Rafqi

“Saya Onci, sampai jumpa di acara Ons selanjutnya.”

Aku menutup acara gelar wicara kali ini dengan sederhana. Beruntungnya Mbak Rani nggak menginstruksi menutup acara dengan improvisasi kata-kata motivasi seperti acara Deddy Corbuzier. Selain belum menyiapkan, aku juga nggak konsentrasi buat menyampaikan semeyakinkan presenter plontos itu. Pikiranku sudah lebih dulu mengendarai Honda CRV putih ke Pejaten Village, tujuan yang kusematkan dalam pesan teks ke Galuh tadi.

“Malam ini kita makan bareng, yuk!”

“Aku mau ngunjungi saudara di Pasar Minggu,” jawabnya.

Padahal aku tahu Galuh nggak punya saudara di Pasar Minggu. Keluarganya ada di kawasan Kemang, kedua saudaranya yang masih belia tinggal bersama di sana. Sedangkan famili besarnya berada di Yogyakarta, termasuk omanya. Tapi aku tahu, itu cara Galuh memanggil pasiennya. Begitulah Galuh, cewek yang sebentar lagi aku persunting. Kalau dia terima proposalku malam ini. Entah kalau nggak, tapi semoga diterima.

“Kalau gitu ketemu di Penvil, yah,” usulku yang kemudian direspons positif Galuh lewat balasan teks tadi sore sebelum aku persiapan on air.

Good job, Ci!” Mbak Rani keluar dari Master Control Room tempatnya bersemayam demi menghasilkan siaranku secakep mungkin di layar televisi kalian. Seperjalanan menuju ruang ganti, Mbak Rani memperhatikanku yang lupa merespons pujiannya tadi.

“Lo nggak lagi diare, kan, Ci?” Itu pertanyaan yang masih terdengar gamang di telingaku. “Onci, lo demam?” Kali ini tangan Mbak Rani yang menyentuh jidat membuatku sepenuhnya sadar. Perempuan berlesung dalam di pipi kirinya itu tengah menginterogasiku lewat perhatian.

“Gue baik, kok, Mbak. Cuma....” Aku terdiam menyadari keringat dingin yang muncul di akar-akar rambut dekat kening lewat pantulan cermin besar ruang ganti. “Gue gugup, Mbak.”

“Gugup kenapa? Acara lo sudah kelar, dan gue rasa kali ini berjalan dengan baik.”

Aku mengulum senyum untuk menetralkan pertanyaan Mbak Rani yang akan melebar ke mana-mana. Tapi, tersenyum di saat seperti ini sepertinya tidak semenarik biasanya.

“Curiga gue. Lo gugup kenapa?” Mbak Rani mulai jurus investigasi lewat kerutan di kening. Sebisanya kuabaikan kecurigaannya dengan memilih mengganti kostum. Sialnya, kotak kecil bersampul kain beledu abu-abu meluncur dengan elegan dari saku kemejaku. Nggak cukup di situ, setelah mendarat dengan sempurna di lantai, si kotak membongkar persembunyian sebuah benda berbentuk lingkaran yang sekarang menggelinding ke arah Mbak Rani.

“Oh, jadi ini yang bikin lo gugup, Onci?” Mbak Rani memungut benda itu seperti mengangkat bayi yang baru keluar dari rahim ibu. Mungkin dia takut bikin baret di permukaan mulusnya. “Lo mau melamar Galuh?” tanyanya dengan suara yang kuyakini sengaja ditinggikan, biar seluruh gedung Ins.TV mendengar. Yah, walau itu terlalu hiperbol buat menggambarkan lengkingan suara Mbak Rani yang hanya menggema di ruangan ini.

Untungnya, aku bisa mengamankan mulut Mbak Rani dengan pelototan penuh isyarat. Ini masih rahasia. Keuntungan lainnya, ruangan ini hanya terisi tiga orang. Aku, Mbak Rani, dan Mbak Dinda bagian penata rias dan busana yang tengah sibuk dengan ponsel. Semoga Mbak Dinda nggak mendengar teriakan Mbak Rani dari balik pelantang jemala yang menyumpal telinganya.

“Ya ampun, Onci gue yang lugu sudah mau nikah. Terus gimana nasib Ons?”

“Apaan, sih. Masih belum pasti, Mbak.”

“Lah, ini lo mau mastiin atau gimana? Kok, nggak yakin gitu?” Mbak Rani duduk di kursi yang menghadap ke cermin dengan posisi menyamping.

“Iya gue mau mastikan, cuma entah Galuh mau apa nggak. Apalagi dia baru diangkat jadi dokter.”

“Ya sudah. Kalau gitu tunda saja.” Aku memelotot dengan celetukan Mbak Rani yang malah menyarankan sebaliknya. “Biar program Ons terus berlanjut. Kan, lo mukanya Ons. Kalau diganti orang lain acaranya nggak jadi Ons lagi.”

Ada benarnya apa yang dikatakan Mbak Rani. Ons sendiri diambil dari nama belakangku. Arlonsy. Dulunya program itu tayangnya taping sebelum sebuah insiden Galuh yang mengunggah Instastory berisi aku yang siaran. Kalau nggak salah ingat, dia menulis takarir gambar yang memujiku.

Lagi nemenin doi yang siaran. #OnsIns.TV. Itu buat unggahan berupa boomerang aku yang tengah memandu acara Ons. Kalau dilihat gini, dia mirip Reza Rahadian, kan? #OnsIns.TV. Dan ini kalimat buat unggahan berupa zoom in mukaku di layar televisi.

Di zaman seperti ini, kekuatan terbesar ada pada media sosial. Piranti-piranti yang menghubungkan sama orang banyak membawa dampak lebih cepat. Seperti unggahan Galuh waktu itu, program Ons mulai mendapat respons dari masyarakat. Sehingga menunjang rating, dan beberapa produk memasukkan insert di acara yang aku pandu. Karena itu, Mbak Rani selaku Program Director mengabarkan kalau mulai setahun yang lalu Ons menjadi program siaran langsung di prime time. Untuk ukuran teve kabel, Ons mendulang kesuksesan besar buat Ins.TV.

“Kalau begini jadinya, sudah dari awal tahu lo macarin Galuh gue suruh posting-in, deh. Hitung-hitung endorse gratisan dari novelis cantik kayak Galuh.”

Aku masih ingat komentar Mbak Rani waktu itu yang berbinar-binar merasa programnya sukses. Galuh memang mempunyai pengikut banyak di Instagram, meski dia bukanlah selebgram kayak kebanyakan cewek cantik. Dan sekarang, PD yang dulu menjadi pendukung utama hubunganku dengan Galuh, malah menyarankan untuk mundur.

Paling tidak secara halus dia memintaku menunda. Tidak tahukah dia, usiaku sudah 28 tahun. Sudah terlalu lama menghabiskan waktu tanpa seseorang yang menemani tidurku. Tolong, jangan mencibir karena pikiran itu. Sudah wajar, setiap laki-laki yang cukup usia pasti memikirkan ini. Bahkan, kemarin Ons sempat mengundang pasangan bocah SMP yang menikah. Bro, lima belas tahun saja sudah nikah, dan aku? Jadi, semoga setelah baca ini kamu nggak memviralkan pernyataanku yang pengin punya teman tidur.

“Nggak juga, Mbak. Gue malah yakin bakalan tambah sukses. Kan, Galuh bisa tiap waktu nyamperin gue di mari. Terus—”

“Binggo!” Mbak Rani berdiri sambil menjentikkan jari, memotong elakanku soal pernyataannya kalau aku menikah Ons akan bubar. “Ide bagus. Kalau lo bisa mastiin nikah sama Galuh dekat-dekat ini. Gue minta kontrak lo diperpanjang. Bisalah lo jadi ikonnya Ins.TV.” Mbak Rani menggebu-gebu dalam penuturannya. Alhamdulillah, ponselku menginterupsi. Kalau nggak, Mbak Rani pasti sudah berbusa sudut bibirnya demi menyampaikan ide meningkatkan rating Ons.

“Aku di Java Been Coffe and Resto. Lantai satu,” pesan Galuh lewat aplikasi pesan daring. Buru-buru kuambil alih cincin yang masih di genggaman Mbak Rani setelah mencomot kotaknya dari lantai. Memastikan tatanan rambut masih kayak waktu siaran tadi lewat cermin.

“Mbak, doain. Gue cabut sekarang.” Aku meninggalkan Mbak Rani yang kudengar mendoakanku setengah berteriak. Entah apa tujuannya. Apakah agar lekas diijabah Tuhan, atau buat mengejar langkahku yang sudah menjauh dari ruang ganti.

Jantungku berpacu tak keruan setibanya di parkiran. Bahkan butuh asupan oksigen lebih banyak untuk mengembalikan ke keadaan normal. Entah ini efek dari gerak cepat barusan atau karena pesan Galuh. Satu tarikan napas terakhir dengan embusan kuat-kuat sebelum melajukan Honda CRV yang beberapa bulan belakangan menjadi tungganganku.

Baru saja melepas diri dari pengapnya parkiran, dari area lobi aku bisa melihat Jalan Gatot Subroto padat kendaraan. Oh, Galuhku. Jangan sampai kemacetan ini mengacaukan rencana awal. Dan dalam keadaan seperti ini, aku harus berterima kasih kepada Nadiem Makarim dan kawan-kawan atas ide briliannya, memberi solusi ketika keadaan kepepet. Transportasi online memang bisa dijadikan jalan keluar untuk kasusku. Setidaknya untuk pandanganku hari ini, entah esok.

Seorang pria yang kutaksir lebih muda dariku datang dengan jaket hijau beraksen hitam setelah berkirim pesan mengenai posisiku sekarang. Tapi, dugaanku dipatahkan saat pria itu membuka helm. Dengan kumis tebal seperti itu, rasanya dia sudah berusia lima tahun di atasku.

“Mas Rafqi Arlonsy, ya?” tanyanya kepadaku yang berdiri bersandar di sisi kanan mobil.

“Benar.”

“Ke Pejaten Village, 'kan?”

“Anu, Pak.” Aku masih saja sempat menggaruk bagian belakang kepala yang entah sejak kapan gatalnya. “Bapak punya SIM A?” tanyaku kemudian, yang secara ajaib malah menghilangkan rasa gatal di kepala sebelumnya.

“Loh, kenapa, Mas?”

Aku mengedar pandangan ke jalan yang masih padat. “Bapak bisa mengendarai mobil, 'kan?” Pertanyaanku disambut dengan anggukan.

“Kalau gitu, kita tukar kendaraan.”

Ini memang ide gila, tapi akan lebih gila lagi kalau aku mengecewakan Galuh. “Bapak bawa mobil saya, saya bawa motor Bapak. Nanti saya isi penuh bensin motor Bapak, ongkos juga tetap saya kasih. Saya cuma butuh sampai secepat mungkin ke lokasi.”

Pria itu masih tercenung mendengar ocehanku. Mungkin dia sama kayak kamu yang akan mengataiku gila sudah berani menukar mobil dengan motor. Untungnya aku bukan orang yang melestarikan suuzan, cuma lebih waspada saja. Makanya begitu pria itu menyanggupi ide gilaku, kuminta SIM C dan STNK motornya. Kayaknya lagi, si bapak ini juga paham dengan kewaspadaanku. Demi menjamin kepercayaan, dia menyerahkan apa yang kuminta. Toh, dalam keadaan apa pun dia nggak dirugikan. Malah untung.

“Kalau gitu, kita ketemu di lokasi ya, Pak.”

“Baik, Mas. Tapi saya kayaknya agak lambat. Saya takut kalau pakai mobil bagus.”

“Anggap saja mobil sendiri, Pak,” kataku diiringi senyum mengembang penuh kemenangan dari Honda Vario milik pria tadi. Sebenarnya apa yang aku menangkan? Menukar mobil dengan motor keluaran tahun 2014? Tapi, begitulah cinta bekerja. Suka membawa pelakunya di luar batas kemanusiaan. Salah satunya aku.

***

Berpacu dengan kendaraan bermotor di tengah kepadatan seperti ini membuatku menyusun kilas balik pertemuan-pertemuanku dengan Galuh. Dulu, aku dan Galuh satu kampus. Dia mahasiswa baru waktu aku semester lima. Sudah cantik, masuknya jurusan menarik. Itulah yang membuatnya selalu menjadi topik.

“Maba kedokteran itu sekarang jadi buah bibir mahasiswa semua fakultas, deh,” celetuk Didit sebulan setelah masa orientasi mahasiswa baru. Kurasa dia berkata begitu bukan mau mengeluhkan, lebih ke arah ikut memfenomenalkan sosok Galuh yang tinggi semampai dan badan sintal. Massa depan dan massa belakangnya sangat menggiurkan.

“Bahkan Ken si ketua BEM mulai goyah.” Didit melanjutkan obrolan yang dibukanya sambil mengiringi langkahku menuju studio siaran fakultas.

“Berarti dia laki beneran, Bro.”

Ken memang terkenal sejak menjadi Ketua BEM. Parasnya yang tampan dengan hidung mancung maksimum, disempurnakan dengan bentuk tubuh berotot. Wajar kalau Ken menjadi idola kaum hawa kampus, apalagi track record yang belum terpecahkan sampai semester lima ini. Belum pernah takhluk dengan cewek, meski menjadi sosok idaman semua cewek. Mungkin ini yang membuat isu Ken mulai digoyahkan oleh Galuh si maba cantik dibesar-besarkan oleh cerita Didit.

“Yang nggak laki itu lo, Ci. Semua pada berlomba-lomba buat dapatin perhatian tu cewek, lo malah ngumpet di mari mulu.” Didit menunjuk pintu studio siaran yang masih tertutup rapat. Seolah-olah menuding ruangan kedap suara itu sudah mengebiri kejantananku.

“Buat apa ikutan lomba yang pemenangnya sudah ketebak. Apalagi lomba yang lo maksud nggak menyediakan ruang buat juara kedua atau ketiga. Sia-sia!”

“Setidaknya mencoba, Bro. Galuh itu—“

“Eh, Dit. Lo dicari Bu Gotik, tuh!” Ken datang memotong perkataan Didit. Bukan cuma pakai nama Bu Zaskia, ketua jurusan kami, yang kemudian dijuluki Gotik sebab bodinya aduhai. Melainkan seseorang yang berdiri di belakang Ken sambil saling menggenggam tangan. Kalau saja Ken menggandeng tangan kokoh seperti miliknya, mataku dan mata Didit nggak akan terpaku. Tapi ini beda, dia makhluk berbulu mata lentik yang tiap kali terpejam, matahari ikut terbenam di sana.

Lekas aku sadarkan diri. Melihat makhluk Tuhan paling seksi kayak lagu Mulan Jamila nggak baik buat iman dan “imranku”. Tapi Didit masih termakan durasi oleh keterpanaannya. Bukan cuma mata yang lupa berkedip, mulutnya pun turut lupa mengatup.

“Ci, lo pegang kunci studio, 'kan?” Ken nggak mengindahkan perubahan Didit yang mematung, dia memilih mendekatiku berikut dengan orang yang digenggam tangannya. Hingga dengan radius tidak sampai dua meter itu, aku bisa menghidu parfumnya yang beraroma vanila. Tanpa menjawab, kulemparkan kunci yang beratnya sejak tadi membebani ransel hitamku.

“Gue pinjem, yah. Cewek gue mau tahu isi studio.”

“Cewek?” Pertanyaan ini nggak keluar dari mulutku, meski aku hampir sama terperangahnya seperti mereka yang tadinya berseliweran, berhenti cuma buat mengucapkan satu kata itu berikut intonasi tanya. Nggak cuma Didit yang auranya berubah nestapa, pun cewek-cewek yang kebetulan mendengar turut retak hatinya. Andai saja ada alat pendeteksi suara hati, mungkin keadaan saat itu berlatarkan musik bunyi keretek dari beberapa hati yang mendamba.

Ken bersama Galuh yang sudah diakui sebagai pacar, nggak menghiraukan aksi patah hati massal itu. Mereka melenggang menuju studio sembari mengembangkan senyum semringah.

Baru saja kutarik tali ransel, Ken sudah melongokan kepala dari balik pintu studio. “Ci, lo bisa bantu gue ngenalin beberapa alat ke Galuh?” tanyanya. Aku memang penanggung jawab atas studio itu, tapi aku juga penanggung jawab penuh atas kelakianku.

“Sori, Ken. Gue ada urusan ke Bu Gotik,” elakku sambil menarik paksa Didit. Setidaknya dengan begini aku bukan saja menyelamatkan kebegoan Didit, juga menyelamatkan diri sendiri dari jebakan obat nyamuk.

Itu kali pertama aku bertatapan langsung sama Galuh, sekaligus perkenalan singkat lewat Ken. Setidaknya Galuh sudah mendengar kalau aku biasa dipanggil Onci oleh kawan-kawan, meski aku nggak berharap banyak Galuh bisa mengingat nama singkat itu. Selanjutnya Ken dan Galuh beberapa kali menjadikan studio sarang aksi pacaran mereka. Mungkin berduaan di gazebo, atau di kantin dianggap merusak citra Ken yang terkenal perfeksionis dalam segala hal. Termasuk kepemimpinannya.

Keadaan seperti itu memaksaku kerap mendengar diam-diam apa yang mereka obrolkan, karena aku penanggung jawab studio yang mau tak mau harus sering memastikan alat-alat di dalamnya berfungsi selaiknya. Dari yang kucuri dengar, Galuh punya keinginan masuk jurusan broadcast kayak aku sama Ken. Tapi, orang tuanya nggak mengizinkan, malah mengarahkan ke kedokteran. Mungkin ini alasan Galuh mau jadi pacar Ken dulu, ketimbang melirikku sebagai lelaki.

“Cuma Onci yang nggak dianggap parasit sama Ken. Buktinya, cuma dia yang dibolehin masuk studio pas Ken sama Galuh di dalam,” kata Fajar suatu ketika Ken memblokade studio. Dia duduk di kantin bareng Didit dan Yusra.

“Ya iyalah, Onci bukan ancaman. Galuh nggak mungkin berpaling ke Onci yang cungkring kayak itu.” Yusra menimpali. Ternyata perbincangan tentang Ken yang berpacaran dengan Galuh turut menyeret namaku. Padahal aku nggak punya peran di dalamnya, tapi kerap menjadi sumber keirian bagi mereka yang merasa hatinya dipatahkan.

“Nggak juga. Onci, kan, penanggungjawabnya. Dia yang paling paham cara mengoperasikan alat-alat di dalam,” bela Didit saat itu, yang membuatku merasa beruntung mempunyai teman seperti dia.

Cuma, perbincangan mereka nggak bisa dilestarikan. Aku sebagai salah satu lakon harus memangkas atau menumbangkan sekaligus. Karena itu, aku mundur dari studio, dan jarang ikut kegiatan pertelevisian di sana kecuali ada tugas. Memang tidak setiap hari Galuh dan Ken ke studio, mengingat kuliah Galuh sangat padat. Kedokteran, Bro, jelas padatlah. Bahkan sering kali aku lihat Galuh baca buku yang tebalnya hampir setara dengan kitab Munjid*. Oke, aku selalu hiperbol. Sejujurnya nggak tebal-tebal amat, tapi buat aku yang berotak pas-pasan cukup mengerikan. Apalagi isinya.

Mendengarkan perkataan mereka aku terpacu untuk menata hidup yang “mundur enggan, maju tak berani” ini. Apalagi berdiam lama-lama dekat Galuh sempat menjatuhkan rasionalku, dan menyemai khayalan tinggi. Berkhayal seandainya Galuh putus dari Ken, maukah dia jadi pacarku?

Ah, khayalan muhal.

Tapi Tuhan mungkin mengasihiku, dua tahun lalu Dia mengirim Galuh ke acara Ons karena novel perdananya menjadi paling laris versi toko buku nasional.

“Selamat datang. Silakan tekan tombol tiket untuk....” Suara di pintu parkir otomatis menyentakku ke masa kini. Seperti memecut supaya berhenti dari memikirkan Galuh di masa lalu. Toh, sebentar lagi dia bakal resmi kupinang.
Setelah berhasil memarkirkan motor hasil tukar pakai, aku bergegas meninggalkan parkiran menuju lantai satu tempat Galuh menunggu. Mataku sudah kadung pengin melihat rambut legam dan tebalnya, terutama alis yang jaraknya berdekatan. Memberi kesan seperti bertautan antar satu dengan yang lainnya.

“Sudah sampai?” tanya Galuh begitu kuhubungi via seluler.

“Sudah. Aku di eskalator menuju lokasi. Kamu sebelah mana?”

“Hai....” Galuh melambaikan tangan dari arah kanan begitu aku berhasil menjejaki lantai satu.

Langsung kuangsurkan lenganku yang membentuk siku sembilan puluh derajat, sebagai kode yang dipahami Galuh dengan mengaitkan tangan di sana. Berjalan seperti pasangan pengantin. Begini saja sudah merasa menyempurnakan setengah agamaku, seperti kata ustaz di pesantren dulu.

Menikah itu menyempurnakan setengah agama, setengahnya lagi bertakwalah kepada Allah. Memang hadits yang menerangkan ini menuai perbedaan pendapat mengenai keabsahannya, tapi melihat dua hal yang mengendalikan syahwat manusia, yaitu : perut dan kemaluan. Maka, sebagian menyimpulkan bahwa menikah adalah solusi untuk mengendalikan nafsu dari kemaluan. Saya rasa tidak berlebihan jika mengatakan menikah itu penyempurna sebagian agama**.

“Kita duduk di sini saja, ya.” Galuh memecah ingatanku tentang nasihat guru di zaman menjadi santri dulu. Meski ujung-ujungnya aku dikeluarkan karena kebadungan yang tak terkendali.

“Boleh.” Kusetujui pilihan tempat duduk Galuh di ruang indoor ketimbang outdoor yang tampak lebih luas dan romantis. Mungkin karena dia nggak suka dengan asap-asap rokok yang mengepul dari mereka yang memilih tempat di luar.

“Mau makan apa?”

“Aku ngikut pilihanmu, Luh. Kan, kamu yang paling tahu makanan enak.” Galuh tersenyum dengan pujian sederhanaku sebelum menekuri buku menu di tangannya. Beberapa saat kemudian mengangkat ke atas, memberi sinyal kepada pelayan yang datang dengan membawa kertas dan bolpoin.

“Mas, saya mau nasi goreng kambing satu, capcai goreng satu, dan cream soup, terus es teh dua.”

“Kok, cuma es teh, Luh?” protesku begitu mendengar Galuh menyebut es teh sebagai minuman pilihan.

“Oh, ndak mau? Atau mau pilih yang lain?”

“Bukan. Tapi, kamu nggak apa-apa cuma minum es teh?”

“Kamu lupa, ya? Kan, aku es teh forever.” Galuh menyunggingkan senyum yang menusuk-nusuk ke relung terdalam. Seketika membuatku teringat akan tujuan utama malam ini.

Perlahan aku melonggarkan kancing kemeja, tanpa mengundang kecurigaan Galuh. Kutarik kursi agar lebih dekat ke meja, supaya kata-kataku tidak mengganggu pengunjung lain. Biar cukup aku dan Galuh yang dengar, dengan saksi Tuhan beserta malaikat yang mencatatnya.

“Luh, sebenarnya aku....” Terpaksa kugantungkan kalimat itu, tanganku yang blusukan ke celah saku celana gagal menemukan benda kotak yang tadi sempat memamerkan aksi di depan Mbak Rani. Begitu pun dengan saku kemeja, nggak ada.

“Kamu kenapa, Qi?” tanya Galuh. Mungkin dia membaca kepanikan lewat mimik mukaku.

Demi menutupi gagal memberikan cincin keramat yang sudah dibeli dari sebulan lalu, kuraih tangan Galuh yang bertengger di atas meja kayu dan tersenyum sebisanya menawan.

“Aku mau antar kamu pulang,” kataku tiba-tiba yang sempat membuat Galuh berhenti napas sebentar.

“Kan, memang biasanya begitu,” timpal Galuh yang merasa aneh dengan gayaku saat ini, itu terbaca dari garis-garis mukanya.

Ya Allah, kenapa rencana kepahlawananku nggak bisa direalisasikan? Kenapa pula bisa kutinggalkan kotak beledu itu di mobil yang sekarang masih melata di jalan bersama sopir transportasi online.







*) Belum pada tahu apa itu Kitab Munjid? Itu kamus bahasa Arab yang tebalnya setinggi jarak jempol dan jari telunjuk orang dewasa ketika direntangkan. Aku mengenalnya waktu jadi santri dulu.

**) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Baihaqi 1916.





Jakarta, 08102018
Pukul 18.58 WIB
Oleh WardaH87

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top