Lima

Februari 2020

Kemeja slim fit yang kini tertutup jas menjadi setelan yang harus Nando kenakan hari ini. Tidak lupa dasi berwarna navy yang senada dengan jas yang ia kenakan. Mematut diri sekali lagi di depan cermin, barulah Nando keluar dari kamarnya.

Sosok Dhea di ruang tengah yang pertama tertangkap netra Nando begitu keluar kamar. Wanita paruh baya itu tetap terlihat cantik meski sudah bertambah usia. Segera Nando melangkah menuju Dhea yang fokus menonton acara infotainment di televisi.

"Ma," panggil Nando, "aku pamit pergi dulu."

Diciumnya takzim punggung tangan Dhea. Meski sedikit tersentak, Dhea mengangguk dan menepuk pelan punggung Nando.

"Hati-hati di jalan," pesan Dhea.

"Iya, Ma. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Kunci mobil sudah berada di genggaman Nando dan ia sudah sepenuhnya siap untuk pergi. Hendak melewati sekat antara ruang tengah dan ruang tamu, suara Dhea menghentikan langkah Nando. Meski pelan dan terdengar tidak serius, Nando tahu kalimat itu merupakan isi hati Dhea yang ia simpan selama ini.

"Pulang nanti jangan lupa bawain calon mantu buat Mama dan Papa."

Nando menghela napas panjang sebelum meneruskan langkah. Bersikap tak acuh seolah kalimat barusan tidak pernah ia dengar apalagi keluar dari bibir Dhea.

Semenjak perceraiannya dengan Rana, tidak pernah sekalipun Dhea membahas tentang pendamping hidup ataupun pasangan untuk Nando. Bahkan saat teman-temannya satu per satu membawa pasangan ke pertemuan mereka, Nando sama sekali tak terusik.

Namun kalimat Dhea tadi, mampu memporakporandakan pertahanan Nando. Sudah lima tahun lamanya ia sendiri. Menduda di usia yang tergolong masih muda, tetapi sampai detik ini tidak pernah ada wanita yang digandeng Nando atau dibawa ke acara keluarga.

Kalimat Dhea terlontar begitu saja mungkin karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya karena hari ini adalah pernikahan Hendra. Sahabatnya yang setia menyandang gelar playboy dan akhirnya berani mengikat hubungannya dalam suatu ikatan suci.

Nando, Hendra, Rian, serta Aldo merupakan sahabat karib. Tidak ada rahasia di antara mereka, meski itu rahasia terkelam sekalipun. Mereka sering berkumpul dan melakukan semua hal bersama. Namun perceraian Nando dan Rana lima tahun silam, membuat persahabatan itu sedikit merenggang. Lebih tepatnya, hubungan Nando dan Aldo.

Perang dingin yang tanpa sadar tercipta di antara Nando dan Aldo, membuat intensitas kumpul-kumpul mereka berkurang. Terlebih saat tugas kuliah serta skripsi menyita waktu mereka. Ditambah sekarang, saat semua sudah bekerja, kumpul bersama itu tidak lagi dilakukan.

Hari ini Hendra akan menikah dan mau tidak mau Nando harus bertemu muka dengan Aldo setelah sekian lama. Meski masih menyimpan kontak lama Aldo, Nando tidak yakin Aldo masih menyimpan kontaknya dan memakai nomor yang sama dalam lima tahun ini.

Komunikasi mereka benar-benar terputus. Kendatipun tinggal di kota yang sama, tidak sekalipun Nando bertemu Aldo secara sengaja atupun tidak. Mungkin Tuhan memang sengaja mengatur pertemuan mereka untuk menghadiri pernikahan Hendra.

Mobil Nando memasuki parkiran basement di salah satu hotel berbintang lima. Untuk orang sekelas Hendra, tentu hal biasa mengadakan acara di hotel berbintang lima seperti ini.

Mesin mobil telah ia matikan, tetapi Nando masih berada di mobilnya. Bagaikan akan bertemu kekasih di kencan pertama, jantung Nando bertalu hebat. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia akan kembali berjumpa dengan sahabat sekaligus mantan kakak iparnya.

Memejamkan mata, Nando mencoba mengatur ritme jantungnya. Meyakinkan diri bahwa semua sudah berlalu. Bukankah ia dan Aldo bersahabat? Terlepas dari fakta bahwa Nando pernah menikahi adik kandung Aldo, meski akhirnya berakhir di meja pengadilan.

Menghalau semua ragu, gegas Nando keluar dari mobil. Suara mobil yang terkunci pun terdengar saat Nando menuju pintu masuk di basement. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan saat Nando tiba di tempat acara.

Tanpa membuang waktu, Nando memasuki ballroom yang disulap menjadi tempat resepsi pernikahan Hendra dan Widya. Dari kejauhan, Nampak jelas aura kebahagiaan di wajah playboy yang akhirnya pensiun tersebut. Senyum kecil terbit di wajah Nando karena tidak menyangka Hendra akan menjadikan Widya sebagai pelabuhan terakhirnya.

"Akhirnya buaya muara itu tobat juga."

Kalimat tersebut membuat Nando menoleh. Ia langsung terkekeh dan meninju pelan lengan Rian yang baru saja melontarkan kalimat tersebut.

"Udah lama?" tanya Rian.

"Baru datang. Lo?"

"Sama."

Nando mengangguk. Matanya kini mengedar ke sekeliling. Entah siapa yang sebenarnya ia cari. Saat tak menemukan apa pun, ia mengalihkan atensi pada Rian yang mengenakan setelan yang sama dengannya. Warnanya pun bahkan sama.

"Gila banget si Hendra. Masa malem-malem datengin apartemen gue cuma buat ngasihin ni jas. Lengkap sama kemeja dan dasinya. Terniat banget tu orang," cecar Rian.

Nando terkekeh. Hal yang tak jauh berbeda juga ia terima. Beruntung, Hendra menyambangi kediamannya sore hari, alih-alih malam seperti Rian.

"Gue malah nggak nyangka dia sempet-sempetnya ngasih kita seragam gini."

"Nggak mau kalah sama Widya yang ada bridesmaid kali. Makanya kita juga dikasih seragam."

Nando tertawa, tidak menanggapi lebih jauh. Rian juga terlihat tidak mau memperpanjang cerita.

Hening menerpa. Nando sibuk dengan ponselnya, begitu pula dengan Rian. Namun tak berapa lama, Rian tiba-tiba menyeletuk, "Eh, itu Aldo."

Atensi Nando teralih. Mengikuti arah pandangan Rian, Nando mendapati Aldo baru saja memasuki ballroom. Tentu saja mengenakan setelan yang serupa dengannya dan Rian. Senyum Aldo yang menyapa Rian perlahan memudar tatkala beradu pandang dengan Nando. Meski saat ini Aldo tengah berjalan mendekat, tapi Nando bisa merasakan atmosfer di sekitar mereka langsung berubah.

Menyadari hal tersebut, Rian berdeham menutupi kecanggungan. Begitu Aldo tiba di hadapan mereka, Rian langsung memeluk Aldo sembari menepuk pundaknya.

"Dah lama nggak kelihatan."

"Sibuk. Sering hectic di kantor," balas Aldo. Pandangannya kini beralih ke Nando. "Hai, Ndo. Apa kabar?"

"Baik," jawab Nando pelan, "kabar lo gimana?"

"Alhamdulillah, so far so good."

"Alhamdulillah."

"Sendirian? Cewek lo mana?" tanya Rian. Matanya mengedar, mencari sosok wanita yang mungkin menjadi gandingan Aldo saat ini.

"Cewek apaan?" Aldo terkekeh, meninju bahu Rian. "Udah lama putus."

"Loh? Kok bisa?"

"Ya bisalah. Orang yang nikah aja bisa cere, apalagi pacaran gini."

Nando tersedak ludahnya sendiri. Meski Aldo sepertinya tidak bermaksud menyindir, Nando sukses dibuatnya tak berkutik. Kalimat tersebut membuat Rian menatap Aldo dan Nando bergantian. Sedikit tak enak hati.

"Ah iya, ya. Lo bener juga. Haha."

Baik Nando maupun Aldo tahu, tawa kering Rian merupakan salah satu tanda bahwa obrolan tersebut tidak harus dilanjutkan. Dari balik kacamatanya, Nando mendapati tatapan Aldo yang terarah lurus padanya.

Meski tidak mengintimidasi, tatapan Aldo serasa menguliti Nando hingga ke tulang. Rian yang sadar harus menjadi penengah langsung memutar otak agar situasi tidak jadi canggung.

"Kita udah lama nggak ngumpul bareng. Gimana kalau setelah ini kita liburan bareng? Atau apa deh gitu?" usul Rian.

"Nggak usah. Hendra pasti bakalan sibuk sama istrinya." Sebuah penolakan halus dari Aldo.

"Ya udah, bertiga aja. Toh kita sama-sama lajang. Nggak bakal ada yang ngelarang juga kalau ke mana gitu, 'kan."

"Kerjaan gue beneran banyak banget di kantor. Nanti deh kalau emang ada free, okelah kita liburan bareng," ucap Aldo.

"Kalau lo, Ndo? Gimana?"

Menatap Rian dan Aldo bergantian, Nando mengendikkan bahu. "Okelah. Atur aja jadwalnya."

"Oke deh."

Hening kembali menyapa. Rian bahkan merasa bisa mendengar detak jantungnya sendiri di tengah hiruk pikuk para tamu undangan di resepsi Hendra. Padahal sudah lama tidak bertemu, tetapi tidak ada sambutan hangat di antara Aldo dan Nando.

Rian tahu apa penyebab perang dingin di antara kedua sahabatnya. Namun ia tetap tidak bisa menjadi katalis agar perang dingin itu berakhir. Itu adalah ranah pribadi yang melibatkan dua sahabatnya. Sebagai orang luar yang tidak tahu apa-apa, rasanya tidak patut jika Rian ikut campur.

"Nomor lo masih yang lama?" tanya Nando.

Baik Rian ataupun Aldo menoleh. Tentu saja pertanyaan itu tidak diajukan untuk Rian, karena lelaki itu baru kemarin melihat status WhatsApp Nando. Rian melirik Aldo, menanti respons lelaki itu.

"Hm, iya. Hape gue sempet rusak sampe semua kontak dan foto-foto hilang," jawab Aldo.

"Oh gitu." Nando manggut-manggut.

"Mana hape lo? Biar gue save nomor baru gue."

Nando memberikan ponselnya dan membiarkan Aldo menyimpan nomor barunya.

"Udah gue bantu save. Nomor lama gue juga udah gue hapusin. Mungkin sekarang udah dipake orang lain."

"Oke. Gue kirim WA ke elo," balas Nando.

"Hm, udah gue terima."

Rian tidak sadar telah menahan napasnya hingga ia menghembuskan napas lega. Suasana tidak lagi canggung dan senyum kecil itu terbit di wajah Aldo. Ekspresi Nando yang memang selalu sulit ditebak pun tak luput dari perhatian Rian. Namun ia tahu, Nando juga telah melepaskan salah satu beban dari pundaknya.

***

Agustus 2015

Harusnya saat ini Nando tengah berbahagia. Tepat di tanggal ini setahun yang lalu, ia resmi mempersunting Rana. Menjadikan gadis itu sebagai istrinya. Pendamping hidupnya.

Namun sayang, harapan untuk menua bersama dan menyaksikan tumbuh kembang anak keturunan mereka harus kandas. Palu hakim yang seolah turut memukul jantung Nando telah mengakhiri mahligai rumah tangga yang ia bina bersama Rana.

Perayaan hari jadi pertama mereka seharusnya dirayakan saat ini. Namun hanya sepi yang menemani Nando di rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan biduk rumah tangganya bersama Rana yang sudah kandas.

Pandangan Nando menatap sekeliling. Sepeninggal Rana, rumah ini seolah kehilangan nyawanya. Begitu pula hari-hari Nando. Kekosongan itu terasa jelas meski Nando beraktivitas seperti biasa: makan, tidur, pergi kuliah, dan mengerjakan tugas.

Kealpaan Rana di rumah mereka membuat Nando nelangsa. Kosong. Hidupnya tak lagi memancarkan warna yang sama. Hatinya terasa tidak lagi penuh karena Rana telah membawanya setengah bagian.

Melepaskan kacamata, Nando memijit pangkal hidungnya. Terasa sedikit hangat saat jemarinya tak sengaja menyentuh kelopak mata. Senyum getir lantas terkembang. Sadar bahwa ia benar-benar tidak kuasa lagi menahan tangis.

Lupakan stereotip yang menyatakan bahwa lelaki pantang menangis. Nando hanya manusia biasa yang juga memiliki emosi. Ia juga bisa menangis saat merasakan kesedihan. Untuk kali ini, Nando merasa kalah. Nando gagal mempertahankan wanita yang ia cintai agar tetap berada di sisinya.

Harusnya Nando lebih bersikukuh terhadap permintaan Rana agar bercerai. Wanita yang ia cintai kini telah pergi, meski Nando pertahankan sekuat tenaga.

Namun sekuat apa pun Nando bersikukuh, Rana akan tetap terluka. Air mata yang ditumpahkan Rana benar-benar mengoyak hati Nando. Ia tidak mungkin mempertahankan Rana jika gadis itu tidak bahagia bersamanya.

Bukan Nando menyerah semudah itu. Nando sudah berusaha. Ia sudah sering menyambangi kediaman Rana. Meminta gadis itu kembali dan mempertimbangkan untuk rujuk dengannya. Namun Rana seolah bisu, tuli, dan buta. Nando terasa kasat mata.

Hingga palu di pengadilan diketuk tiga kali oleh hakim, maka usai pula pernikahan Nando dan Rana.

"Ran ...." Nando berusaha meraih jemari Rana. Namun wanita itu gegas menarik tangannya. Menghindari Nando dengan menjaga jarak beberapa langkah.

"Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara kita, Kak," kata Rana tanpa menatap Nando.

"Tapi Ran, aku tidak sepenuhnya menginginkan kita bercerai. Aku masih berharap rumah tangga kita bisa diperbaiki."

Wajah Rana memerah, menahan tangis.

"Kakak nggak dengar keputusan hakim tadi?"

"Aku dengar, Ran."

"Baguslah kalau Kakak mendengarnya dengan jelas."

Rana lantas membawa tubuhnya menjauh dari Nando. Lelaki berkacamata itu hendak menyusul Rana, tetapi tubuh Aldo langsung menghentikannya. Kedua mata mereka bersirobok, membuat Nando mengepalkan kedua tangannya. Aura permusuhan nampak jelas di mata keduanya.

"Biarkan Rana pergi, Ndo."

"Tapi Rana itu-"

"Dia udah bukan siapa-siapa lo lagi!" tekan Aldo.

"Iya, gue tahu. Tapi, ada yang mesti gue omongin ke dia, Do." Nando berkata dengan nada memohon. "Please, biarin gue ngomong sesuatu ke Rana."

Nando bergerak maju, tetapi Aldo menahan pundaknya agar berhenti.

"Setop! Berhenti di sini." Aldo menatap tajam Nando. "Gue nggak mau adek gue sakit lebih dari ini. Rana adik kandung gue dan elo sahabat gue. Tolong ngertiin juga posisi gue di hidup kalian."

Nando bergeming. Kehilangan kata-kata. Sadar bahwa Nando tak akan melewati batas yang sudah ia bentang, Aldo lantas berlalu. Meninggalkan Nando yang masih berdiri di depan pintu ruang sidang. Menatap lurus koridor yang tadi Rana lewati hingga tak lagi berada di jangkauan pandangnya.

"Rana ... izinkan aku mengatakan kalau aku masih sangat mencintaimu."

Tangan Nando masih terkepal erat. Dunianya seakan runtuh. Bahkan tanah tempat ia berpijak seolah menelannya bulat-bulat ke lubang tanpa dasar.

***

Poor Nando.

Jangan lupa vote dan komen ya, guys. Biar aku makin semangat ngelanjutin cerita ini.

xoxo

Winda Zizty

21 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top