Dua Puluh Tiga
November 2014
Rana menatap layar ponselnya dalam diam. Entah hari ini sudah berapa kali Rana menatapi layar ponselnya yang sama sekali tidak menampilkan notifikasi yang ia inginkan. Padahal hari sudah malam, tetapi tidak ada satu pun kabar berbentuk sebuah pesan yang ia terima dari Nando.
Menghela napas panjang, Rana memilih tiduran di atas sofa. Namun matanya masih tidak lepas memandang ponsel yang masih bergeming di atas meja. Padahal hari ini adalah ulang tahunnya, tetapi entah kenapa Rana merasa begitu lelah.
Sepulang kuliah, Rana langsung pulang ke rumah. Hari ini wanita itu memang hanya mempunyai satu mata kuliah. Baru saja Rana membuka pagar, saat ia mendengar deru mesin mobil yang sudah familiar di telinganya.
Menoleh ke belakang, Rana langsung menyunggingkan senyum saat menyadari tebakannya benar. Di hadapan Rana kini berdiri sang ibu mertua yang kedua tangannya penuh dengan barang bawaan.
Memang sudah menjadi agenda rutin bahwa wanita yang sudah melahirkan Nando itu akan mengunjungi kediaman anak dan menantunya di Bandung, minimal satu bulan sekali. Rana menyambut sang ibu mertua dengan sukacita. Tidak lupa ia memberikan pelukan hangat kepada wanita yang sudah tiga bulan ini menjadi mertuanya itu.
"Mama kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini?" ucap Rana sambil menuntun Dhea memasuki rumah mereka.
Ferga yang menjadi sopir Dhea selama di Bandung, ikut masuk ke dalam rumah setelah memarkirkan mobil di carport. Rana menyapa Ferga yang baru beberapa kali ia temui itu dengan anggukan singkat.
"Nggak pa-pa. Mama memang sengaja mau ngasih kamu kejutan."
Sebagai tuan rumah, Rana mempersilakan tamunya duduk di kursi ruang tamu. Tidak lupa pula Rana menghidupkan pendingin ruangan yang ia matikan selama pergi kuliah. Rana berbalik dan langsung menutup mulutnya tatkala melihat Ferga membuka salah satu kotak makanan yang ternyata berisi kue ulang tahun.
"Selamat ulang tahun, Rana. Semoga kamu bisa menjadi wanita yang lebih dewasa lagi dalam menjalani hidup. Dan juga, Mama berharap kamu bisa sabar menghadapi Nando," harap Dhea sambil membawa Rana ke dalam pelukannya. Tidak lupa pula ciuman di kedua pipi sang menantu.
Air mata perlahan menetes dari sudut mata Rana. Saking senangnya menerima kejutan dari Dhea, Rana sampai tidak bisa berkata-kata. Kejutan dari Dhea benar-benar tidak Rana sangka akan ia terima. Wanita itu begitu terharu dengan perhatian yang Dhea berikan kepadanya.
"Makasih, Ma. Rana senang banget dapat kejutan dari Mama," aku Rana jujur.
Dhea mengangguk, mengusap pelan jejak air mata di wajah Rana.
"Udah, jangan nangis. Kamu udah jadi istri Nando sekarang, otomatis kamu juga jadi anak Mama." Dhea tersenyum hangat kepada Rana. "Oh iya, Mama juga bawa lauk untuk kalian. Ada yang bisa langsung dimakan, ada juga yang untuk disimpan. Kalau kalian mau makan, tinggal dipanasin aja."
"Iya, Ma. Makasih."
Ferga tersenyum tipis melihat interaksi menantu dan mertua di hadapannya itu. Lelaki itu dengan sigap membawa lauk dan beberapa makanan beku ke arah dapur. Membantu Dhea serta Rana menyimpannya ke dalam kulkas.
"Kak Ferga mau minum apa? Yang hangat atau dingin?" tawar Rana pada sepupu Nando itu.
"Air putih aja, Ran," jawab Ferga dan kembali sibuk membantu Dhea menyusun makanan.
Rana mengangguk. Dengan telaten ia menyuguhkan air putih untuk Ferga dan secangkir teh hangat untuk Dhea. Tidak lupa pula Rana menyajikan potongan kue ulang tahun dari Dhea untuk mereka cicipi di siang hari itu.
Kunjungan Dhea ke kediaman anak menantunya itu cukup singkat dari yang sudah. Meski begitu, Rana cukup senang dengan kedatangan Dhea yang membawa makanan serta kue ulang tahun untuknya.
"Mama sama Kak Ferga nggak menginap aja?" tanya Rana saat mengantar Dhea dan Ferga ke depan.
Dhea menggeleng. Senyumnya yang sangat keibuan mampu membuat dada Rana menghangat.
"Mama nggak mau ganggu acara kamu dan Nando hari ini. Karena ini hari spesial kamu," kata Dhea, penuh perhatian.
Rana tersenyum, lantas mengangguk. Setelah berbagi pelukan sebagai salam perpisahan, Rana membantu Dhea agar bisa duduk dengan nyaman di kursi penumpang.
"Ya udah kalau gitu. Mama hati-hati di jalan, ya. Kak Ferga juga, hati-hati nyetir mobilnya. Kabarin aku kalau sudah sampai," pesan Rana kepada Dhea dan Ferga.
Dari balik kursi kemudi, Ferga mengangguk dan mengangkat jempolnya. Setelahnya, Ferga pun mengemudikan mobil, meninggalkan rumah yang ditempati Rana dan Nando. Setelah mobil tersebut sudah tidak terlihat lagi, barulah Rana masuk ke dalam rumah.
Kebahagiaan Rana masih bercokol di dadanya hingga akhirnya ia menyadari bahwa Nando tidak akan pulang ke rumah dalam waktu dekat. Harapan Dhea agar Rana dan Nando bisa menghabiskan waktu berdua di hari ulang tahun menantunya itu, sepertinya tidak akan terwujud.
Nando memang tidak melupakan hari ulang tahun Rana. Lelaki itu bahkan telah mengucapkan selamat ulang tahun untuk Rana sebelum pergi kuliah. Namun hingga detik ini, tidak ada lagi tanda-tanda bahwa Nando akan merayakan hari lahir Rana. Bahkan ponsel Rana pun masih belum menerima satu pesan pun dari Nando.
Rana tahu, Nando merupakan orang yang cukup aktif di berbagai organisasi kampus. Rana akui memilih aktif di organisasi adalah pilihan terbaik untuk Nando. Namun karena hal itu, Rana jadi mempunyai sedikit waktu untuk berduaan dengan Nando.
Padahal Rana kira, setelah menikah, akan banyak waktu yang dia habiskan berdua dengan Nando. Untuk mengabulkan impiannya itu, Rana bahkan rela untuk mengikuti Nando kuliah di Bandung.
Rana tidak menyesali keputusannya untuk berkuliah di kota yang sama dengan Nando, tetapi bukan seperti ini yang Rana mau. Rana takut tinggal berjauhan dengan Nando setelah menikah. Namun yang Rana dapati malah, seringnya Nando meninggalkan Rana sendirian di rumah.
Rana juga punya kesibukan di kampus, seperti kerja kelompok mengerjakan tugas, dan melakukan aktivitas lainnya khas mahasiswi pada umunya. Namun kenapa, di saat Rana seharusnya merasakan percikan kebahagiaan di awal pernikahannya, yang Rana dapati malah sepi yang menggerogoti dadanya.
Rana hampir menyerah menunggu Nando seharian ini. Entah sudah berapa kali Rana merasa Nando mengabaikannya dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan kegiatan di kampus. Tidak jarang pula Rana menangis diam-diam karena merasa pernikahannya tidak berjalan sesuai seperti yang ia inginkan.
Saat ini pun, memikirkan sikap Nando yang tidak sesuai ekspektasinya, membuat Rana tidak kuasa menahan air matanya. Rana membekap mulutnya agar tidak terisak. Dadanya benar-benar sesak karena pernikahan yang ia idamkan tidak bisa ia wujudkan bersama Nando.
Rana memang mencintai Nando dan tidak ingin tinggal berjauhan dari lelaki itu. Namun jika seperti ini, entah kenapa Rana jadi kepikiran untuk segera mengakhiri pernikahannya dengan Nando. Baru tiga bulan menjadi istri Nando, Rana sudah tidak tahan dengan ketidakhadiran lelaki itu di sisinya.
Nando memang menghujani Rana dengan kasih sayang. Selalu membuat Rana merasa disayangi dan dilindungi. Namun bagi Rana, rasa sayang dan perlindungan dari Nando saja tidak cukup. Rana saat ini sudah menjadi istri sah Nando, seharusnya lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Memupuk cinta di dalam pernikahan mereka agar bisa terus terjaga hingga akhir hayat.
Namun nampaknya, Nando sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Rana mau. Rana juga tidak berani untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia inginkan dari pernikahan ini. Rana menginginkan kehadiran Nando di sisinya setiap saat, tetapi Nando memiliki pandangan yang berbeda terhadap pernikahan.
Rana benar-benar merasa lelah menjalani perannya sebagai istri Nando. Entah sampai kapan Rana akan bertahan menduduki posisi sebagai Nyonya Nando Mahendra. Namun setiap kali pikiran untuk bercerai itu membisiki Rana, wanita itu belum siap untuk melepaskan Nando dari hidupnya.
Dilema menghantui Rana. Membuat kepalanya terasa akan pecah dan dadanya meledak. Rana sangat mencintai Nando. Begitu pula sebaliknya. Namun akankah pernikahan mereka bisa bertahan jika salah satu pihak merasa begitu diabaikan?
Kelelahan karena menangis tanpa henti, Rana pun jatuh tertidur di sofa. Suara deru mobil Nando di luar sana yang membangunkan Rana. Kepala Rana terasa berat karena menangis, tetapi ia berusaha bangun untuk membukakan pintu.
Baru sedetik Rana membukakan pintu untuk Nando, sesuatu yang berpendar pelan di hadapannya membuat Rana berdiri terpaku. Suara Nando yang begitu lirih yang Rana dengar di telinganya, membuat wanita itu menatap sang suami dan sesuatu yang ada di tangannya secara bergantian.
"Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday ... my wife."
Sebuah kue ulang tahun dengan lilin menyala di atasnya, menyambut Rana yang berdiri di ambang pintu. Meski hatinya masih dongkol dengan Nando, Rana tidak bisa menutupi keharuan yang ia rasakan. Karenanya, Rana menyunggingkan senyum yang begitu semringah.
"Makasih, my husband."
"Tiup dulu lilinnya," kata Nando lembut. Dengan sebelah tangan, ia menyeka air mata yang mulai jatuh dari pinggir mata Rana.
Menuruti Nando, Rana lantas meniup lilin yang berpendar itu dan memeluk sang suami erat. Pelukan itu Nando balas dengan kecupan di dahi dan kedua pipi Rana.
"Masuk yuk. Kalau berdiri terus di depan pintu gini, ntar kita digerebek pak RT," canda Nando yang membuat Rana langsung mencebik.
"Gerebek aja. Nggak ngapa-ngapain juga. Lagian kita juga udah sah ini."
"Iya deh, iya. Yang udah sah jadi istrinya Nando," goda Nando, membuat Rana memukul lengannya.
"Ya udah, masuk sana. Mandi dulu, baru makan. Tadi mama datang ke sini bawain lauk untuk kita."
"Mama aku apa mama kamu?" tanya Nando. Ia letakkan tas di sofa dan kue di meja makan.
"Mama Dhea," jawab Rana.
"Oh, mamaku."
"Ih, itu sekarang mamaku juga tahu," protes Rana, sambil mengerucutkan bibirnya.
"Iya, iya. Mama kita berdua." Nando mengacak rambut Rana gemas. "Ya udah, aku mandi dulu kalau gitu."
"Jangan lama-lama mandinya, aku belum makan. Nungguin Kakak pulang lama banget."
"Maaf, ada urusan di kampus."
"Iya, iya. Udah, sana mandi. Aromanya udah nggak segar lagi," ejek Rana. Setengah mendorong Nando.
"Siap Bos!"
Senyum Rana masih terbingkai di wajahnya hingga sosok Nando menghilang dari balik pintu kamar mandi. Selagi menunggu Nando selesai membersihkan diri, Rana dengan telaten melayani sang suami.
Menghangatkan kembali lauk yang dibawakan Dhea tadi, Rana pun menyusun meja makan mereka. Meski hari sudah terlalu larut untuk menyantap makan malam, Rana berusaha untuk tidak mengeluh. Setidaknya, Nando mau merayakan ulang tahun Rana, meski sang waktu sebentar lagi akan berganti.
Lewat tengah malam, Rana dan Nando makan malam bersama. Menikmati hidangan yang khusus dibuat Dhea untuk Rana yang tengah berulang tahun. Kue ulang tahun yang diberikan Dhea tadi Rana jadikan sebagai camilan setelah makan malam.
"Mama juga bawa kue ulang tahun?" tanya Nando. "Sama Papa juga ke sini?"
"Nggak, tadi Mama ke sini sama Kak Ferga," jawab Rana yang tengah mencuci piring.
"Oh gitu," ucap Nando acuh tak acuh, sambil mengunyah potongan terakhir kue ulang tahun dari Dhea. Setelahnya, Nando membantu Rana mencuci piring dan menyusunnya di rak.
Pasangan suami istri itu duduk dalam diam di atas sofa. Memandangi televisi yang tidak dihidupkan sama sekali. Tidak ada perbincangan yang terjadi karena Nando merasa kekenyangan dan lelah setelah seharian beraktivitas di kampus.
Rana menoleh ke samping. Menatap sang suami yang kini tengah memejamkan mata. Dahi Nando berkerut, tanda bahwa seharian ini energinya telah terkuras habis. Menyadari hal itu, Rana hanya bisa tersenyum miris. Rana tahu Nando lelah, tetapi Rana juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Nando yang begitu aktif di kampus menjadikan lelaki itu sebagai orang yang diperhitungkan. Rana bisa membayangkan, dalam satu atau dua tahun ke depan, Nando pasti akan menduduki posisi sebagai Presiden Mahasiswa di kampusnya. Membayangkan hal tersebut, Rana hanya bisa bersedih di dalam hati.
Rana sama sekali tidak bisa membayangkan akan betapa sedih dan kesepiannya ia jika Nando benar-benar akan menjadi Presiden Mahasiswa. Sekali lagi Rana menatap lekat-lekat wajah Nando. Merekam dengan jelas semua ekspresi di wajah Nando saat ini.
Nando mungkin tidak menyadarinya, tetapi Rana bisa melihat jelas bahwa lelaki itu sudah berusaha terlalu keras dalam menjalani hidupnya. Rana merasa semakin sesak. Haruskah ia mempertahankan Nando dengan semua risiko yang akan ia terima? Atau memilih untuk melepaskan Nando agar mereka berdua bisa bahagia menjalani hidup masing-masing?
Rana mengecup pelan dahi Nando yang telah tertidur. Diam-diam meneteskan air mata, tatkala keinginannya untuk bercerai semakin kuat.
***
Nggak tahu deh, sebenarnya yang salah di sini tuh Rana atau Nando. Kalau menurut kalian, siapa yang salah? Rana? Nando? Atau malah keduanya?
Menikah Kembali akan segera tamat. Jadi jangan lupa untuk terus tungguin update-an terbaru Menikah Kembali, ya. Terima kasih untuk yang sudah baca dan kasih bintang untuk Menikah Kembali.
Oh iya, ada yang kenal sama Ferga? Yup! Dia itu pemeran utama di The Flower Bride. Ceritanya memang sudah nggak lengkap di Wattpad, tapi kalau kalian mau baca kisah Ferga, kalian bisa beli novelnya di Shopee. Ceritanya nggak kalah menarik kok dari Menikah Kembali. Buat yang mau intip-intip bab awalnya, bisa banget baca The Flower Bride di akunku.
Mau beli novelnya buat baca ceritanya secara lengkap juga boleh banget. Harganya juga terjangkau kok.
xoxo
Winda Zizty
26 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top