Sembilan

Oktober 2021


Yaya tersenyum lebar hingga ke ujung garis bibirnya. Tangan Yaya menggenggam erat tangan sang kekasih. Rona bahagia nampak jelas di wajah keduanya.

Hari ini, Yaya resmi dilamar sang kekasih. Setelah sebelumnya, pembicaraan mengenai pernikahan hanya terjalin di antara mereka berdua saja. Sang kekasih membuktikan ucapannya untuk meminang Yaya dengan membawa anggota keluarga ke kediaman sang wanita.

Cincin emas putih telah melingkar di jari manis tangan kiri Yaya. Tanda bahwa wanita itu telah resmi memiliki tunangan. Terikat dengan sang kekasih untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Mengenakan kebaya berwarna ash biru yang senada dengan kemeja sang kekasih, Yaya begitu memesona. Pulasan make up natural yang tengah digandrungi saat ini, memancarkan kecantikan wanita itu yang diwarisi langsung dari sang ibunda.

Sayang, kedua orang tua Yaya tidak bisa melihat saat anak mereka satu-satunya dilamar oleh kekasih hati. Kedua orang tua Yaya sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta bertahun-tahun silam. Meninggalkan Yaya yang saat itu masih duduk di bangku kelas satu SMP.

Meski begitu, kebahagiaan Yaya tidak surut. Keluarga bunda dan papanya menerima Yaya dengan tangan terbuka. Bahkan saat ini pun, keluarga dari pihak sang bunda yang mengambil alih dalam menyambut calon besan mereka di kediamannya.

Senyuman masih merekah di bibir Yaya meski rombongan sang kekasih sudah meninggalkan kediamannya dengan sebuah kesepakatan mengenai hari bahagia mereka. Berhari-hari kemudian, senyuman itu tak jua luput dari wajah Yaya.

"Senyam-senyum aja terus sampe tu muka kram," olok Soni pada sang sepupu.

Yaya memeletkan lidahnya. Wanita berambut ikal sepunggung itu terlalu bahagia hingga membiarkan saja saat Soni terus mengolok-oloknya seperti tadi.

"Pacar lo mana?" tanya Yaya sambil melongok ke arah pintu masuk kafe. "Eh, siapa namanya? Rania? Rara? Rana?"

Soni menggeleng, menyesap minumannya sebelum menjawab, "Rana. Lengkapnya Rana Noviandra, just for your information. Kali aja suatu saat lo butuh."

Dua potong kentang goreng melayang ke wajah Soni. Tentu saja Yaya pelakunya. Wanita itu gemas sendiri dengan Soni, entah kenapa.

"Nggak usah nyebutin nama lengkapnya juga kali. Gue bukan petugas sensus," seloroh Yaya.

Mengaduk-aduk minuman dengan sedotan, Yaya menyeruput jus buah naganya perlahan. Hari ini Soni mengajak Yaya menemui Rana—kekasihnya. Yaya yang sebentar lagi akan menikah ingin berkonsultasi dengan Rana yang bekerja di salah satu wedding organizer. Soni juga menambahkan, Rana bisa membantu Yaya dalam memilihkan baju pengantin untuk hari besarnya nanti.

Kafe menjadi tempat pertemuan mereka. Meski sudah mulai banyak tempat usaha yang kembali buka, protokol kesehatan tetap mereka jalani. Tidak lupa pula menggunakan masker Ketika berada di luar rumah dan selalu membawa hand sanitizer dan masker cadangan. Yaya bahkan membawa satu botol travel size berisikan sabun cair untuk berjaga-jaga.

Orang yang mereka tunggu akhirnya menunjukkan batang hidung. Meski mengenakan masker, Soni bisa mengenali Rana yang memasuki area kafe. Melembaikan tangannya, Soni memberi tahu Rana posisi duduk mereka.

"Sorry telat," maaf Rana, "aku belum sepenuhnya hafal jalan, Son."

Soni menggeleng, meraih jemari Rana dan menggenggamnya. "Iya, nggak pa-pa. Pas aku baru pulang juga, aku sempet nyasar." Soni berusaha menenangkan Rana yang nampak bersalah.

Rana telat hampir satu jam dari waktu perjanjian. Keterlambatannya membuat Rana tidak enak hati dengan sepupu Soni yang sudah meluangkan waktu untuk menemuinya. Apalagi ini merupakan pertemuan pertama mereka. Apa jadinya kalau sepupu Soni memberikan nilai minus untuknya? Apa ia tidak akan diterima keluarga Soni karena penilaian tersebut?

"Aku nggak enak jadinya," bisik Rana.

"Udah nggak pa-pa. Santuy aja, kayak kata orang-orang zaman sekarang."

"Dih, emang kamu dari zaman apa coba?" kata Rana gemas.

"Oh iya, Na, kenalin ini sepupu aku, Yaya. Pas kamu dateng ke rumah kemarin, dia lagi ke rumah calon suaminya." Soni memperkenalkan Rana pada wanita cantik yang tengah tersenyum manis ke arahnya. "Ya, cewek gue, Rana."

Tatapan Rana kini beralih pada Yaya. Mengangguk singkat, keduanya pun berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri.

"Yaya."

"Rana."

Rana sedikit terkesima dengan kecantikan yang Yaya miliki. Senyum yang Yaya miliki bahkan begitu manis. Tidak heran jika kekasihnya mengajak Yaya menikah saat hubungan mereka masih berjalan beberapa bulan.

Yaya merupakan definisi wanita yang harus dijaga dan dimiliki agar tidak jatuh di tangan yang salah. Jangankan lelaki, Rana pun dibuat jatuh cinta dengan visual Yaya.

"Jadi, Na, kayak yang aku ceritain sebelumnya, Yaya mau bahas pernikahannya sama kamu. Dia baru aja resmi dilamar sama pacarnya."

Rana mengangguk. Soni memang sudah bercerita kalau pertemuan hari ini untuk membahas mengenai rencana acara pernikahan Yaya. Jika tidak ada halangan, Yaya akan menjadi seorang istri bulan Juli tahun depan.

"I see. Jadi, udah nentuin konsep pernikahannya mau gimana, Ya?" tanya Rana.

Yaya mengangguk senang. "Iya, udah. Rencananya aku mau yang elegan minimalis gitu. Apalagi sekarang kan lagi musim pernikahan minimalis gitu, tapi tetep kelihatan elegan dan mewah."

"Udah nentuin vendor? Mau indoor atau outdoor?"

"Abang bilang semi outdoor aja. Soalnya gue mau outdoor, tapi Abang mau indoor. Jadi kami ambil jalan tengah dengan milih semi outdoor."

Rana mengangguk, dengan sigap mengeluarkan buku catatan kecil dan beberapa brosur dari dalam tas. Terlatih, Rana menjelaskan paket-paket pernikahan yang dimilik wedding organizer tempat ia bekerja. Yaya mendengarkan dengan seksama. Tak jarang ia bertanya pada Rana saat wanita itu menjelaskan paket sesuai yang tertera di brosur.

"Kalau ada yang perlu ditanyain, lo bisa hubungi gue buat tanya-tanya," kata Rana setelah penjelasannya berakhir. Tak lupa ia memberikan nomor ponselnya pada Yaya.

"Good idea! Gue kayaknya bakal sering nanya sama lo. Abang juga perlu tahu paket apa yang sesuai sama keinginan dan tentu aja budget kami, hehe."

"It's okay. Pernikahan ini milik kalian berdua, tentu saja kedua calon pengantin harus menentukan pilihan yang terbaik. Komunikasi juga penting di masa-masa kayak gini. Apalagi ini momen sakral sekali seumur hidup. Tentu nggak mau dong ada penyesalan setelah acara berakhir."

Yaya tertawa, mengangguk setuju.

"Iya, bener banget. Temen-temen gue yang udah nikah juga bilang gitu. Katanya jangan saling emosian, mesti komunikasi bener-bener. Ya, gitu-gitu deh pokoknya."

Rana tersenyum, menatap lurus Yaya. Ia penasaran, lelaki beruntung mana yang bisa mendapatkan wanita seperti Yaya. Jika Rana adalah lelaki tersebut, tidak akan sedetik pun Rana menyakiti hati Yaya.

"Pacar lo nggak ke sini?" tanya Soni.

Yaya menggeleng. "Nggak. Kalau sekarang lagi nggak bisa. Hectic banget di kantor dia. Gara-gara ada yang positif, jadi kerjaan dia makin numpuk."

"Dia nggak positif juga, 'kan?" tanya Soni lagi.

"Ya nggaklah. Dia aja beberapa bulan ini nggak ngantor."

Jawaban Yaya membuat Soni bernapas lega. Pasalnya mereka baru saja bertemu di acara lamaran. Meski negatif, bisa saja virus tersebut dibawa saat perkumpulan keluarga terjadi.

"Gue tahu apa yang lo pikirin," tuding Yaya. Matanya menyipit dengan sorot penuh interogasi. "Tenang aja, gue sama dia baik-baik aja. Jadi lo juga bakal baik-baik aja. Semoga keluarga kita juga baik-baik aja dan nggak ada yang positif sampai acara nikahan gue."

"Syukur deh kalau gitu. Gue jaga-jaga aja nih."

"Malah harusnya elo yang mesti diwaspadai. Secara lo kerja di hotel. Banyak tamu dari berbagai wilayah."

"Tenang aja, semua udah steril sebelum mulai kerja," kata Soni, jumawa. "Gue juga udah divaksin. Elo tuh, jangan lupa divaksin. Mau nikah pula."

"Ih, gue udah tahu kali. Bahkan gue juga udah vaksin pra nikah."

"Emang sebelum nikah perlu vaksin juga?" tanya Soni. "Gue serius nanya nih. Soalnya bener-bener nggak tahu."

"Iyalah. Makanya buruan nikah gih sana. Biar tahu jenis vaksin apa yang lo perlu buat persiapan nikah," ucap Yaya.

"Tuh, Na. Yaya udah nyuruh kita nikah. Yuk, nikah yuk," sahut Soni. Matanya berkedip-kedip, membuat Rana tersedak minumannya.

"Kok kamu jadi gini, Son? Siapa yang ngajarin kamu kedip-kedip sok imut gini?" Rana geleng-geleng kepala.

Ucapan Rana sontak membuat Yaya tertawa terpingkal-pingkal. Niat Yaya untuk menjahili Soni makin besar karena Rana kini ada di pihaknya.

"Sadar umur, Son. Jangan sok imut gitu. Cewek lo aja geli lihat lo begitu. Apa itu tadi? Kedip-kedip? Kelilipan lo?"

"Ck! Diem deh," kesal Soni.

Tawa Yaya makin menjadi saat Rana ikut tertawa.

"Double kill nggak nih?" olok Yaya puas.

"Rana nggak masalah," sahut Soni, "tapi lo itu mesti dimusnahkan kayak kuman. Ketawa kayak kunti."

Yaya memeletkan lidahnya. Tahu Soni telah kalah dan dia menang.

Setelah pesanan mereka tandas, Yaya pamit undur diri terlebih dahulu. Ia harus secepatnya pergi ke tempat lain karena ada rapat dengan klien.

"Gue duluan, ya, Na. Next time kita ketemu lagi buat bahas acara nikahan gue," pamit Yaya. Tidak lupa ia cipika-cipiki dengan Rana.

"I'll waiting. Tinggal atur jadwal aja kalau mau bahas langsung kayak gini. Kalau via phone, gue senggang setiap waktu dan bakal fast respons. Ya, kecuali kalau lagi bareng sepupu lo ini," bisik Rana di kalimatnya yang terakhir.

Yaya terkikik geli, meninju lengan Soni.

"Kalau Rana sibuk sama hapenya pas gue chat, awas aja kalo lo marah," ancam Yaya.

"Tenang aja. Paling hape Rana gue sita biar lo kelabakan."

"Is, dasar sepupu jahat!"

"Bodoh amat!"

Sepeninggal Yaya, Rana dan Soni masih duduk di tempat masing-masing. Bahkan keduanya memesan menu yang berbeda.

"Mumpung aku lagi libur, jadi aku mau quality time bareng kamu," ucap Soni saat Rana memelototinya yang sedang memesan menu lain.

Soni tidak berbohong. Semenjak Rana mulai bekerja, intensitas pertemuan mereka jadi berkurang. Ditambah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir. Keadaan ini membuat Rana yang memang malas ke luar rumah, jadi makin ogah-ogahan untuk sekadar nongkrong di luar. Kecuali untuk bertemu klien atau tengah mempersiapkan pernikahan klien bersama tim wo tempatnya bekerja.

Sepotong red velvet Soni pesankan untuk Rana beserta brown sugar boba. Sedangkan Soni hanya memesan americano.

"So, how? Ngurusin pernikahan orang lain, what do you feel?" tanya Soni.

Rana mengunyah kuenya dalam diam. Matanya menatap ke kanan atas, nampak tengah berpikir.

"Ehm, I can't describe. Pastinya aku excited banget. Apalagi kalau acaranya berjalan lancar dan sukses. Ditambah kedua mempelai juga puas. Rasanya lega banget karena kerja keras kami akhirnya terbayar dengan kesuksesan acara."

Mata Rana yang berbinar saat bercerita membuat Soni terpaku. Senyum lebar dengan sorot penuh kekaguman itu tertuju lurus untuk Rana, sang kekasih hati.

"Hei!" Rana terkekeh pelan, mengibaskan tangan di depan mata Soni. "Biasa aja ngeliatinnya. Terpesona banget ya sama aku?"

Soni mengacak rambut Rana, gemas.

"I do. Terpesona dan jatuh cinta. Lagi dan lagi."

Rana mengulum senyumnya, tersipu malu. Mengaduk-aduk minumannya layaknya remaja yang baru pertama jatuh cinta.

"Na," panggil Soni.

Rana mengangkat wajah, menatap lurus wajah Soni. Kebingungan tergambar jelas di wajah Rana saat Soni meraih jemarinya dan memasangkan cincin ke jari manis kiri.

"Son ... ini ...." Rana terlalu speechless. Tidak tahu harus berkata apa.

"Aku tahu kamu belum siap menikah dalam waktu dekat. Tapi Na, tolong pakai cincin ini agar aku bisa sedikit lega memiliki kamu di sisiku." Soni membekukan tatapan Rana. "Jangan jadikan cincin ini beban di hubungan kita. Anggap saja ini hadiah karena sudah mau berada di sisiku sampai detik ini."

Degupan jantung Rana meliar. Lajunya semakin menjadi saat Soni mencium jemari dengan cincin yang melingkar di sana.

"I love you, Rana. More than words."


***

Menikah Kembali menyapa kalian lagi!

Yeay!

Gimana? Udah ada yang bisa nebak alurnya?

Aku harap kalian pada nungguin lanjutan cerita Menikah Kembali, ya. Aku optimis kalau naskah ini akan bisa selesai dalam 1-2 bulan ke depan.

Semoga terlaksana, ya.

Jangan lupa komen dan vote dari kalian untuk Menikah Kembali.


xoxo


Winda Zizty

4 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top