Dua Puluh

Februari 2020


Hanya Soni yang Rana punya saat ini. Namun lelaki yang saat ini tengah memunggunginya itu akan kembali ke tanah air. Rana tidak tahu akan kepada siapa ia bergantung di negeri orang kalau Soni akan meninggalkannya sendiri.

Dua hari lagi Soni akan meninggalkan London, karena itulah Rana menemani lelaki itu berkemas. Memastikan tidak ada satu pun barang milik Soni yang luput untuk dibawa.

Ada perasaan sedih yang menggelayuti Rana saat menatap punggung Soni. Memikirkan lelaki itu tidak ada di sisinya hingga berbulan-bulan lamanya.

Soni tiba-tiba saja berbalik, memandangi Rana yang tengah menatap kosong ke arahnya. Lantas lelaki itu berdiri, memegangi kedua bahu Rana hingga wanita itu berkedip.

"What's wrong? Kamu lagi nggak enak badan?" tanya Soni khawatir. Pasalnya semenjak datang ke apartemennya, Rana tidak banyak bicara. Wanita itu juga terlihat murung dari biasanya.

"Nope. Aku baik-baik saja, Son. Aku hanya sedih karena memikirkan tidak akan melihatmu lagi dalam beberapa bulan ke depan," tutur Rana jujur.

Mendengar pengakuan Rana, tentu Soni senang. Namun satu sisi juga ia merasa sedih karena seperti yang Rana katakan, mereka tidak bisa bertemu selama berbulan-bulan. Kecuali Rana mau kembali ke Indonesia setelah pendidikannya selesai.

Tidak ingin Rana larut dalam kesedihannya, Soni lantas merengkuh wanita itu. Memeluk Rana erat sambil mencium puncak kepala sang kekasih. Jika harus jujur, ia juga merasa berat meninggalkan Rana di London. Namun Soni harus tetap mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya.

Meski berat karena Rana akan sendiri di London, Soni juga merindukan keluarganya. Merindukan tanah air yang bertahun-tahun ia tinggalkan dengan alasan menempuh ilmu. Sekarang sudah saatnya Soni kembali ke tempat seharusnya ia berada.

"Kita akan bertemu lagi, Na. Waktu yang akan kita lewati akan berlalu begitu saja tanpa terasa. Selesaikanlah pendidikanmu di sini, setelahnya kita bisa bertemu lagi di Indonesia," ujar Soni.

Rana membalas pelukan Soni tak kalah erat. Seolah tidak ingin lelaki itu pergi dan tetap berada di sisinya. Rana sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Soni yang selalu ada setiap ia butuh. Soni yang ada di sisinya setiap kali ia merindukan rumah.

"Apa tidak bisa kamu lebih lama di sini? Atau kamu pulang ke Indonesia bersamaku? Setelah aku diwisuda, kita bisa pulang bersama. What do you think?"

Soni mengurai pelukan mereka, lantas menggeleng pelan. Diusapnya lembut kedua pipi Rana. Berharap sang kekasih bisa mengerti.

"Aku tidak bisa, Rana. Aku sudah sebisa mungkin menunda kepulanganku. Aku juga selalu berharap agar bisa pulang bersamamu ke Indonesia. Namun, ini penting untukku, Na. Di masa depan, aku tidak tahu akan mendapatkan kesempatan yang sama atau tidak."

Rana mendesah. Tak lama kemudian Rana mengangguk, mencoba mengerti posisi Soni saat ini.

"Baiklah. Aku tidak bisa egois dan memintamu untuk tinggal lebih lama di London."

"Segeralah selesaikan kuliahmu, Na. Aku ingin kita bersama di negeri kita sendiri. Meski aku menyukai London, tetapi aku ingin mengukir kenangan sebanyak-banyaknya denganmu di negara kita."

Rana mengangguk, meraih jemari Soni dan menggenggamnya.

"Sure. Aku akan berusaha menyelesaikan kuliahku. Aku juga sudah berjanji untuk segera pulang setelah berhasil meraih gelar sarjanaku."

Senyum Soni terkembang lebar saat memandangi wajah Rana. Kedua netra itu bertemu hingga tiba-tiba saja Rana menyapukan bibirnya di atas bibir Soni.

Mata Soni terbeliak kaget. Tidak menyangka atas apa yang baru saja Rana perbuat. Meski hanya beberapa detik, tetapi tetap saja Rana yang memulai menyatukan kedua bibir mereka. Sesuatu yang tidak pernah disangka Soni.

"Sorry, tapi aku hanya ingin melakukannya. Aku berharap kamu tidak marah," kata Rana sambil menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang merona karena malu dengan apa yang ia lakukan.

Soni yang masih dilanda keterkejutan hanya bisa bergeming. Belum sepenuhnya mengerti apa yang telah terjadi.

"Maaf," ucap Rana lagi, sedikit menyesal. Apalagi respons Soni diluar ekspektasinya, "tidak seharusnya aku melakukan itu."

Sadar ada nada kekecewaan dari suara Rana, Soni gegas menggeleng. Menyentuh dagu Rana agar wanita itu mendongak menatapnya.

"Tidak, Na. Aku tidak marah. Aku senang. Ah, maksudku, aku—"

"I apologize," potong Rana cepat. "Aku janji yang barusan terjadi tidak akan terulang lagi."

"Tidak, Na, kamu salah paham. Aku bukan tidak menyukainya. Hanya saja aku terkejut," sanggah Soni cepat. "Aku tidak menyangka kamu akan menciumku. Aku selama ini menahannya karena tidak ingin melampaui batas. Makanya aku terkejut saat kamu tiba-tiba menciumku seperti tadi."

Kali ini gantian Rana yang bergeming. Rana tahu kalau selama ini Soni menahan diri. Lingkungan sekitar mereka yang tidak sama dengan Indonesia, membuat mereka harus sekuat tenaga menahan diri agar tidak ikut terjerumus. Meski bukan hal baru melihat sepasang kekasih yang berciuman, Rana sadar betul kalau Soni masih menjaga dan menghormatinya.

Rana jadi malu sendiri karena tiba-tiba saja bersikap agresif dengan mencium Soni. Entah setan apa yang merasuki Rana hingga bisa melakukan tindakan impulsif seperti tadi.

"Aku suka saat kamu menciumku seperti tadi. Aku hanya kaget. Tidak pernah menyangka kamu benar-benar menciumku."

"Kamu tidak marah?" tanya Rana.

"Tentu saja tidak. Mana mungkin aku marah, Na. Aku justru senang dicium oleh kekasihku. Orang yang aku cintai."

Rana menunduk malu. Tidak ingin bersitatap dengan Soni yang kini tengah tersenyum semringah. Namun Soni tidak memberikan Rana kesempatan untuk menyembunyikan wajahnya lebih lama. Lelaki itu menangkup kedua sisi wajah Rana, membuat netra mereka bertemu.

"Kali ini, biar aku yang menciummu lebih dulu, Na. May I?" tanya Soni. Meminta persetujuan Rana.

Saat Rana menjawab dengan anggukan kepala, tanpa ragu Soni mengecup bibir sang kekasih. Membalas kecupan singkat Rana tadi dengan kecupan yang lebih dalam dan intens. Soni memperdalam ciumannya hingga Rana harus mengalungkan kedua tangannya di leher Soni.

Mengakhiri ciumannya, Soni menempelkan dahinya ke dahi Rana. Degupan jantung Soni begitu kencang hingga ia merasa akan meledak. Tidak pernah ia bayangkan bisa mencium Rana seperti tadi.

Soni memang sudah beberapa kali ingin mencium Rana, tetapi selalu ia urungkan. Namun Soni tidak mau Rana justru menjauh jika ia melakukan hal yang melampaui batas. Bahkan saat pertama kali menggenggam tangan Rana pun, Soni butuh keberanian ekstra.

Bukan Soni pengecut. Hanya saja ia ingin menjaga Rana karena menghormati wanita yang ia cintai. Soni tidak ingin menyakiti Rana dengan semua nafsu yang ia miliki. Ia masih lelaki normal, karena itulah Soni sebisa mungkin menjaga Rana dengan menahan diri.

"Kenapa kamu tiba-tiba menciumku?" tanya Soni setelah degupan jantungnya kembali normal.

"Mungkin karena aku masih ingin kamu tetap di sini. Apa ciumanku tadi membuatmu sedikit berubah pikiran agar tetap tinggal lebih lama?"

Soni menggeleng, tersenyum tipis.

"Ternyata kamu mencoba merayuku ya, Rana," ucap Soni gemas. "Namun maaf, keputusanku tidak berubah, Na. Sampai bertemu lagi di Indonesia. Aku akan sangat merindukan kamu."

"Yah, sayang sekali," desah Rana, pura-pura kecewa. "Berarti ciumanku tadi percuma saja, ya."

"Tidak ada yang percuma, Na. Aku menyukainya.'

"Tapi kamu tetap tidak akan tinggal."

"Hanya ragaku yang tidak di sini, Na, tapi hatiku akan selalu buat kamu."

Rana terkekeh, mencubit pinggang Soni. Rintihan yang Soni keluarkan tidak lantas membuat Rana berhenti mencubitinya.

"Siapa sih yang ngajarin kamu gombal gini? Hayo ngaku!"

"Nggak ada, Na. Itu beneran, bukan gombalan."

Rana menghentikan aksi cubitannya dan berkacak pinggang. Menatap Soni dengan tatapan penuh selidik. Tentu saja ia melakukan itu hanya untuk menggoda Soni.

"Beneran, Sayang. Aku mana bisa gombal. Kalau kedengerannya kayak gombalan, itu beneran dari hati aku."

"Ih, masa? Nggak percaya tuh."

"Jadi apa yang bisa buat kamu percaya?" tanya Soni, turut larut dalam permainan yang dimulai Rana.

"Kiss me then," tantang Rana.

"Okay!"

Sebelum Soni sempat mendekat, Rana keburu kabur dari hadapan Soni. Rana berlari menghindari Soni hingga keduanya memutari hampir seluruh ruangan di apartemen. Saat akhirnya berhasil mendapatkan Rana dalam pelukannya, Soni menggelitiki pinggang wanita itu hingga tawa terdengar dari bibirnya.

"Stop it, Son. Geli," pinta Rana.

"Nggak mau." Soni semakin gencar menggelitiki Rana.

"Okay, fine. Aku mengaku kalah," ucap Rana akhirnya. Ia benar-benar lelah tertawa karena merasa geli.

"So, boleh aku ambil hadiahnya sekarang?"

"Silakan."

Tanpa membuang waktu, Soni kembali mencecap manis bibir Rana. Memadukan kedua bibir mereka dengan desah napas yang memburu. Semakin Soni memperdalam ciuman mereka, maka Rana akan semakin erat memeluk leher lelaki itu.

Dua hari kemudian, Rana ikut mengantar Soni ke bandara. Melepas kepergian lelaki yang telah menemani hari-harinya di London. Kecupan singkat di dahi Rana menjadi tanda perpisahan yang diberikan Soni.

"Aku akan menunggumu di Indonesia," ucap Soni, entah untuk yang ke berapa kalinya. Seolah menegaskan bahwa Soni memang ingin Rana segera pulang ke tanah air.

Rana melambaikan tangannya saat Soni memasuki gerbang keberangkatan. Punggung lelaki itu terlihat menjauh, tetapi Rana tetap bergeming. Berdiri di tempatnya dengan perasaan aneh yang tiba-tiba mendatanginya.

Rana tidak tahu apa yang terjadi. Namun saat melihat punggung Soni yang menjauh sambil menyeret kopernya, membuat Rana teringat momen di mana ia meninggalkan Nando. Seperti halnya punggung Soni yang menjauh, saat itu Rana meninggalkan Nando tanpa menoleh.

Dada Rana tiba-tiba sesak memikirkan Soni yang tidak akan berada di bawah langit yang sama dengannya. Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di benak Rana. Mungkin saja saat itu Nando juga merasakan sesak yang sama saat Rana pergi begitu saja dari rumah mereka.

Rana tidak pernah tahu seperti apa perasaan Nando dan tidak berniat mencari tahu. Rana terlalu egois untuk sekadar menanyakan pada Nando apa yang lelaki itu rasakan. Meski terkadang merindukan momen kebersamaannya dengan Nando, Rana masih meletakkan rasa bencinya pada lelaki itu di posisi pertama.

Rasa benci dan sakit hati itu membuat Rana tidak peduli dengan apa yang Nando rasakan. Untuk saat ini, Rana berusaha menepis semua perasaan itu. Meski terselip rasa bersalah, tetapi itu tidak mendominasi.

Di masa sekarang, bukan Nando yang harus menjadi fokus perhatian Rana. Sudah ada Soni yang menjadi kekasih Rana dan harus ia perhatikan. Karenanya, setelah menetralkan degup jantungnya, Rana berbalik dan segera berlalu dari bandara.

Sekaligus mengenyahkan sosok Nando yang tiba-tiba saja mendatangi pikirannya.

Tidak seharusnya Rana memikirkan Nando. Bukan lelaki itu yang berada di sisi Rana saat menempuh Pendidikan di London. Justru Nandolah yang membuat Rana mengambil keputusan nekat untuk berkuliah di London.

Nando bukan siapa-siapa lagi di hidup Rana. Kenyataan itu harus Rana pegang agar bisa melanjutkan hidup.

Rana kira ia baik-baik saja setelah berada di dalam taksi. Namun entah kenapa, lagi-lagi perasaan itu mendatangi Rana. Tanpa sadar bulir air mata jatuh dari sudut mata Rana dan jatuh membasahi pipi.

Rana bukan orang bodoh untuk tidak menyadari apa yang tengah ia rasakan. Hanya saja, Rana berusaha mengelak dari sesak di dadanya. Rana bersikeras menolak untuk mengakui bahwa satu sisi hatinya menginginkan sosok Nando berada di sisinya.

***


Update lagi!

Happy reading, guys.


xoxo

Winda Zizty


29 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top