Dua Puluh Tujuh

Juni 2022

Suara ketukan pelan di pintu kamarnya membuat Rana terinterupsi. Berdiri dari duduknya di pinggir ranjang, Rana bergegas membuka pintu. Wajah Aldo muncul dari balik daun pintu yang terbuka. Ada sedikit ketegangan di wajah Aldo, yang meski samar, masih bisa Rana lihat.

"Kenapa?" tanya Rana tanpa berbasa-basi.

"Ada tamu buat lo di luar." Aldo menjawab lugas.

"Siapa?" tanya Rana lagi.

"Lo lihat aja sendiri."

Setelah mengatakannya, Aldo langsung berlalu dari hadapan Rana, tanpa sedikit pun memberikan kesempatan pada wanita itu untuk bertanya lebih lanjut. Karena penasaran dengan siapa tamu yang Aldo maksud, Rana lantas menuju ke area teras depan.

Semburat jingga perlahan mulai muncul di langit. Namun hal tersebut tidak lantas membuat sang tamu mengurungkan niatnya untuk berkunjung demi menemui Rana.

Semakin mendekati pintu depan, siluet itu makin jelas di mata Rana. Untuk sejenak, Rana berhenti melangkah. Seiring dengan degup jantung Rana yang beberapa detik seolah berhenti sebelum akhirnya memacu dengan kencang.

Rana benar-benar mematung di tempat. Berada di persimpangan pilihan, antara ingin lanjut melangkah atau berbalik. Namun, sebelum Rana mengambil keputusan, siluet itu berbalik. Menghadap Rana dan menyaksikan sendiri bagaimana tubuh itu mematung dengan mulut tertutup rapat.

Nando Mahendra berdiri tepat di garis lurus yang sama dengan Rana. Meski ada jarak sekitar dua meter di antara mereka, tetapi Rana bisa merasakan betapa besar emosi di mata Nando saat ini.

Rana benar-benar bimbang. Ingin berbalik dan menghindar dari Nando, tetapi di satu sisi, Rana tahu jika tidak dihadapi sekarang, maka selamanya ia tidak akan pernah bisa berhubungan baik dengan mantan suaminya itu.

Menekan egonya, Rana membulatkan tekad untuk menemui Nando. Meski langkah kakinya terasa berat, Rana akhirnya tiba juga di hadapan Nando. Memperhatikan senyum tipis yang perlahan terkembang di wajah Nando saat Rana mau menemuinya yang tiba-tiba berkunjung tanpa kabar.

"Ada apa?" tanya Rana dingin.

"Ada yang mau aku bicarakan dengan kamu."

"Bukannya beberapa hari yang lalu kita sudah mengobrol di kafe? Apalagi yang mau kamu jelaskan ke aku?"

Rana terlihat berusaha keras menolak ajakan Nando untuk berbicara. Namun sesungguhnya, hati Rana begitu sakit karena ada beberapa potongan puzzle yang sudah seharusnya ia dan Nando satukan.

"Aku masih merasa beban di hatiku belum terangkat," ucap Nando. "Meski menurut kamu kita sudah berbicara di kafe kemarin, tetapi aku masih merasa janggal. Aku sangat berharap kamu mau memberikan waktu untuk membicarakan hubungan kita."

Rana menarik sudut bibirnya dengan sinis. Menatap Nando sambil melipat tangan di depan dada.

"Hubungan kita? Apa masih ada kata kita untuk kamu dan aku? Hubungan apa yang kamu maksud setelah perpisahan kita?"

"Aku tidak ingin menyimpan sesal di hatiku, Ran. Aku tidak mau kamu membenciku karena urusan kita yang sesungguhnya sama sekali belum selesai."

Rana terdiam. Ucapan Nando benar adanya. Tanpa diberitahu pun, Rana sadar, percakapan mereka di kafe tempo hari sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan di antara mereka. Malah, semakin melebarkan jarak di antara Rana dan Nando. Apalagi saat di kafe, Rana memilih pergi sebelum Nando menyelesaikan kalimatnya.

Entah kenapa, saat itu Rana sama sekali tidak ingin mendengar kata-kata Nando yang terasa seperti sebuah alasan. Atau malah sesungguhnya, Rana tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dari Nando karena ia merasa bersalah.

Rana memejamkan mata, mencoba untuk berpikir positif. Menyingkirkan segala ego dan rasa sakit di hatinya. Setelah menenangkan pikiran, akhirnya Rana mengangguk. Memberikan persetujuan pada Nando untuk meluruskan persoalan di antara mereka berdua.

"Jangan di sini," kata Rana. "Ikut aku."

Rana membawa Nando ke taman samping yang dekat dengan kolam ikan. Berada di dekat gudang penyimpanan, taman tersebut dirasa tepat untuk dijadikan tempat mereka berbincang. Apalagi Rana takut jika ia terbawa emosi karena satu-dua patah kata dari Nando nanti. Rana juga tidak ingin Aldo mencuri dengan pembicaraannya dengan Nando apabila mereka berbincang di teras depan tadi.

Nando dan Rana duduk di bangku kayu kecil yang saling berhadapan. Angin sepoi-sepoi dan suara gemericik air menjadi backsound mereka.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?"

Nando menatap lurus mata Rana. Namun yang ditatap langsung mengalihkan pandangannya. Menghindari kontak mata yang disengaja ataupun tidak nantinya.

"Aku ingin minta maaf. Maafkan aku yang sudah egois di pernikahan kita sebelumnya."

Kalimat Nando mau tidak mau membuat Rana menoleh. Ditatapnya sedemikian rupa wajah sang suami yang benar-benar terlihat begitu kacau.

"Setelah mendnegar ucapanmu tempo hari, aku sama sekali tidak pernah menyadari kalau aku sudah seburuk itu dalam memperlakukan kamu, Ran. Maafkan aku yang saat itu tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Tidak bisa menjadi lelaki yang selalu ada di saat kamu membutuhkan.

"Maafkan aku yang terlalu egois karena lebih mementingkan urusan pribadiku, ketimbang kamu yang setelah ijab terucap, seharusnya sudah menjadi tanggung jawabku seutuhnya. Maafkan aku, Ran. Aku benar-benar menyesal."

Dada Rana sesak, seolah ada batu yang menghantamnya begitu keras. Permintaan maaf Nando yang begitu tulus, perlahan merobohkan tumpukan batu di hati Rana yang sudah lama mengeras. Rana merasa seperti tokoh antagonis di sebuah cerita saat menyadari mata Nando berkaca-kaca saat meminta maaf padanya.

"Aku menyesal, Rana. Aku menyesal sudah menyakiti hati kamu, tanpa pernah aku tahu kenapa kamu bisa meminta bercerai. Bertahun-tahun aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya salah di pernikahan kita. Aku bahkan tidak berani membayangkan jika seandainya aku tahu apa penyebabnya, mungkin pernikahan kita masih bisa diselamatkan."

Air mata Rana tanpa sadar menetes. Rasa sakit yang Rana rasakan, ternyata juga dirasakan oleh Nando. Rana benar-benar merasa bersalah. Benar-benar menyesal karena sudah menyakiti lelaki sebaik Nando.

Sebenarnya, Rana tahu, perceraian mereka bukan sepenuhnya salah Nando. Rana sangat sadar, ia juga berkontribusi atas pernikahan seumur jagung mereka yang harus berakhir. Meski sekuat tenaga menyangkalnya bertahun-tahun, Rana tahu keegoisan masa mudanya yang membuatnya meminta bercerai dari Nando.

Nando tidak salah. Ranalah yang salah.

Rana menunduk. Membiarkan air matanya jatuh ke atas jemarinya. Kenangan akan pertengkaran mereka kembali terbayang. Rana tidak tahu, betapa egoisnya ia dulu. Betapa Rana begitu sombong dan mengira jika hanya ia yang butuh diperhatikan di dalam pernikahan mereka. Padahal, Rana juga seharusnya sadar, jika di dalam pernikahan, Rana juga harus mempedulikan Nando. Pernikahan adalah tentang mereka berdua. Bukan hanya tentang Rana saja, atau tentang Nando saja.

"Kamu tidak salah," ucap Rana di sela isakan tangisnya. "Aku juga salah. Tidak. Di sini aku yang sepenuhnya salah. Seharusnya aku yang meminta maaf, bukan kamu. Maafkan aku. Maafkan keegoisanku yang meminta cerai secara sepihak. Aku mengambil keputusan tanpa meminta pendapatmu. Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal."

Air mata Rana turun semakin deras. Meski tidak bisa melihat wajah Nando karena masih menunduk, tetapi Rana tahu, di hadapannya, Nando juga menangis. Sepasang mantan suami-istri itu menangisi pernikahan mereka yang gagal. Menyesali keegoisan mereka di masa muda. Menyadari bahwa saat itu mereka belum sama-sama dewasa untuk mengarungi mahligai rumah tangga.

Ego mereka masih sama-sama tinggi. Mereka sama-sama belum mengerti bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Komunikasi mereka tidak berjalan baik, hingga Rana salah mengerti dengan tingkah laku Nando. Begitu pula Nando, yang belum sepenuhnya mengerti dan bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Menjadi lelaki yang mengayomi pasangannya.

"Aku yang egois," tutur Rana.

"Tidak, Rana. Kamu tidak egois. Aku yang egois dan tidak bisa memahami perasaanmu. Benar seperti yang kamu katakan, aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri di kampus hingga mengabaikanmu."

Rana menggeleng, mengusap air matanya.

"Tidak. Jika bisa mengulang lagi waktu, aku tidak akan seegois itu dengan meminta waktumu. Kita sama-sama masih muda. Terlebih aku. Saat itu aku berpikiran sempit dengan mengira dengan kita menikah, maka waktumu akan dihabiskan sepenuhnya denganku. Aku yang salah memahami maksud dari sebuah ikatan pernikahan. Aku sama sekali salah dalam memandang sebuah pernikahan."

Isakan Rana terdengar perlahan, membuat Nando menatapnya tanpa berkedip. Hati Nando ikut sakit melihat Rana yang seperti ini. Nando hendak berdiri untuk menghampiri Rana, guna menenangkan wanita itu. Namun sebuah fakta menampar Nando telak.

Kenyataan bahwa Rana bukan lagi istrinya membuat Nando mengurungkan niatnya. Apalagi, dalam hitungan hari, Nando akan menjadi milik orang lain. Dalam beberapa hari lagi, Rana tidak akan lagi ikut ambil bagian dalam hidup Nando.

Tinggal menghitung hari lagi Nando harus sepenuhnya mengucapkan selamat tinggal pada Rana dan semua kenangan indah mereka di belakang. Rana adalah masa lalu Nando. Begitu pula Nando yang akan menjadi masa lalu Rana. Karena itulah, Nando hanya bisa menatap Rana dari balik matanya yang kabur. Tidak bisa melakukan apa pun, selain duduk diam di tempatnya.

Jika saat ini Nando dan Rana masih menjadi sepasang suami-istri, tentu sebuah pelukan akan ia berikan. Namun apa daya, kenyataan menampar keras Nando jika ia tidak berhak untuk melakukan itu. Ada hati yang harus Nando jaga. Ada Yaya yang akan menjadi masa depan Nando, bukan Rana.

"Dari dasar hatiku yang paling dalam, aku Nando Mahendra meminta maaf padamu, Rana Noviandra."

Rana mengangkat wajahnya, menatap lelaki berkacamata di hadapannya.

"Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu dengan baik."

Kalimat yang terucap pelan dan lirih itu mampu membuat Rana seketika menghentikan tangisnya. Bahkan Nando sama sekali tidak berkedip saat menatap Rana.

Nando menarik dan mengembuskan napas dengan berat. Sadar bahwa saat inilah ia bisa bersama Rana untuk terakhir kalinya. Bersama dengan wanita yang dulu sangat ia cintai sebelum akhirnya Nando mengikat janji suci untuk kedua kalinya. Namun bukan dengan Rana.

"Maaf, aku yang dulu sudah terlalu sering mengecewakanmu. Aku berharap kamu menemukan lelaki yang jauh lebih baik dariku, Ran. I mean it."

Nando memandangi Rana untuk yang terakhir kalinya. Berusaha menggariskan senyum di bibir. Merelakan Rana dan semua masa lalu yang telah mereka berdua lalui. Baik kenangan indah, ataupun kenangan terburuk mereka.

Perlahan Nando berdiri. Langkahnya sempat terhenti di samping Rana yang masih bergeming. Namun, Nando memutuskan untuk terus melangkah. Sama dengan keputusannya yang akan segera membuka lembaran baru bersama Yaya.

Baru beberapa langkah Nando menjauhi Rana, suara wanita itu membuatnya berhenti.

"Kak ... Nando," panggil Rana dengan suara bergetar.

Nando berbalik dan mendapati Rana sudah berdiri dari duduknya. Air mata sudah benar-benar berhenti menetes. Meninggalkan rona merah di wajah dan mata Rana.

"Boleh aku minta dipeluk? Untuk terakhir kalinya?"

Nando bergeming. Sama sekali tidak menyangka dengan permintaan Rana yang di luar ekspektasinya.

Meski awalnya terlihat ragu, tetapi akhirnya Nando melangkah mendekati Rana. Ketika akhirnya sudah berhadapan langsung dengan Rana, Nando menatap lurus kedua netra Rana.

"Aku ... juga ... menyesal. Maafin aku, Kak."

Air mata kembali tumpah dan saat itulah Nando merangkul Rana, alih-alih memeluknya. Meski Rana meminta untuk dipeluk, tetapi dengan keadaan yang tidak lagi sama di antara mereka, Nando rasa cukup dengan rangkulan ini.

Tidak ada yang bisa Nando lakukan lagi. Semua benar-benar sudah berakhir. Tidak ada lagi cerita Rana dan Nando. Semua kisah itu sudah terhenti dan tidak bisa ditulis ulang.

"Aku harap, Kak Nando juga bahagia dengan Yaya. Aku yakin, Yaya akan lebih bisa menghargai semua usaha Kakak, ketimbang aku."


***


Akhirnya cerita ini aku lanjutin.

Jujur aja, pas nulis part ini aku nangis sambil dengerin playlist yang emang khusus aku bikin buat nemenin aku nulis cerita ini.

Rasanya lega banget bisa melanjutkan cerita yang sudah terlalu lama terbengkalai ini.

Terima kasih juga karena ada pembaca baru di cerita ini. Tentu juga aku berterima kasih pada pembaca lama Menikah Kembali yang membaca part ini.


Tinggal 3 episode lagi. Semoga kalian masih stay di Menikah Kembali dan membaca karya-karyaku yang lain.


Xoxo


Winda Zizty 

23 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top