Sinyal-sinyal Cinta
Malikha dan Safa berjalan keluar dari musholah santri putri setelah shalat ashar berjamaah. Sejak kepulangannya dari Jakarta, Safa lebih banyak menghabiskan waktunya di pondok. Sudah sepekan ia pulang, tapi ia masih merahasiakan alasan yang membuatnya pulang secara mendadak. Keluarga Safa pun tak merasa curiga dengan kepulangan Safa karena mereka pikir, Safa pulang ke Bandung karena cuti. Malikha sempat curiga pada Safa, tapi Safa memberi alasan yang tepat dan berusaha menutupi semuanya.
"Jo, kapan kamu mau hubungi keluargamu?" tanya Safa membuka obrolan pada Malikha.
Malikha menggeleng. "Untuk apa aku menghubungi mereka? Toh, mereka sudah tidak menganggap aku anak mereka lagi."
"Bagaimanapun mereka orang tuamu, Jo." Safa mengingatkan.
"Aku nggak tau harus ngomong gimana sama mereka, Fa. Kata-kata mereka yang terakhir seolah menusuk hatiku. Bekas tusukkan itu masih terasa di hatiku." Malikha terlihat sedih.
Malikha kembali mengingat kejadian di mana ia harus memilih antara tinggal di rumah orang tuanya dan memeluk agama sebelumnya, atau memilih pergi dari rumah dan memeluk agama Islam. Dan inilah pilihannya, memilih agama Islam sebagai jalan hidupnya dan meninggalkan rumah orang tuanya.
Safa menghentikan langkah lalu menatap Malikha. "Setidaknya kamu tau kabar mereka baik-baik saja. Dengan kamu memeluk Islam, bukan berarti kamu melupakan orang tuamu meski mereka non muslim. Kamu masih wajib menghormati mereka. Kamu masih punya tanggung jawab untuk mendoakan mereka. Dan kamu harus tau keadaan mereka."
Malikha hanya mengangguk.
"Hp kamu masih ada kan?"
"Iya. Tapi sejak aku di sini tak pernah kunyalakan karena perintah Abi. Aku nggak tau nomorku masih aktif atau nggak." Malikha kembali berjalan dan Safa pun mengikutinya.
Walaupun Malikha sudah memeluk Islam, Safa tak ingin membuat Malikha memutuskan hubungan antara Malikha dengan orang tuanya. Safa ingin agar Malikha tetap menghormati orang tuanya walaupun mereka tak menganggap Malikha sebagai anak mereka lagi.
"Kak Safa!"
Safa dan Malikha menoleh bersamaan ketika terdengar seruan seseorang yang mereka kenal memanggil Safa.
Sofi berjalan cepat menghampiri Safa dan Malikha.
"Ada apa, Sof?" tanya Safa ketika Sofi tiba didepannya.
"Di panggil Kakak," kata Sofi.
"Memang ada apa?"
"Sofi nggak tau. Tadi pesan dari Kak Akbar cuma suruh Kak Safa menemui beliau di rumah."
Safa mengangguk. Jika Sofi tidak menyebutkan alasan, berarti Akbar ingin bicara serius dengannya.
"Jo, aku pulang dulu yah." Safa berpamitan pada Malikha.
Malikha pun hanya mengangguk.
"Assalamu'alaikum." Safa berlalu dari tempat itu.
"Wa'alaikumussalam." Malikha menatap kepergian Safa.
Sofi pun berlalu dari tempat itu setelah pamit pada Malika untuk ke kelas. Sedangkan Malikha berlalu menuju kamar santri.
Safa berjalan cepat menuju rumah untuk memenuhi panggilan kakaknya. Ia tak mau menerka-nerka tujuan Akbar memanggilnya. Ia mengucapkan salam ketika memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam." Terdengar jawaban salam dari ruang tengah.
Safa segera masuk ke dalam menuju ruang tengah. Dilihatnya Akbar sedang terduduk di single sofa tanpa ekspresi. Safa pun duduk di sofa yang tak jauh dari Akbar.
"Ada apa Kakak memanggil Safa?" tanya Safa memulai obrolan.
Akbar meraih sebuah amplop dari saku celananya, lalu meletakkannya di atas meja. "Jelaskan pada Kakak, apa maksud surat ini?"
Surat?
Safa meraih surat itu ragu. Ditatapnya bagian depan surat itu. Seketika mata Safa memanas.
Ya Allah, dari mana Kak Akbar dapat surat ini? Apa ini petunjuk-Mu agar aku mengakhiri semua ini? Safa masih menatap surat yang sudah terbuka itu.
"Apa yang menjadi alasan beasiswamu dicabut? Tinggal satu smester lagi kamu wisuda, tapi kenapa beasiswamu dicabut? Kakak nggak yakin kamu melakukan kesalahan karena Kakak tau kamu, Fa. Tapi apa alasan yang membuat kamu harus dikeluarkan dari kampus?" Akbar terlihat bingung.
Safa hanya menunduk dan terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa pada Akbar mengenai pencabutan beasiswanya.
Mendapati adiknya terdiam, Akbar menatap Safa. "Kenapa diam?" tanya Akbar.
"Maafin Safa, Kak. Safa sudah bikin Abi, Umi, Kakak, dan lainnya kecewa. Tapi ini keputusan terbaik yang harus Safa ambil." Safa masih menunduk.
"Apa alasan yang membuatmu harus memilih keputusan seperti ini? Bukankah ini keinginanmu untuk melanjutkan kuliah?"
"Apa Abi dan Umi sudah tau masalah ini?" tanya Safa sebelum membalas ucapan Akbar.
"Belum."
Safa menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan agar hatinya tetap tenang. Bissmillah. "Jika Kak Akbar berada di posisi Safa, apa yang akan Kak Akbar lakukan? Melepas beasiswa atau menolong saudara kita yang sedang berjuang untuk menjadi muslim?" Safa menatap Akbar.
Akbar mengernyitkan dahi. Ia tak paham dengan ucapan adiknya. "Jangan membuat Kakak semakin bingung, Fa."
"Waktu itu orangtua Jodha menemui Safa. Mereka ingin agar Safa membujuk Jodha agar kembali pada agamanya yang dulu. Mereka menjanjikan Safa akan membiayai kuliah Safa di manapun Safa mau kalau Safa berhasil membujuk Jodha agar kembali ke agama yang di anut orang tuanya. Jika Safa tidak mau, maka mereka akan melaporkan Safa pada yayasan agar mencabut beasiswa Safa. Safa bingung, Kak. Safa nggak mungkin membiarkan Jodha kembali pada agama sebelumnya. Jika Kakak berada di posisi Safa, apa yang akan Kakak lakukan?" Safa tak mampu menahan air matanya.
Akbar hanya terdiam. Ternyata ada alasan tertentu di balik pengeluaran Safa dari kampusnya.
"Mungkin Safa sudah buat Kakak, Abi, dan Umi kecewa, tapi Safa nggak mau Allah kecewa dengan Safa hanya karena beasiswa. Apa keputusan Safa salah?" Safa terisak.
Hening. Hanya isakkan Safa yang terdengar.
"Nggak, Fa. Kalau Kakak di posisimu, Kakak pasti akan melakukan seperti yang kamu lakukan. Keputusanmu sudah benar dan Kakak bangga denganmu." Akbar menatap adiknya bangga. Bangga karena keputusan adiknya yang terbaik.
"Safa nggak mau Jodha tau masalah ini karena kalau dia tau, dia pasti akan merasa bersalah. Dia sudah mulai banyak perubahan. Dia sangat sungguh-sungguh belajar. Safa ingin dia fokus dengan hijrahnya."
"Insya Allah." Akbar memahami ucapan adiknya. "Kenapa kamu menyembunyikan masalah ini?" tanya Akbar selanjutnya.
"Karena Safa menunggu waktu yang tepat." Safa mengusap air matanya. "Dari mana Kakak dapat surat itu? Padahal Safa sudah menyimpannya rapi."
"Tadi setelah shalat zuhur Kakak pulang, dan nemu surat itu di depan pintu kamar kamu."
Safa hanya mengangguk. Mungkin surat itu jatuh dari bukunya dan semua ini sudah kehendak Allah.
"Jangan lama-lama sembunyiin masalah ini dari Abi dan Umi." Akbar mengingatkan.
"Insya Allah, nanti malam Safa bicara sama Abi dan Umi masalah ini. Kakak bantu Safa yah?" Safa menatap Akbar memohon.
"Insya Allah," sahut Akbar.
Safa pun merasa tenang karena sudah berbagi masalah dengan Akbar. Ia tak mungkin menyembunyikan masalah itu pada keluarganya. Tugas selanjutnya adalah mengatakan masalahnya pada abi dan uminya.
"Kalau Kakak boleh tau, apa pekerjaan orangtua Jodha sampai mereka bisa melaporkanmu ke pihak kampus?" tanya El pada Safa.
"Safa akan cerita, tapi Kakak jaga rahasia yah? Safa sudah janji nggak akan kasih tau siapa-siapa mengenai keluarga Jodha. Safa yakin kalau Kakak amanah."
Hanya gumaman yang Akbar berikan.
"Ayahnya Jodha pengusaha. Beliau pemilik salah perusahaan tekstil terbesar di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia saja, tapi cabangnya sudah sampai Singapore, Bangkok, dan Filipina. Itu yang baru Safa tau, nggak tau di mana lagi cabangnya," jelas Safa. "Katanya masih ada bisnis lain yang di pegang ayahnya Jodha, tapi Safa nggak tau pasti karena Safa memang nggak banyak nanya masalah bisnis ayahnya Jodha," imbuh Safa.
"Dia anak ke berapa?" Akbar terpancing dengan sosok Malikha.
Safa tersenyum karena mendapati kakaknya penasaran pada sosok Malikha. "Jodha anak kedua dan dia anak terakhir. Kakaknya masih kuliah di Mancester. Rencananya kalau Jodha lulus, dia mau lanjut kuliah ke Kanada, tapi Qodarullah, rencana Allah lebih indah dari rencana manusia."
Akbar terdiam. Baru kali ini ia merasa penasaran dengan seorang wanita. Sebelumnya, ia sama sekali enggan mengetahui masalah tentang wanita.
"Kakak tumben banget penasaran sama akhwat? Biasanya nggak pernah nanya detail masalah-"
"Itu hanya perasaan kamu saja," potong Akbar.
"Yakin? Jodha cantik loh Kak," goda Safa.
"Kecantikan seorang wanita terletak pada akhlaknya."
"Jodha sedang menata akhlaknya agar menjadi lebih baik."
Akbar menatap adiknya. "Kamu mau Kakak hukum?"
Safa tersenyum menggoda. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar. Sebelum ia masuk ke dalam, Safa menoleh pada Akbar. "Kak. Jodha juga mengagumi Kakak loh," goda Safa.
"Safa!!!"
Safa pun terkikik dan segera masuk ke dalam kamar sebelum kakaknya hilang kesabaran karena godaan darinya.
Safa tak pernah mendengar kakaknya membicarakan masalah wanita atau meminta dijodohkan oleh abinya dengan wanita yang sepaham dengannya. Akbar tidak menolak jika orang tuanya menjodohkan ia dengan wanita pilihan mereka, tapi Akbar lebih mantap jika calon istrinya adalah pilihannya sendiri. Selama ini ia tak mau menargetkan kriteria wanita seperti apa yang akan menjadi istrinya, tapi akhir-akhir ini ia mulai ingin mengetahui kriteria wanita yang akan menjadi calonnya.
Bagaimana takdir Allah saja mengenai jodohku, aku akan ikhlas menerima jodoh yang sudah Allah tentukan untukku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top