Sebelas

Januari 2015


Hening masih mendominasi di kamar bercat pink. Sang pemilik kamar terjaga dari tidurnya. Bukan keriuhan suara kembang api di luar sana yang membuat Rana masih terjaga, tetapi karena otaknya tidak mengirimkan perintah untuk menutup mata.

Bulan Desember yang terasa seperti mimpi telah berlalu. Bahkan tahun pun kini telah berganti. Begitu pula dengan status yang mungkin akan Rana sandang di tahun ini.

Sesal terselip di sudut hati Rana. Namun ego Rana yang terluka membuat sesal itu seakan tertutupi hingga tidak disadari keberadaannya. Mungkin memang sudah seharusnya ia dan Nando berpisah. Atau bahkan sedari awal seharusnya pernikahan mereka tidak harus dilakukan.

Rana selalu berpikir kehidupan pernikahan akan seindah novel dan komik yang ia baca. Pernikahannya dengan Nando yang ia cintai membuat Rana berpikir bahwa itulah akhir perjalanan kisah cinta mereka. Namun ternyata Rana salah.

Kisah cinta tokoh utama yang selalu diakhiri dengan adegan pernikahan, bukanlah akhir sesungguhnya dari sebuah cerita. Rana tidak pernah menyangka bahwa pernikahan yang ia kira akan mendekatkannya dengan Nando, malah membuat mereka berjarak. Nando dengan kesibukannya di kampus membuat Rana merasa terabaikan.

Bukankah pernikahan membuat sepasang suami-istri sering menghabiskan waktu bersama? Namun mengapa Nando justru disibukkan dengan kegiatan di kampus? Bukankah setelah menikah, hanya Rana yang harus Nando pikirkan? Namun kenyataannya, dunia Nando tidak berpusat di Rana. Kenapa Nando lebih memilih kegiatan di kampusnya ketimbang menghabiskan waktu di rumah bersama Rana?

Rana tidak habis pikir dengan semua itu. Kenapa waktu Nando tidak pernah luang untuk dirinya? Kenapa Rana selalu merasa bahwa ia adalah opsi kedua dalam kehidupan Nando?

Hanya waktu Nando yang Rana butuhkan. Namun kenapa setelah menikah, hal tersebut tidak Rana dapatkan? Bahkan Rana mesti menelan kecewa saat Nando memberikan surprise untuk ulang tahunnya di detik-detik terakhir.

Meski Nando tidak melupakan hari bahagianya karena terlahir di dunia ini, tetap saja Rana kecewa karena kejutan yang ia dapat tidak sesuai dengan ekspektasi. Ia bahagia saat Nando memberikannya kue, tetapi sesungguhnya hati Rana masih bersedih.

Mungkin mereka memang tidak seharusnya menikah. Seharusnya mereka tetap berpacaran saja dan membiarkan waktu yang mengakhiri hubungan mereka. Menikah dengan Nando sedikit Rana sesali. Namun ia juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena itu pilihan mereka.

Setitik air mata, jatuh dari sudut kiri mata Rana. Masih memeluk lutut di atas kasur, Rana menatap kosong kembang api yang menghiasi langit malam. Sengaja ia tidak menutup gorden. Setidaknya, adanya kembang api di luar sana dapat memberikan Rana sedikit harapan untuk melanjutkan hidup.

Kantuk seolah belum mau berkunjung pada Rana. Meski sudah tidak seramai tadi, kembang api masih Rana lihat di atas langit. Waktu pun sudah merangkak menjauhi tengah malam.

Entah sudah berapa lama Rana berada di posisinya. Suara adzan yang sayup-sayup terdengar membuat Rana menundukkan kepala. Ia menangis dalam diam. Menumpahkan kesedihan yang membuat dadanya terasa sesak.

"Seharusnya kita tidak usah menikah. Kalau tahu akan seperti ini jadinya, aku tidak mau menikah."

***

November 2021


Aldo melirik Rana yang terdiam di sampingnya. Sebenarnya ada banyak kata yang menggantung di ujung lidah Aldo. Namun lelaki itu mengurungkan niat untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata, karena dilihatnya Rana memasang tanda tidak ingin diganggu.

Fokus menyetir sambil sesekali melirik sang adik, Aldo sedikit menyayangkan pertemuan Rana dan Nando yang tidak pernah diprediksi siapa pun. Bukan salah siapa-siapa. Tidak juga Aldo tahu bahwa Nando akan turut menjadi tamu undangan. Memangnya Aldo siapa sampai harus tahu semua tamu undangan di resepsi pernikahan tadi.

Aldo sedikit menghela napas lega saat akhirnya mereka tiba di rumah. Meski mesin mobil sudah mematikan, Rana nampaknya masih enggan turun. Tatapan Rana masih menatap lurus ke depan dengan kedua tangan yang mencengkram erat seat belt.

"Ran," panggil Aldo. Ia tidak senang melihat adiknya kembali diam seperti ini.

Masih belum ada sahutan dari Rana. Panggilan Aldo tidak sampai di telinga, karena saat ini Rana tengah berada di alam pikirannya yang tengah sibuk.

"Rana? Dek?" Aldo masih berusaha membawa Rana ke masa sekarang. Tepukan Aldo di lengan Rana, berhasil membuatnya terkesiap.

Rana menoleh, menatap Aldo. Sesuatu membuat dada Aldo terasa perih. Apalagi saat melihat tatapan Rana yang membuat lelaki itu seolah terlempar ke masa enam tahun silam. Tatapan Rana sekarang, sama persis dengan tatapannya setelah resmi bercerai dengan Nando.

"Ran, are you okay?" tanya Aldo khawatir. Aldo memegang kedua lengan Rana, agar bisa bersitatap langsung dengannya. "Tell me. Jangan diem aja kayak gini. Lo kenapa?"

Tidak Aldo sangka, Rana melepas seat belt dan memeluknya erat. Hati Aldo terasa terkoyak saat mendengar isakan yang keluar dari bibir Rana.

Nalurinya sebagai seorang kakak yang harus melindungi sang adik membuat Aldo balik memeluk Rana. Diusapnya kepala sang adik penuh sayang.

"Rana, semua baik-baik aja. Lo nggak usah sedih. Gue akan selalu ada di sini buat lo. Lo adik gue satu-satunya, Ran," bisik Aldo, berusaha menenangkan Rana.

Bahu Rana bergetar hebat. Isakannya makin menjadi. Aldo bahkan tidak peduli ketika air mata Rana membuat pundaknya basah.

"Rana? Hei, kamu kenapa? Kakak ada di sini, Dek."

Aldo kembali memakai panggilan aku-kamu. Tidak lagi menuruti Rana yang entah kenapa malah saling memanggil lo-gue. Saat itu Aldo membiarkan, karena berpikir itu salah satu cara Rana agar mendistraksi pikirannya yang kalut.

Namun hari ini, melihat Rana yang menangis membuatnya tidak ingin lagi menggunakan panggilan yang membuat Aldo merasa berjarak dengan sang adik. Meski memang tidak terlalu dekat, Aldo ingin berada di sisi Rana di setiap bahagia dan sedihnya.

"Rana?" panggil Aldo lagi karena Rana tidak juga angkat bicara.

"A-aku ...." Suara Rana terdengar bergetar.

"Kamu kenapa?"

"Tadi ... aku ketemu Kak Nando. Kami saling tatap-tatapan," cerita Rana susah payah. Rasanya begitu sulit menyebut nama yang enam tahun belakangan tidak lagi keluar dari bibir Rana.

"Yes, I know."

"Aku nggak tahu bakal ketemu dia di sana. Bahkan sama sekali nggak kepikiran." Rana menghentikan isak tangisnya. "Kenapa aku harus ketemu dia sekarang, Kak? Aku emang tahu cepat atau lambat bakalan ketemu dia. Tapi kenapa harus sekarang?"

"Kalian saling sapa?"

Rana menggeleng. Benar-benar menghentikan tangisnya.

"Kayaknya tadi dia nerima telepon. Setelah itu dia pergi gitu aja. Tapi rasanya badan aku lemes banget. Ternyata aku beneran belum siap ketemu dia sekarang."

"Ya udah, nggak pa-pa. Kayak yang kamu bilang tadi, cepat atau lambat kalian pasti akan bertemu. Apalagi kalian berada di kota yang sama."

Aldo mengusap punggung Rana. Jika harus jujur, Aldo tidak tahu harus berkata apa. Mungkin salahnya yang tidak pernah bercerita pada Rana jika sekarang ia dan Nando kembali berkomunikasi.

Namun untuk apa Aldo bercerita kalau ia dan Nando telah bertemu dan memutuskan berbaikan? Bahkan Nando sempat berkunjung ke rumah mereka.

Aldo tidak ingin membuka luka lama Rana dengan menceritakan perihal Nando. Karena Aldo tahu, Rana akan bereaksi seperti ini jika berkaitan dengan Nando.

"Kenapa dia harus balik ke Jakarta? Kenapa dia nggak menetap di Bandung aja? Kenapa harus ketemu aku hari ini?"

Aldo bergeming. Semakin yakin untuk tidak menceritakan perihal Nando dan dirinya yang kembali berhubungan. Ia tidak ingin Rana semakin hancur.

Bertemu dengan Nando secara tidak sengaja saja Rana sesegukan seperti ini. Aldo tidak bisa dan tidak mau membayangkan jika ia dengan sengaja menceritakan Nando yang pernah berkunjung ke rumah mereka.

Rana melepas pelukan mereka. Mengusap bekas air mata di wajah dan matanya yang sembap. Aldo tersenyum tipis sambil membelai rambut Rana.

"Feel better?" tanya Aldo memastikan.

Rana mengangguk.

"Masuk yuk. Nanti Mama sama Papa khawatir karena kita nggak masuk-masuk ke rumah padahal udah cukup lama sampe."

Rana kembali mengangguk. Ia lekas turun dari mobil, disusul Aldo. Berjalan sambil menunduk, Rana mendahului Aldo masuk ke rumah. Untungnya Annisa dan Radit tidak berpapasan dengan Rana. Jika hal tersebut terjadi, Rana tidak tahu alasan apa yang akan ia keluarkan di balik matanya yang sembap.

Rana bergegas ke kamar setelah sebelumnya mampir ke dapur untuk mengambil air mineral. Menangis tersedu-sedu seperti tadi membuat kerongkongannya terasa kering.

Ketukan di pintu kamarnya bertepatan dengan Rana yang selesai berganti pakaian. Wajah Aldo yang Rana lihat setelah melebarkan daun pintu.

"Kenapa, Kak?" tanya Rana. Aldo masih belum berganti pakaian. Padahal seingat Rana, sudah lebih dari lima menit mereka masuk ke rumah.

"Ambil nih," kata Aldo sambil menyodorkan dua es krim cone.

Rana terkikik geli. Menerima es krim yang diberikan Aldo.

"Thank you."

"Ya udah. Dimakan es krimnya."

Setelah mengatakan itu, Aldo berlalu dari kamar Rana. Senyum kecil terbit di wajah Rana sambil memandangi punggung Aldo yang menjauh. Meski tidak terlalu menunjukkan kasih sayangnya, Rana tahu jika Aldo berusaha sekuat tenaga menjaganya dari dulu sampai sekarang.

Melirik dua es krim cone yang kini berpindah tangan padanya, senyum Rana makin lebar. Seperti yang Aldo pinta, Rana akan menghabiskan dua es krim tersebut tanpa bersisa.

***

Aldo mendesah. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Meski tahu sang lawan bicara tidak berada di hadapannya, Aldo menganggukkan kepalanya berulang kali.

"Iya, gue tahu," kata Aldo, "gue juga nggak tahu kalau lo bakal dateng. Gue nggak tahu lo kenal sama Roy juga."

Di seberang sana Nando memijat pangkal hidungnya. Melepaskan kacamata yang entah kenapa terasa berat di saat seperti ini.

"Lo nggak pernah cerita kalau Rana udah balik."

"Gue nggak ada kewajiban untuk bilang dan lo nggak ada hak untuk diberi tahu."

Jawaban Aldo memukul Nando telak. Meski tahu ucapan Aldo benar, tetapi hatinya bergejolak tidak menerima sepenuhnya.

Lebih baik Aldo memukulnya hingga babak belur, ketimbang mengatakan hal seperti itu.

"Bukan salah lo," ucap Aldo. Ia tiba-tiba merasa tidak enak hati dengan kata-katanya barusan. "Mungkin emang udah saatnya aja kalian buat ketemu."

"Rana gimana?"

Terselip khawatir di balik pertanyaan Nando. Aldo bahkan bisa mendengar jelas dari nada suaranya kalau Nando juga kepikiran dengan reaksi Rana setelah pertemuan mereka yang tidak diprediksi.

"Dia baik-baik aja." Aldo tentu berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan dengan jujur bahwa Rana sedikit syok bertemu dengan Nando lagi.

"Syukurlah kalau dia baik-baik aja." Nando menghela napas lega.

"Lo cuma mau bilang itu aja, 'kan?"

Nando bergumam sebagai jawabannya.

"Ya udah kalau gitu. Gue mau istirahat." Aldo sudah hendak memutuskan sambungan telepon, tetapi suara Nando menghentikannya.

"Apa gue boleh ketemu Rana dengan sengaja?"

Aldo diam untuk beberapa detik. "Kayaknya belum bisa untuk saat ini. Bukan gue mau ngelarang apa gimana, tapi menurut gue mending kalian sibuk sama hidup masing-masing. Bukannya beberapa tahun ini kalian baik-baik aja tanpa berkomunikasi atau ketemu langsung?"

"Iya, lo bener," sahut Nando, terdengar pasrah.

"Lo sahabat gue, tapi Rana adik kandung gue. Gue cuma mau mengingatkan lo, siapa prioritas gue di antara kalian berdua."

"Lo bener. Nggak seharusnya gue minta ketemu sama Rana. Gue sama dia udah punya hidup masing-masing."

"Apalagi gue denger kalau lo ...." Aldo tidak melanjutkan ucapannya. Namun Nando tahu apa yang Aldo maksud.

"Gue nggak nyangka kabar itu sampe juga ke telinga lo."

"Well, memang sudah seharusnya lo buat keputusan kayak gitu."

"Thanks. Gue takut lo bakalan marah."

Aldo tertawa.

"Marah? Buat apa?"

"Karena gue mantan suami Rana?"

Tawa Aldo makin keras setelah mendengarnya.

"That's okay. Memang sudah saatnya lo lupain masa lalu dan hidup di masa sekarang. Gue nggak bakal marah atau apa pun itu. Lo sama Rana berhak bahagia."

"Makasih, Do."

"Udahlah, buat apa makasih-makasihsegala? Lo mungkin mantan suami Rana dan mantan adik ipar gue, tapi sekarang locuma sahabat gue."


***


Akhirnya kembali update! Yeay!

Jangan lupa vote dan komen, ya. Walaupun pembaca Menikah Kembali nggak sebanyak Kebelet Nikah dengan CEO, tapi aku tetep senang.

Btw, udah checkout apa aja hari ini?


xoxo


Winda Zizty

7 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top