Dua Belas
Februari 2022
Rana menekan kunci mobil otomatisnya sembari memasuki galeri wedding organizer tempatnya bekerja. Meski ada beberapa jadwal temu dengan beberapa pasang calon pengantin, galeri tidak terlalu ramai di pagi hari seperti ini.
Semalam, Yaya menghubungi Rana agar mengatur pertemuan di galeri. Rencananya, gadis itu akan mengunjungi galeri selepas makan siang.
Ini bukan kali pertama Yaya mengunjungi galeri. Setelah membayar DP di wedding organizer, Yaya meminta bantuan Rana agar turut andil dalam mempersiapkan pernikahan. Tentu Rana tidak keberatan. Apalagi memang sudah sewajarnya ia membantu Yaya yang telah memilih wedding organizer tempat ia bekerja.
Konsep pernikahan sudah ditentukan. Yaya dan sang suami memutuskan menggelar pernikahan di salah satu ballroom yang tidak jauh dari kediamannya. Meski belum pernah bertatap muka dengan calon suami Yaya, Rana bisa melihat betapa besar cinta yang lelaki itu berikan.
"Abang menyerahkan semua pilihan ke gue, Na," kata Yaya kala itu. "Bukan berarti dia lepas tangan dan nggak mau turut andil dalam persiapan pernikahan. Tapi dia percaya sama pilihan gue buat pernikahan kami."
Selagi menunggu pertemuannya dengan Yaya, Rana memutuskan untuk mengecek daftar vendor yang akan digunakan bulan ini. Tidak lupa pula mengecek jadwal di bulan Juli—bulan di mana Yaya akan menikah.
Meski Yaya merupakan sepupu Soni, tidak ada kecanggungan di antara mereka. Saling berbagi cerita, bahkan tidak jarang juga menceritakan kisah pribadi masing-masing. Bisa dibilang, Yaya dan Rana bagaikan dua sahabat yang sudah lama berteman. Bukan dua orang asing yang bertemu karena sepupunya memiliki kekasih.
Cukup sering pula Rana bertemu Yaya di luar jadwal. Meski Yaya merupakan klien Rana, mereka benar-benar nyaman dengan kedekatan yang terjalin. Rana bahkan mengagumi pemikiran Yaya mengenai status sang calon suami yang pernah menikah sebelum menjalin kasih dengannya.
"Ini sebenarnya pernikahan kedua bagi Abang, Na," ucap Yaya.
Sebuah kafe di lantai tiga mall menjadi tempat pertemuan mereka beberapa minggu silam. Sebelumnya Yaya yang menghubungi Rana karena merasa bosan di rumah setelah menjalani isolasi mandiri. Untungnya Yaya dinyatakan negatif dan bisa keluar dengan bebas. Tentu saja tanpa melupakan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah.
"Calon suami lo duda?" tanya Rana, sedikit berbisik. Meski kini mereka cukup dekat, entah kenapa Rana merasa pembahasan mengenai status calon suami Yaya adalah topik yang cukup sensitif.
Yaya mengangguk, menyeruput jusnya.
"Iya, tapi itu nggak masalah buat gue. Mau Abang duda apa bukan, gue tetap cinta sama dia." Senyum tipis terukir di bibir Yaya.
"Lo nggak kaget gitu pas dia ngaku kalau dia duda?"
"Awalnya gue syok. Kaget. Jujur aja. Gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin setelah tahu kalau dia itu duda. Nggak ada tanda-tanda kalau dia udah pernah nikah atau belum." Yaya menatap lurus Rana sebelum melanjutkan, "Tapi gue seneng dia bilang di awal hubungan kami. Itu tandanya dia emang tulus dan serius sama gue. Gue lebih seneng dia jujur di awal kayak gini, ketimbang tahu fakta tersebut setelah hubungan kami melangkah lebih jauh."
Kalimat yang meluncur mulus dari bibir Yaya seketika membuat Rana tertohok. Pasalnya hingga detik ini, tidak pernah sekalipun Rana mengatakan pada Soni bahwa ia pernah menikah sebelumnya. Bahkan perceraian yang Rana alami membuatnya harus pergi jauh-jauh ke London agar bisa melupakan Nando.
Rana seketika mematung. Memikirkan bagaimana tanggapan Soni jika tahu Rana merupakan janda di usia yang cukup muda. Rana bahkan seringkali menghindar tiap kali pembahasan Soni menyerempet ke arah pernikahan.
Apakah ia mempunyai trauma terhadap pernikahan? Tapi kalaupun Rana memiliki trauma, kenapa ia malah bekerja di wedding organizer yang setiap minggunya bersinggungan dengan pernikahan? Atau ada alasan lain kenapa Rana seolah selalu menghindar tiap kali Soni membahas pernikahan?
Tubuh Rana kaku di tempat. Kenapa selama ini ia tidak pernah memikirkannya? Sebenarnya, seberapa besar cinta yang ia miliki untuk Soni? Kenapa Rana merasa menjadi orang jahat di dalam hubungannya sendiri?
Keterdiaman Rana ternyata dinilai Yaya berbeda. Wanita itu terkekeh pelan sambil menepuk pelan lengan Rana yang tengah melamun. Sentuhan itu mampu membuat Rana tersentak dan kembali ke masa sekarang.
"I'm okay, Na. Status duda yang Abang sandang bukan masalah buat gue. Gue nggak pernah mempermasalahkan kenyataan kalau Abang sudah pernah nikah atau belum. Semua itu masa lalu dia. Karenanya, gue harus menerima semua itu dengan lapang dada. Bukankah saat kita mencintai seseorang, kita juga harus menerima semua masa lalunya?"
Senyum Yaya yang menular membuat kedua sudut bibir Rana ikut terangkat naik. Apa yang dikatakan Yaya memang benar. Rana juga tahu akan hal tersebut. Mencintai seseorang bak membeli satu set peralatan. Kamu harus membeli semuanya meski ada beberapa benda yang sebenarnya tidak kamu butuhkan.
Namun sebenarnya, Rana bukan mempermasalahkan hubungan asmara Yaya hingga membuatnya bergeming sedemikian rupa. Rana hanya memikirkan mengenai hubungannya dengan Soni. Sudah seterbuka apa ia dengan sang kekasih yang sudah menemaninya bertahun-tahun ini.
Bahkan hingga saat ini pun, Rana tidak pernah dengan jujur bercerita bahwa ia pernah bercerai. Namun, Soni juga tidak pernah menanyakan hal tersebut. Jadi bukan salah Rana kan, kalau dia tidak pernah sekali pun membuka mulutnya?
"Gue kira lo bakal mundur setelah tahu kalau pacar lo itu duda, Ya." Rana terkekeh pelan. Tidak mungkin ia mengatakan pada Yaya bahwa ia juga pernah menikah. Padahal dengan Soni saja ia tidak mengatakannya.
"Gue cinta sama dia, Na. Pas dia cerita tentang statusnya pun, gue tahu dia punya pemikiran yang sama kayak lo sekarang. Dia takut gue nggak bakal nerima status dia dan akhirnya mundur. Namun gue akhirnya bisa meyakini dia kalau gue sama sekali nggak mempermasalahkan statusnya."
"Karena itu semua hanya masa lalu?" tebak Rana.
Yaya menjentikkan jemarinya dengan semangat. Tanda membenarkan jawaban Rana.
"Exactly! Semua manusia pasti punya masa lalu. Namun saat ini, di masa sekarang hanya ada gue di hidup dia. Di masa sekarang, gue yang menjalin hubungan dengan dia. Ini cerita kami berdua, tanpa mantan istrinya."
Lagi-lagi Rana terpaku. Entah karena memang mencintai pasangannya sepenuh hati atau karena kedewasaaannya, atau malah karena keduanya, Yaya terlihat begitu bersinar di mata Rana. Andai saja kedewasaan itu Rana miliki tujuh tahun yang lalu, mungkin saat ini rumah tangganya dan Nando masih bertahan.
Getaran ponsel di dekat jemarinya membuat Rana terperanjat. Menatap sekeliling, Rana tersadar ia tengah melamun di tengah-tengah kegiatan mengecek list vendor. Meraih ponsel yang masih bergetar, ternyata sebuah panggilan masuk dari Yaya yang ia terima. Tanpa tedeng aling-aling, Rana menerima panggilan.
"Na, lo di mana sekarang?"
"Hm, di galeri. Kenapa?"
"Gue sekarang aja ya, ke sananya. Ternyata Abang nggak bisa nemenin gue ke sana," keluh Yaya. "Tiba-tiba ada meeting aja di kantornya. Padahal harusnya kita mau sekalian fitting baju."
Rana terkekeh pelan mendengar gerutuan Yaya.
"Oh ya udah, boleh aja. Kebetulan gue juga nggak yang sibuk-sibuk banget. Galeri juga lagi sepi. Kalau lo mau fitting baju, sendirian juga nggak pa-pa."
"Oke deh kalau gitu. Ini gue udah di jalan. See you then."
Rana menghela napas tanpa sadar, seiring dengan berakhirnya panggilan tersebut. Bisa-bisanya Rana kembali mengingat perbincangannya dengan Yaya tempo hari. Bahkan sampai melamun karenanya.
Mungkin ini karena Rana masih sedikit merasa bersalah dengan Soni. Bukan Rana tidak mau terbuka perihal statusnya pada Soni. Hanya saja, Rana merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengaku dengan jujur. Entah kapan, Rana pasti akan memberitahukan Soni kalau ia pernah menikah dan bercerai. Namun bukan sekarang.
Rana akui, ia cukup salut dengan Yaya. Kalau ia berada di posisi Yaya, mungkin Rana tidak akan semudah itu menerima pasangannya yang pernah memiliki mantan istri. Walau pernah bercerai, Rana entah kenapa menjadi egois dan tidak ingin mendapatkan pasangan yang sudah pernah menikah.
Lagi-lagi sebuah pemikiran membayangi Rana. Jika dirinya saja sudah mempunyai penolakan akan status seseorang di masa lalu, apakah Soni juga memiliki pandangan yang sama? Apa Soni akan mengakhiri hubungan mereka jika tahu bahwa Rana sebenarnya adalah seorang janda?
Mengigit bibir bawahnya dengan gundah, Rana diserang kekhawatiran. Apa Soni akan mempermasalahkan dirinya yang pernah bercerai? Atau menerimanya dengan lapang dada seperti Yaya yang menerima status calon suaminya yang duda?
Ketakutan menggerogoti Rana. Ia benar-benar takut Soni akan meninggalkannya karena hal tersebut. Apa lebih baik Rana tidak perlu mengatakan ke Soni bahwa ia pernah menikah dan membiarkan lelaki itu tahu dengan sendirinya seiring berjalannya waktu?
Bunyi gemerincing pintu masuk galeri membuat Rana tersentak hebat. Gegas ia mengubah ekspresi wajahnya begitu melihat sosok Yaya melewati daun pintu yang kini terbuka lebar. Rana tidak tahu sudah berapa lama ia bergerumul dengan pikirannya hingga kini Yaya telah tiba di galeri.
Rasanya baru satu menit yang lalu mereka berbincang via telepon. Kini Yaya sudah berdiri di hadapannya dengan senyum semringah yang membuat Rana otomatis ikut tersenyum.
"Duduk dulu, Ya."
Layaknya menyambut klien mereka pada umumnya, Rana menyambut Yaya dengan hormat. Tidak lupa pula melayani Yaya sebagaimana peraturan yang telah ditetapkan dalam menyambut klien yang menyambangi galeri wedding organizer.
"Mau minuman hangat atau dingin?" tanya Rana begitu Yaya duduk di salah satu kursi dengan meja bundar yang menjadi titik tengahnya.
"Ehm, yang hangat aja, Na. Soalnya tenggorokan agak sakit," jawab Yaya.
"Oke, tunggu sebentar, ya."
Setelah mengatakan itu, Rana bergegas ke belakang. Menyiapkan minuman untuk Yaya dan juga dirinya. Yaya menggumamkan terima kasih saat menerima secangkir lemon tea hangat yang dibuatkan Rana.
"Di luar macet nggak?" tanya Rana, sedikit berbasa-basi.
"Nggak juga, sih. Lumayan lancer dari biasanya." Yaya menyeruput pelan minumannya sebelum fokus pada tujuan utamanya datang ke sana.
Setelah berbincang singkat membahas konsep pernikahan dan masalah katering yang akan digunakan, barulah Rana mengajak Yaya masuk ke ruangan untuk fitting baju pengantin. Yaya begitu antusias saat Rana membawakan beberapa contoh pakaian pengantin yang sekiranya cocok dengan konsep pernikahannya nanti.
Untuk akad nikah, Yaya menginginkan pakaian adat lengkap dengan sigernya, karena ia merupakan keturunan Sunda. Sedangkan untuk resepsi, Yaya menginginkan gaun pengantin modern dan make up minimalis yang masih digandrungi di masyarakat.
"Na, bisa minta tolong nggak?" tanya Yaya di sela-sela memilih pakaian.
"Hm, boleh. Mau minta tolong apa?"
"Nanti bisa fotoin aku nggak? Harusnya Abang ikut aku ke sini buat fitting juga. Rupanya ada meeting dadakan. Jadi aku mau kirim foto buat minta pendapat dia," tutur Yaya.
Tentu saja Rana tidak akan menolak. Ia malah senang hati menerima permintaan Yaya. Karena itulah, begitu Yaya telah memakai beberapa baju pengantin yang memikat perhatiannya, Rana dengan sigap akan mengabadikannya.
Yaya terlihat begitu bahagia saat berkirim pesan dengan calon suaminya. Meski tidak menggunakan riasan yang berlebihan, Yaya tetap terlihat menawan. Ditambah tengah mengenakan pakaian pengantin, membuat Rana semakin kagum dibuatnya.
Rana dapat memastikan dengan jelas, calon suami Yaya sangat beruntung bisa mendapatkan wanita sepertinya.
Dering ponsel tiba-tiba memenuhi ruangan. Yaya yang ternyata adalah si empunya ponsel langsung menjawab panggilan tersebut. Senyum semringah langsung terlihat. Tanpa melihat si penelepon, Rana sudah tahu bahwa itu adalah calon suami Yaya.
"Na, bisa minta tolong lagi nggak?"
"Boleh. Apa?"
Rana yang tengah Menyusun beberapa hanger langsung mendekat.
"Gue lagi video call sama Abang. Boleh minta tolong nggak buat lihatin gue full body gitu? Biar Abang bisa lihat tampak depan sama belakang pas gue nyobain baju ini?"
"Sure. Sini, mana hapenya?"
Yaya langsung memberikan Rana ponselnya. Dengan sigap Rana menuruti apa yang Yaya katakan. Meski calon suami Yaya tengah mematikan kamera, Rana tetap menyorot Yaya seperti apa yang wanita itu inginkan.
Setelah selesai memperlihatkan semua sisi Yaya, Rana mengembalikan ponselnya. Yaya langsung menggumamkan terima kasih dan kembali terlibat perbincangan dengan kekasihnya.
"Gimana, Bang?" tanya Yaya. Menunggu respons sang kekasih.
"Bagus, sih. Tapi agak rendah, ya, bagian dadanya. Ada yang lebih nutup nggak?"
Rana tiba-tiba bergeming. Suara itu terdengar tidak asing di telinga Rana. Namun, Rana sedikit sangsi bahwa ia mengenal kekasih Yaya.
"Mungkin seseorang yang punya suara sama," gumam Rana, mencoba menenangkan dirinya. Entah kenapa, setelah mendengar suara tersebut, jantung Rana bertalu hebat. Padahal Rana sendiri tidak yakin, suara siapa yang mirip dengan milik calon suami Yaya.
Sedikit memberikan privasi untuk Yaya yang masih terhubung panggilan dengan sang kekasih, juga untuk menenangkan diri, Rana pergi dari fitting room. Secangkir teh hangat mungkin bisa menenangkannya.
***
Akhirnya kembali menyapa kalian dengan bab baru Menikah Kembali.
Ternyata cukup lama juga, ya, aku nggak update cerita ini. Padahal rencananya mau aku tamatkan akhir bulan ini.
Tetap ikuti dan dukung Menikah Kembali. Jangan lupa komentar dan like kalian. Itu sangat berarti untukku karena membuatku semakin semangat menulis.
Xoxo
Winda Zizty
28 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top