Pondok Pesantren

"Ayo Malikha." Sofi menarik tangan Malikha agar ikut dengannya menuju asrama santriwati.

Malikha pun terpaksa mengikuti langkah Sofi, memasuki asrama santriwati.

Pak Wahyu menyarankan agar Malikha tinggal di asrama karena takut timbul fitnah. Terlebih, ada alasan lain yang membuat Pak Wahyu menyuruh Malikha tinggal di pondok.

Seketika Sofi dan Malikha menjadi pusat perhatian santriwati yang sedang di luar kelas karena jam pelajaran belum tiba.

"Ini asrama pondok putri. Nanti aku kenalkan sama santriwati di sini." Sofi masih berjalan menuju sebuah tempat.

Malikha hanya mengangguk. "Kita mau ke mana?" tanya Malikha.

Sofi hanya tersenyum tanpa membalas ucapan Malikha. Ia tak ingin menyebutkan tempat yang akan mereka datangi.

Sofi kembali tersenyum ketika tiba di ruangan yang ia tuju. Malikha pun bingung melihat Sofi hanya tersenyum ketik ia bertanya.

"Ayo kita masuk." Sofi kembali menarik tangan Malikha.

Malikha tak dapat menolak karena Sofi menarik tangannya.

"Assalamu'alaikum," sapa Sofi pada dua wanita berjilbab panjang yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Malikha menatapi ruangan yang kini di pijaknya.

Dapur? Apa aku akan ditugaskan di sini? Aku tak banyak tahu mengenai dapur. Batin Malikha.

"Kak Ikha, ini tempat belajar Kak Ikha yang pertama," bisik Sofi.

Ya Tuhan, kenapa aku harus belajar pertama dari tempat ini? Apa yang harus kupelajari dari tempat ini mengenai Islam?

"Kak Ikha." Sofi membuyarkan pikiran Malikha.

"Iya." Malikha spontan menoleh ke arah Sofi.

"Ini Kak Rahma dan Kak Hani. Mereka bagian hikmad di pondok ini. Kakak akan belajar dengan Kak Rahma dan Kak Hani di sini. Jangan ragu untuk bertanya karena mereka sangat baik." Sofi mengenalkan petugas hikmad pada Malikha.

Apa itu hi-kmad? Apa juru masak? Tapi mereka masih terlihat muda, setara denganku?

"Kak Ikha, kok diem saja? Ayo kenalan sama sama mereka." Sofi kembali membuyarkan pikiran Malikha.

Malikha terpaksa senyum. "Saya Malikha dari Jakarta." Malikha mengenalkan dirinya pada dua wanita dihadapannya.

Rahma dan Hani mengulurkan tangan dan di jabat Malikha bergantian sambil memperkenalkan diri.

"Kak Rahma, Sofi nitip Kak Ikha, yah. Sofi mau masuk kelas," kata Sofi pada Rahma.

"Iya, Mbak Sofi." Rahma tersenyum ramah pada Sofi.

Malikha masih bingung dengan ucapan Rahma. Kenapa Rahma memanggil Sofi dengan sebutan 'Mbak', sedangkan Rahma lebih tua dari Sofi?

"Kak Ikha, aku tinggal dulu yah. Kalau ada yang di pertanyakan, tanya saja sama Kak Rahma atau Kak Hani," bisik Sofi.

Malikha hanya mengangguk.

"Assalamu'alaikum." Sofi berlalu dari ruangan itu.

"Wa'alaikumussalam." Malikha menjawab salam Sofi.

Malikha merasa bingung karena ia harus beradaptasi di tempat itu. Terutama tempat yang ia kini pijak, dapur. Di rumah tak pernah ia sekali menyentuh alat dapur. Semua pekerjaan dapur dilakukan oleh pembantu. Tapi kini semua berbeda. Ia harus mandiri dan mulai tidak mengharapkan apa pun pada orang tuanya. Inilah jalan yang ia pilih. Jalan menjadi seorang muslim.

Malikha mulai mengerjakan tugas yang diberikan padanya. Memotong sayur-sayuran untuk di masak. Sesekali ia menghela napas karena ia harus belajar sabar di tempat itu.

"Ra, katanya Gus Akbar mau pulang, yah?"

Malikha hanya mendengar obrolan Rahma dan Hani.

"Beneran?" tanya Rahma serius.

"Iya. Aku dengar dari santri semalam."

"Wah, bakal heboh pondok santriwati."

Siapa Gus Akbar? Apa dia Ustadz di pondok ini? Tanya Malikha dalam hati.

Malikha menghampiri Rahma dan Hani karena tugasnya sudah selesai. "Apa yang harus kukerjakan lagi?" tanya Malikha ketika tiba di hadapan Rahma dan Hani yang sedang mengupas bawang.

"Kamu bantu Rahma saja, aku mau racik bumbu," kata Hani pada Malikha.

Malikha menggigit bibir bawahnya karena ia harus siap-siap mengeluarkan air mata. Ia pun tak bisa menolak, menerima perintah dari petugas hikmad.

"Sudah lama Mbak Rahma di sini?" tanya Malikha memberanikan diri.

"Sudah satu tahun, Teh," sahut Rahma.

"Jangan panggil 'Teh'. Panggil 'Ikha' saja. Kita sepertinya seumuran. Berapa umurmu?"

"Aku dua puluh lima." Rahma tersenyum.

Malikha pun tersenyum. "Kita selisih satu tahun, lebih tua kamu."

"Iya, kah?" tanya Rahma tak percaya.

Malikha mengangguk. Mungkin karena Malikha terlihat tinggi dan berwajah blasteran.

"Apa yang bikin kamu masuk ke pondok ini dan menjadi petugas hikmad?" Malikha mulai merasa nyaman dengan Rahma.

"Dari dulu aku pingin masuk pondok, tapi Ibu sama Bapak enggak punya uang buat biayain aku masuk pondok. Aku memberanikan diri menemui Umi Qomariyah, alhamdulillah Umi izinkan aku masuk pondok ini dan aku ditempatkan di bagian hikmad. Aku awalnya di pondok pusat, tapi Pak Kyai mindahin aku dari pondok pusat ke sini. Aku bersyukur bisa masuk ke sini. Enggak masalah aku jadi petugas hikmad. Aku sadar diri karena aku enggak seperti lainnya, bisa bayar bulanan pondok dan belajar di kelas, tapi aku tetap bersyukur. Mungkin terlihat rendah, tapi di sini ladang pahala dan yang terutama aku banyak belajar." Rahma memaparkan kisahnya.

Rahma mengangguk. Kini ia paham, kenapa Pak Wahyu mengirimnya ke tempat ini. Pertama, Malikha tak bisa membayar uang bulanan. Kedua, hanya di bagian ini ia bisa belajar.

"Maaf sebelumnya. Kenapa kamu bisa di sini? Apa kamu saudara Pak Kyai atau Umi Qomariyah?" tanya Rahma.

Malikha menggeleng. "Aku sama sepertimu. Aku tidak bisa bayar uang bulanan. Aku datang ke Umi Qomariyah untuk bisa tinggal di sini. Dan aku datang ke sini ingin belajar. Ingin memperbaiki diri agar menjadi hamba yang lebih baik lagi." Malikha tersenyum.

Ia bukan tidak mampu, tapi ia ingin mengawali semuanya dari nol. Ia ingin menutupi jati dirinya yang lalu.

"Tapi ..." Rahma menggantungkan kalimatnya.

"Aku seperti orang luar?" Malikha mengusap air mata karena rasa perih yang ditimbulkan oleh bawang. "Ibuku orang Bali. Ayahku orang India." Malikha tersenyum.

"Kamu mualaf?" tebak Rahma. "Maaf," sesalnya karena keceplosan.

"Iya. Aku mualaf." Malikha kembali tersenyum.

"Assalamu'alaikum." Terdengar sebuah salam dari arah pintu.

"Wa'alaikumussalam." Malikha dan Rahma menoleh bersamaan.

Malikha tersenyum ketika mendapati Umi Qomariyah menghampiri mereka.

Rahma menundukkan kepala di depan Umi Qomariyah.

"Semuanya sudah siap?" tanya Umi.

"Bahan-bahan sudah siap Umi, tinggal di masak saja." Rahma menjawab pertanyaan Umi.

"Umi, ini bumbunya." Hani menyodorkan sebuah nampan berisi bumbu yang sudah dihaluskan.

"Hani, kamu bantu Rahma. Ikha nanti yang bantu Umi." Umi membagi tugas.

Rahma dan Hani berlalu dari hadapan Umi. Mereka mengerjakan tugas yang di tunjuk Umi. Sedangkan Malikha membantu Umi dan ia mendapat wejangan mengenai cara memasak dan hal lain mengenai dapur.

***

Malika merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang akan menjadi teman tidurnya. Ia benar-benar harus belajar sederhana dan selalu bersyukur karena kehidupannya kini berputar 180 derajat. Di sini ia akan benar-benar mandiri. Pekerjaan yang tak pernah ia sentuh di rumah, kini ia harus melakukannya semuanya di sini. Memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan lantai, dan hal lain mengenai pekerjaan rumah. Inilah cobaan yang harus ia hadapi menuju jalan terbaik. Menuju jalan yang Allah ridhoi.

"Eh, Gus Akbar sudah datang loh. Besok mulai ngajar di pondok putra. Semoga saja nanti Gus Akbar ngajar di pondok putri."

"Iya. Terakhir dia ngajar di sini pas aku kelas dua. Semoga nanti dia ngajar di kelas kita."

Baru saja Malikha akan terlelap tidur, tapi tidurnya terusik dengan suara santriwati yang sedang membicarakan orang yang sempat menjadi pertanyaan hatinya.

Malikha membuka mata, beranjak duduk dan menoleh ke arah Rahma. "Ra, kamu sudah tidur?" tanya Malikha.

Rahma hanya bergumam, matanya tertutup.

"Gus Akbar itu siapa sih?"

"Anaknya Pak Kyai."

"Pak Kyai itu siapa?"

Rahma membuka mata, bergegas duduk, menatap Malikha. "Jadi dari tadi kita ngobrol, kamu belum tau Pak Kyai?" tanya Rahma heran.

Malikha hanya menggeleng tak paham.

"Ya Allah, Ikha. Gus Akbar itu anaknya Pak Kyai. Pak Kyai itu suaminya Umi Qomariyah. Gus Akbar itu kakaknya Mbak Sofi. Paham?" Rahma menatap Malikha.

Malikha terdiam. Jadi Pak wahyu dan Umi pemilih pondok ini? Ya Allah, kenapa aku tak berpikir sampai ke situ? Jadi Safa ...

"Tidur Kha, nanti sore kamu sudah mulai belajar." Rahma membuyarkan lamunan Malikha.

Malika kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur lantai.

Ya Allah, aku malu sama Abi karena sudah enggak sopan sejak aku dirumahnya. Sesal Malikha dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top