d u a

Keinginan terakhir Rian sebelum meninggalkan dunia ialah menyantap panekuk lemon di Kafe Delight—kafe yang belakangan sering ia kunjungi. Maka usai meninggalkan sekolah secara diam-diam, Rian berjalan menuju sebuah kafe yang terletak di dekat halte bus. Segera, pemuda itu memasuki kafe, membuat suara lonceng yang lembut terdengar tatkala dirinya mendorong pintu kaca. Di sana sebuah panekuk lemon favoritnya dijajakan dengan harga yang terjangkau di dalam etalase.

Pelayan kafe tersenyum ramah dan mengucapkan selamat datang pada Rian. Suasana kafe tidak begitu ramai. Hanya ada tiga pelanggan yang sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Berikutnya Rian berjalan ke arah si pelayan, bersiap menyebutkan pesanannya. Begitu selesai menuliskan panekuk lemon dan caramel frappucino sebagai orderan Rian, gadis berapron cokelat tanah itu pun menyebutkan total harga yang harus dibayar.

Saat itulah air muka Rian mendadak berubah menjadi panik dan malu di waktu bersamaan. Ah ... sial. Mengapa ia harus langsung pergi meninggalkan tasnya di kelas dan bersikap sok bodoh amat saat masih di sekolah tadi? Kini Rian menjadi seorang pelanggan tak tahu diri yang datang ke kafe tanpa membawa sepeser pun uang.

Gadis di hadapan Rian mengangkat alis. Masih dengan senyuman ramah ia bertanya, "Kenapa, Kak?"

Rian terperanjat. Ia gelagapan saat menjawab, "Ma-maaf, Mbak. Saya lupa bawa dompet."

Hening beberapa saat.

Gadis tersebut hanya memandang Rian lurus tanpa mengucapkan apa-apa selama setengah menit membuat pemuda yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu tambah kikuk dan malu. Dengan sisa-sisa harga diri yang ia punya, Rian memutuskan untuk menunduk takzim. "Maaf, Mbak. Saya mampir lain waktu aja," ucapnya berdalih.

Namun, alih-alih membiarkan pelanggan tanpa sepeser uang ini pergi dari kafe, gadis berapron cokelat tanah itu malah mencegat Rian seraya berkata, "Pesanannya ini aja kan, Kak? Kakak silakan duduk dulu. Biar saya siapkan orderannya."

"Eh? Tapi saya gak punya uang."

Gadis dengan poni menyentuh alis itu hanya tersenyum—kali ini lebih lebar dan tulus dibanding senyuman yang ia tampilkan ketika Rian memasuki kafe beberapa waktu yang lalu. "Gak masalah. Silakan duduk, Kak. Biar saya yang bayarin pesanannya."

***

Rian mengetuk-ngetuk jari gugup. Sesekali ia melirik pelayan kafe yang tadi berbicara padanya. Gadis itu tampak sibuk mempersiapkan pesanan Rian. Ketika mata mereka tak sengaja bertemu, si gadis hanya melemparkan senyum. Semakin membuat Rian malu.

Apa benar tidak apa-apa jika dia duduk di kafe sambil makan makanan gratis yang dibelikan oleh pekerja kafe ini sendiri?

Lamunan Rian terhenti. Iris kelabunya menatap gadis yang membawa sepiring panekuk lemon bertabur gula putih dan segelas caramel frappucino yang menggugah selera menuju mejanya. Berdehem, laki-laki itu menatap tak enak. Namun, gadis berapron cokelat lagi-lagi hanya membalas dengan sunggingan manis.

"Silakan, Kak," ucapnya usai menata pesanan Rian di atas meja.

Dengan terbata, ucapan itu dibalas, "Ma-makasih, Mbak!" Rian mengaduh dalam hati. Suaranya barusan terdengar begitu lantang dan parau sampai-sampai tiga pelanggan kafe, yang entah sedang apa, spontan menengok heran.

Tawa renyah menyapa telinga Rian. Begitu ia menengadah, gadis di depannya terbahak dengan wajah merah. Rian tersenyum keki. Haruskah ia bunuh diri sekarang saja?

Seakan memaklumi tingkah Rian yang canggung, pelayan kafe itu menghentikan tawanya. "Sama-sama, Kak." Masih dengan lengkungan manis di bibir, gadis tersebut melanjutkan, "Saya sering loh lihat Kakak datang ke kafe dan selalu pesan menu yang sama," ucapnya merujuk pada panekuk Rian. "Mungkin Kakak gak ingat saya, tapi saya senang akhirnya bisa bicara sama pelanggan setianya kafe ini." Rian terdiam. Lebih tepatnya ia terkejut mendengar perkataan yang tak pernah ia sangka akan keluar dari mulut orang asing yang baru ia sadari eksistensinya hari ini.

"Saya lihat kayaknya Kakak ada masalah ya?" Rian menunduk, berusaha menyembunyikan luka di bibirnya meskipun gadis tersebut telah melihatnya sedari tadi. "Saya harap untuk sekarang Kakak lupain masalahnya sebentar sambil makan panekuk lemonnya dulu. Biar nanti Kakak bisa kembali isi semangatnya lagi."

Pemuda itu tak berkutik. Tatapannya terkunci dalam mata cokelat terang milik gadis yang bahkan ia tidak tahu namanya ini. "Makasih...." Rian menelan ludah saat tenggorokannya mendadak serak.

Gadis itu mengangguk dengan bibir yang merekah ramah. Lantas ia pun berjalan menjauh dari meja pemuda beriris kelabu tersebut. Kembali menyapa pelanggan yang baru saja memasuki kafe. Meninggalkan Rian yang bergeming di tempatnya seraya menatap panekuk lemon di atas meja dalam waktu yang lama.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top