Empat
Desember 2019
Hari ini aku free.
Nanti malam mau aku masakin apa?
Senyum tipis terukir di wajah Rana. Pesan singkat yang baru saja ia baca mampu membuat harinya yang sempat kelabu menjadi kembali berwarna. Memasukkan tangan ke saku jaket setelah membalas pesan tersebut, Rana meneruskan berjalan di atas hamparan salju.
Natal sebentar lagi tiba. Meski tidak ikut merayakan, Rana cukup senang karena bisa menikmati hari libur hingga pergantian tahun nanti.
Rana tidak menyangka, sudah empat tahun lamanya ia tinggal di negeri orang. Meski orang-orang tahu jika ia menimba ilmu di sini, tidak ada yang tahu pasti bahwa alasan lain Rana memilih negara ini karena ingin pergi sejauh mungkin dari tanah air.
Bukan keputusan yang mudah. Bahkan bisa dibilang sedikit impulsif. Rana tidak pernah membayangkan akan berada di sini. Berdiri di atas hamparan salju seperti sekarang.
Bukan Paris, tetapi Rana memilih London sebagai tempat ia melanjutkan studi di bidang fashion design. Bukan pula impiannya menjadi seorang fashion designer. Hanya saja, Rana benar-benar ingin pergi sejauh mungkin setelah perceraiannya dengan Nando disetujui oleh pengadilan.
Berada di tempat tanpa ada satu orang pun yang mengetahui kehidupan pribadinya. Tidak juga dengan kisah pernikahannya yang berujung perceraian.
Setitik air mata jatuh dari pelupuk mata Rana. Bersamaan dengan butiran salju yang perlahan menyapa bumi. Rana tersenyum getir. Mengira akan bisa melupakan masa lalu dengan pergi sejauh mungkin, nyatanya kenangan itu tidak pernah bisa ia lupakan. Bahkan terus mengingatnya.
Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya melalui mulut, Rana masih merasa dadanya sesak. Meraih ponsel, Rana berusaha tersenyum. Memandangi potret dirinya bersama Soni yang ia jadikan lockscreen ponsel.
Setidaknya saat ini ia tidak sendiri. Ia memiliki Soni di sisinya.
Setidaknya, Rana tidak akan kesepian seperti saat pertama ia menginjakkan kaki di London.
Setidaknya Soni mampu membawa warna baru ke kehidupan Rana yang muram nan kelabu.
Setidaknya bukan Nando yang akan Rana hubungi saat sendirian di apartemen.
Setidaknya bukan wajah Nando yang akan Rana lihat selama berada di London.
Bagi Rana, semua itu sudah cukup untuk saat ini.
***
Agustus 2015
Rana menatap kosong dinding bercat pink di hadapannya. Kamarnya kini sudah rapi, tanpa ada satu pun debu yang tertinggal. Dua koper dengan ukuran yang berbeda kini berada di dekat kakinya.
Hari ini ia akan bertolak ke London. Meninggalkan Indonesia dan pindah ke negeri orang. Rana tinggalkan semua masa lalunya di negara ini. Termasuk meninggalkan kegiatan perkuliahannya di sini.
Keputusan Rana untuk menimba ilmu di negeri orang tentu tidak semudah itu diterima keluarga, terkhusus kedua orang tuanya. Tidak mungkin membiarkan anak perempuan satu-satunya tinggal sendirian di negeri orang tanpa satu pun sanak saudara yang mendampingi.
Aldo sedikit menyayangkan keputusan Rana yang diambil secara sepihak tanpa berkompromi lagi dengan keluarga. Namun ia juga tidak bisa memaksa Rana agar membatalkan semua yang telah gadis itu rancang agar bisa berkuliah di London. Aldo bahkan tidak tahu kapan Rana mengajukan beasiswa agar bisa diterima menjadi mahasiswi fashion design di salah satu universitas di London.
"Ran, udah siap?"
Lamunan Rana perlahan memudar tatkala suara Aldo menyapa. Lelaki itu bahkan dengan sigap membawa dua koper Rana keluar kamar.
"Bentar lagi aku keluar, Kak," ucap Rana saat Aldo sudah melewati daun pintu kamarnya.
Memandang sekeliling kamarnya sekali lagi, Rana menghela napas panjang. Sebenarnya, ia masih belum rela. Perpisahannya dengan Nando bagaikan mimpi buruk di tengah hujan petir saat malam hari.
Rana tidak percaya ia dan Nando kini tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Rasanya baru kemarin saat ia dan Nando bersitatap untuk pertama kali di depan pintu rumahnya. Nando yang saat itu ingin menemui Aldo, disambut Rana yang akan pergi kerja kelompok di depan pintu rumah. Lebih tepatnya, Rana kebetulan tengah membuka pintu untuk pergi saat Nando hendak menekan bel.
Tidak ada perasaan lebih saat itu. Rana menganggap Nando seperti ia menganggap teman-teman Aldo yang suka bertandang ke rumah mereka. Begitu pula sebaliknya, menurut Rana. Saat itu mungkin Nando menganggap Rana sebagai bocah SMP yang baru beranjak remaja dan adik temannya.
Namun perasaan itu perlahan tumbuh seiring dengan intensitas mereka belajar bersama. Lebih tepatnya Nando memberikan les privat pada Rana secara cuma-cuma karena gadis itu ingin masuk ke SMA unggulan di kota mereka. Namun Rana akhirnya malah memilih untuk bersekolah di tempat yang sama dengan Aldo dan Nando.
Rana mengerjap. Kilasan masa lalu yang kembali berputar di benaknya, mampu membuat Rana sadar bahwa semua telah berlalu. Perceraiannya dan Nando bukanlah sebuah mimpi buruk, melainkan kenyataan yang harus ia hadapi dan terima bulat-bulat.
Bukan tidak bisa menerima kenyataan, hanya saja Rana benar-benar tidak menyangka bahwa perceraian akan menjadi jalan terakhir yang mereka pilih. Hubungannya dan Nando seharusnya baik-baik saja. Pernikahan yang sudah ia idam-idamkan, seharusnya masih terajut hingga detik ini.
Namun, kenapa akhirnya jadi begini? Kenapa ia yang harus meninggalkan negara ini agar kenangan menyakitkan itu bisa segera ia lupakan? Kenapa harus Rana yang harus pergi sejauh mungkin agar tidak ada lagi kesempatan dan kemungkinan untuk bertemu Nando di hari-hari yang akan dilalui ke depannya?
Kenapa harus Rana yang memilih jalan ini? Kenapa bukan Nando yang harus bernapas di negara lain, bukan malah Rana?
Hati Rana mencelus. Satu sisi menyalahkan Nando atas pilihan yang Rana ambil sendiri. Sedangkan sisi yang lain menyalahkan dirinya sendiri karena masih menyalahkan Nando yang bahkan mungkin tidak tahu akan kepergian Rana dari negara ini.
Komunikasi di antara mereka benar-benar terputus. Rana tidak lagi mencari tahu tentang Nando. Bahkan Rana dengan kejamnya memutus semua jalur komunikasi dengan Nando. Entah itu di dunia nyata, maupun di dunia maya.
Seolah ingin menghargai perasaan adiknya, Aldo juga mengurangi intensitas komunikasinya dengan Nando. Bisa dikatakan, hubungan Aldo dengan Nando turut memburuk seiring dengan perceraian lelaki itu dengan Rana.
Rana merasa bersalah. Tidak seharusnya perceraiannya membuat pertemanan Aldo turut berdampak. Namun Rana tidak bisa berbuat apa-apa. Aldo dan Nando pasti punya cara masing-masing agar tetap bisa menjaga silahturami di antara keduanya. Hanya saja untuk saat ini, perang dingin tengah terjadi di antara mereka.
Rana berdiri dari duduknya di pinggir ranjang. Melangkah keluar kamar dan menutup pintu dengan perlahan. Ia tidak perlu ragu lagi. Tekadnya sudah bulat. Sudah seharusnya ia mengucapkan selamat tinggal untuk masa lalunya di negeri ini.
Pernikahannya dengan Nando harus berjalan singkat. Untuk melupakannya Rana harus berkorban dengan pergi sejauh mungkin dan tidak bernapas di bawah langit yang sama dengan Nando.
Rana memang masih sangat mencintai Nando. Namun sebesar apapun cintanya, hubungan mereka tidak akan pernah bisa diperbaiki. Mereka tidak dapat bersama lagi setelah memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Karena itu, untuk mengobati patah hatinya, Rana memilih pergi jauh agar tidak bisa lagi melihat wajah Nando sampai hatinya benar-benar pulih.
***
Januari 2020
"Happy new year, Rana."
"Happy new year too, Soni."
Soni tersenyum, memeluk Rana dari samping. Dari balik jendela ruang tengah, keduanya memandang kembang api di langit. Pergantian tahun baru telah mereka saksikan bersama.
Riuh suara kembang api di luar sana menjadi salah satu kenangan yang akan Rana simpan dalam memorinya. Termasuk pelukan hangat dari Soni di tengah dinginnya cuaca London saat ini.
Perlahan, Soni melepaskan pelukan, membuat Rana menoleh ke samping. Didapatinya Soni tengah melangkah menuju sebotol wine yang memang sudah lelaki itu siapkan. Tak lupa dua gelas wine turut lelaki itu bawa menuju Rana yang masih berdiri di tempatnya.
"Wine?" tawar Soni.
Rana mengangguk, mengambil gelas wine yang disodorkan Soni. Aroma wine kini menyapa indra penciuman Rana saat Soni mengisi gelasnya. Dihidunya aroma manis yang menguar.
"Thanks," ucap Rana. Sedikit mengangkat gelasnya.
Meletakkan botol wine ke atas meja, Soni turut mengangkat gelas dan menempelkannya ke gelas Rana.
"Cheers."
Senyum Rana terkembang seiring dengan cairan wine yang mulai membasahi kerongkongannya. Rasa wine yang ia nikmati benar-benar yang terbaik. Soni benar-benar tidak pernah salah dalam memilih makanan ataupun minuman.
Menikmati wine sambil menikmati kembang api di malam tahun baru bersama kekasih, benar-benar perpaduan yang pas. Senyum yang tidak lepas dari bibir Rana membuat Soni turut tersenyum. Dengan tangannya yang bebas, kembali Soni merangkul pinggang Rana.
"Pemandangan di sini benar-benar amazing," aku Rana jujur.
Meski sudah terlalu sering main ke apartemen Soni, Rana tetap saja dibuatnya terkesima. Berbeda dengan apartemennya, apartemen Soni berada di tempat yang memiliki spot-spot menarik.
"Ya, makanya aku bakalan kangen banget sama pemandangan di sini."
"Sama, aku juga."
Keheningan menyapa mereka. Sesekali Soni menyesap wine, begitu pula dengan Rana. Namun sesuatu mengusik Rana. Entah kenapa, perkataan Soni terasa janggal di telinganya.
"Son," panggil Rana, "maksud kamu tadi apa?"
"Yang mana?" tanya Soni. Menandaskan wine, Soni kini sepenuhnya fokus pada Rana.
"Kata-kata kamu yang bilang bakalan kangen sama pemandangan di sini. Itu ... maksudnya apa?"
Soni tersenyum. Kedua tangannya kini ia alihkan ke pundak Rana, hingga gadis itu bersitatap dengannya.
"Aku memang mau mengatakannya hari ini, Na," ujar Soni.
Ada secercah kebahagiaan yang Rana tangkap dari nada bicara Soni. Namun, entah kenapa, kalimat yang akan Soni lontarkan malah membuatnya cemas. Ia takut apa yang ia pikirkan akan jadi kenyataan. Ia belum siap jika memang seperti itulah keadaannya.
"Kamu tahu, 'kan, kalau hotel tempat aku kerja punya cabang di Indonesia?" Rana mengangguk. "Nah, aku akan kerja di sana, Na. Aku akan kembali ke Indonesia."
Rana bergeming di tempat. Ketakutan itu akhirnya berwujud nyata. Kalimat yang Rana harap tidak akan pernah ia dengar, justru terlontar dari bibir Soni.
"Se ... selamat, Son," cicit Rana, setengah hati.
Ditandaskannya wine dalam sekali teguk. Menghindari tatapan Soni yang memnacarkan aura kebahagiaan. Harusnya Rana senang mendengar kabar ini. Harusnya ia turut bahagia dan dengan tulus mengucapkan selamat pada Soni.
Namun, Rana malah merasa seolah tercekik. Jika Soni kembali ke Indonesia, otomatis ia akan sendiri di sini.
Tidak! Jika Soni kembali ke Indonesia, otomatis ia juga akan ikut serta. Bukan karena ia segitu bucinnya dengan Soni, tapi ia sudah berjanji demikian pada keluarganya. Aldo cukup sering menyambanginya di London dan bertemu dengan Soni. Tak jarang pula Aldo meminta agar Rana cepat menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia.
Namun, Rana masih enggan. Ia belum siap. Ia masih ingin berada di London yang jauh dari Indonesia. Meski merindukan keluarga dan tanah air, Rana masih belum sepenuhnya menata hati untuk kembali menginjakkan kaki dan menghirup udara di Indonesia.
"Kapan kamu ke Indonesia?" tanya Rana susah payah. Bahkan menyebutkan nama negara sendiri pun, lidah Rana terasa kelu.
"Kalau tidak ada halangan, bulan depan aku sudah dipindahkan."
"Bulan depan?" pekik Rana tak percaya. "Bulan depan dan kamu baru memberitahuku sekarang? Rencana ini pasti sudah ada berbulan-bulan yang lalu, 'kan?"
Soni tersenyum canggung. Mengusap tengkuknya. "Surprise, Na. Kamu tahu, aku memang sudah lama ingin kembali ke Indonesia. Begitu mendengar kabar bahwa namaku ada di list orang-orang yang akan kerja di hotel cabang, aku sangat senang. Namun aku belum bisa cerita karena keputusan tersebut belum final. Aku baru bisa memberitahumu saat semua benar-benar sudah fix."
Rana mendengkus. Entah kenapa ia bisa semarah ini. Entah siapa yang benar-benar membuatnya kesal dan marah. Soni yang tidak bercerita sedari awal, atau pada dirinya sendiri? Rana tidak tahu pasti.
"Rana ...." Soni meraih jemari Rana yang mendingin. Menggenggamnya hingga emosi Rana sedikit mereda. "Maafkan aku yang tidak memberitahukan sejak awal. Tapi, Na, kamu harus tahu bahwa kamu akan selalu menjadi orang pertama yang tahu segala keputusan yang aku ambil dan semua hal yang terjadi di hidupku."
Rana menoleh, meski masih terlihat enggan. Netranya beradu dengan milik Soni. Entah kenapa, melihat Soni yang seolah mengiba padanya membuat Rana merasa jahat. Tidak sepantasnya ia marah. Tidak seharusnya kekesalan tanpa sebab dan arah itu ia layangkan ke Soni.
Mengembuskan napas, Rana lantas mengangguk.
"Aku nggak marah sama kamu. Hanya saja ... mungkin aku hanya terkejut saja. Semua terasa mendadak. Apalagi bulan depan kamu akan pulang ke Indonesia dan aku akan sendiri di sini."
"Aku akan sering menghubungimu," janji Soni.
Rana mengangguk. "Tentu saja kamu harus sering menghubungiku, Son."
"Senyum dong. Kok masih cemberut, sih?"
Senyum tipis akhirnya terbit di bibir Rana. Gadis itu lantas memeluk Soni erat. Membenamkan kepalanya ke dada Soni yang cukup bidang. Pelukan Rana yang tiba-tiba tentu diterima Soni. Diciuminya puncak kepala Rana dan mengeratkan pelukan mereka.
"Aku bahagia memiliki kamu di sisiku, Rana," bisik Soni.
"Me too," balas Rana.
"Pulanglah ke Indonesia sesegera mungkin. Aku akan menunggumu."
Rana mematung. Jantungnya seolah berhenti berdetak.
Pulang ke Indonesia? Bisakah iamelakukannya?
***
Menikah Kembali update!!!
Yeay!
Ada yang nungguin?
Semoga aku bisa lebih cepat update bab baru, ya. Walaupun pembaca cerita ini masih sedikit banget. Mungkin karena memang sudah terlalu lama aku meninggalkan dunia menulis karena kesibukan di real life.
Namun, seperti yang sudah, aku akan menyelesaikan ceritaku satu per satu. Tungguin aja, ya.
Tetap dukung cerita ini dengan menekan ikon bintang. Beritahu teman kalian juga bahwa ada cerita yang menarik berjudul Menikah Kembali.
xoxo
Winda Zizty
20 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top