku, ya. Username-nya masih sama kok, WindaZizty.
See you soon
Xoxo
Winda Zizty
Palembang, 12 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top