Tujuan Menikah
Bahagianya tak dapat ditutupi saat Al menerima balasan surat dari Lili yang dititipkan oleh Rizky. Meski tanpa benda spesial, tetapi bagi Al dengan kedatangan surat itu bersama kotak nasi bewarna biru, sudah sangat cukup membuatnya senang.
Al yang kini sedang duduk sendiri di bawah pohon rambutan, di taman rumah sakit, dengan senyum tipis, perlahan membuka kertas putih bergaris biru dan bertinta hitam, tulisan tangan Lili tersebut.
Asalamualaikum, Mas Al
Izinkan saya menyapamu seperti itu. Semoga dengan ini, kita dapat merasa lebih dekat dan nyaman.
Mas Al, syukron kado yang sangat bermanfaat ini. Afwan jika saya belum bisa membalasnya.
Saya merasa tersanjung dengan kejujuran Mas Al dalam tulisan kemarin. Syukron sudah memilih saya untuk taaruf. Namun, sebelum kita melanjutkan lebih jauh, saya mau bertanya satu hal. Afwan sebelumnya, jika pertanyaan saya ini kurang berkenan.
Apabila ada akhi lain yang juga ingin taaruf dengan saya, apakah Mas Al akan tetap bertahan atau mundur? Jika Mas Al berkenan, hari Minggu pagi tolong datang ke rumah.
Salam hangat,
Ily
Setelah membaca surat itu, entah mengapa perasaan Al menjadi tidak nyaman. Dia tampak berpikir sambil melipat kertas itu kembali.
"Ada apa Neng Ily memintaku datang? Apakah ada sesuatu?" gumam Al bingung. "Ah, sebaiknya nanti aku tanyakan saja sama Dokter Rizky," lanjut Al menyimpan surat itu di saku kemejanya.
Pandangannya beralih ke kotak nasi yang sedari tadi dipangku. Suasana hatinya sedikit membaik. Dia membuka kotak nasi tersebut. Makanan sederhana yang ditata rapi.
Hanya ada nasi putih, ayam goreng, tahu dan tempe, serta tumis kangkung. Al mengambil sendok yang tersedia di kotak tersebut. Setelah berdoa, dia tanpa ragu menyicip tumis kangkungnya. Senyum di bibir Al tak pudar. Dia menikmati makan siangnya.
***
Mendengar cerita tentang Al menjadi kebiasaan Lili hampir setiap hari. Rizky selalu berusaha menyampaikan apa pun yang Al tanyakan tentang Lili kepada keluarganya.
Seperti malam ini, pulang dari rumah sakit, Rizky mampir ke pesantren. Dia duduk bersama keluarganya di ruang tamu. Rizky bercerita banyak hal tentang Al di depan Kiai Dahlan, Fatimah, dan Lili.
"Jadi, Dokter Al pernah gagal taaruf?" tanya Lili, hatinya seperti ada rasa yang aneh. Apa dia cemburu?
"Iya, itu sudah lama, sebelum dia kuliah ke Kairo. Dari cerita Dokter Ilham, sih, gadis itu meninggal dalam kecelakaan sebelum taaruf dilaksanakan," jelas Rizky meluruskan informasi yang dia dapat.
"Innalillahi wa innailahi rojiun," ucap Lili, Fatimah, dan Kiai Dahlan hampir bersama.
"Terus Ily sendiri bagaimana menilai Dokter Al selama menggali informasi dari mamanya?" tanya Rizky menatap adiknya yang tampak berpikir sesuatu.
Sebelum menjawab, Lili melirik Fatimah dan Kiai Dahlan sambil tersenyum malu.
"Mmm ... dia baik."
"Cuma itu saja?" sahut Rizky cepat.
"Ah, Kakak jangan bikin aku malu." Lili menutup wajahnya yang memerah.
Semua terkikih melihat sikap malunya. Fatimah yang duduk di sebelah Lili, mengusap kepala dia sambil tersenyum lebar.
"Jadi, bagaimana, Ly? Kira-kira dalam kurun waktu selama proses saling mengenal lebih jauh ini, kamu sudah yakin? Jika memang sudah, Abah berharap kita bisa melanjutkan ke tahap lebih serius," ujar Kiai Dahlan tanpa ragu karena hatinya sudah sreg dengan Al.
"Bagaimana, Umi?" Lili meminta pendapat Fatimah.
"Kalau Umi apa kata Ily saja. Yang menjalani, kan, kamu," ujar Fatimah sangat lembut.
Beberapa menit Lili terdiam, dia berpikir dan menimbang keputusannya.
"Apakah ada yang mengganjal di hatimu, Ly?" tanya Rizky karena adiknya tak kunjung memberi jawaban.
"Enggak, Kak. Cuma Ily masih berat meninggalkan pesantren. Ily belum siap jauh dari Abah sama Umi." Mata Lili berkaca-kaca. Dia menatap Kiai Dahlan dan Fatimah bergantian.
Kiai Dahlan memahami kekhawatiran putrinya itu. Namun, dia merasa punya hak menasihati Lili.
"Di antara tujuan Allah syariatkan umat manusia menikah adalah agar mereka bisa hidup bersama dalam ketenangan. Allah berfirman, 'Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS. Rum: 21).' Karena itu, disyariatkan agar suami istri selalu tinggal bersama."
"Iya, Bah," jawab Lili mencoba meyakinkan hatinya kembali. "Mmm ... Bah, bagaimana dengan Gus Lutfi? Kata Abah, beliau akan datang lagi Minggu besok untuk mengajak Ily taaruf." Lili setengah menunduk, hatinya kalut.
"Kamu sendiri bagaimana? Apakah mau memberi kesempatan lagi kepada Gus Lutfi atau sudah mantap dengan Dokter Al?" tanya Kiai Dahlan.
"Insyaallah, Ily lebih mantap dengan Dokter Al, Bah. Tapi, bagaimana Ily menolaknya lagi, supaya dia tidak tersinggung?"
Kiai Dahlan ikut berpikir, pun dengan Rizky dan Fatimah. Penolakan pertama ternyata tak mematahkan usaha Lutfi untuk mengajak Lili taaruf. Lutfi merasa dirinya sudah pantas mendampingi Lili dan juga meneruskan pondok pesantren.
"Minggu pagi, Abah akan mengundang Dokter Al untuk datang ke rumah," ujar Kiai Dahlan. "Abah akan menguji mereka."
"Mmm ... sebenarnya, Ily sudah meminta Dokter Al datang besok Minggu, Bah," kata Lili sambil menunduk dan memelintir gamisnya, mengurangi rasa gerogi.
"Loh, Ily ketemu Dokter Al kapan?" tanya Fatimah terkejut karena dia pikir Lili diam-diam mencuri waktu ketemuan dengan Al.
"Bukan bertemu, Umi. Eee ... itu ... eee ...." Lili bingung menjelaskannya.
"Apa kamu sampaikan itu di surat untuknya tadi pagi?" Kali ini Rizky yang bertanya.
Tanpa bersuara, Lili mengangguk. Fatimah bernapas lega, ternyata Lili masih menjaga komitmen taarufnya.
"Tapi, nanti Abah tetap akan menghubunginya lagi. Supaya lebih jelas maksud dan tujuannya," timpal Kiai Dahlan.
"Iya, Bah," ujar Lili menyetujuinya.
***
Minggu pun tiba. Pukul 08.30 WIB, Al sudah sampai di pesantren, lebih tepatnya kediaman Kiai Dahlan. Tujuannya bukan untuk bertemu Lili, melainkan memenuhi undangan Kiai Dahlan. Selisih sepuluh menitan, Lutfi datang memakai baju serba putih yang menunjukan dia merupakan anak kiai atau lebih agamis.
Ketika Lutfi duduk di samping Al, dalam hatinya timbul rasa kurang percaya diri. Dia menyadari, bukanlah orang ahli agama seperti Lutfi yang jelas-jelas dari keluarga kiai, apalagi ayahnya masih memiliki hubungan cukup dekat dengan Kiai Dahlan. Dari segi penampilan saja terlihat jelas. Al hanya mengenakan kemeja biru lengan panjang yang disisingkan, celana kain hitam, dan berkacamata.
"Silakan saling berkenalan," ujar Kiai Dahlan yang duduk di hadapan mereka.
Lutfi dengan wajah terangkat dan sikapnya penuh percaya diri mengulurkan tangan lebih dulu.
"Gus Lutfi," kata Lutfi tersenyum lebar kepada Al.
Al menggenggam tangan Lutfi erat. "Al," ucapnya singkat, lalu mengalihkan pandangan ke Kiai Dahlan.
Di balik tembok pembatas, Fatimah dan Lili duduk sembari menyimak obrolan mereka yang berada di ruang tamu. Kiai Dahlan yang meminta, supaya Lili dapat mendengar langsung jawaban kedua pria muda yang ingin menjadikannya istri.
"Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini," kata Kiai Dahlan memandang Al yang selalu menunduk, berbeda dengan Lutfi. Dia terus menegakkan kepalanya. "Sebelum putri saya menentukan pilihannya, saya mau bertanya. Apa tujuan kalian ingin menikahi putri saya? Silakan Gus Lutfi lebih dulu menjawab," tukas Kiai Dahlan santun.
Meski beliau orang terpandang dan lebih tua dari mereka, Kiai Dahlan tetap menghormati keduanya. Tidak ada yang dibedakan.
"Kalau saya ingin menyempurnakan agama, Kiai. Derajat kita sama, Lili putri Kiai Dahlan, saya putra Kiai Faiz. Akan lebih lengkap jika kedua keturunan kiai mejadi satu. Ke depannya, kami bisa mengurus pondok pesantren ini," papar Lutfi membuat nyali Al semakin ciut.
Kenyataannya memang seperti itu. Biasanya anak pemilik pondok pesantren akan menikah dengan anak kerabat dari orang tuanya, supaya pengurusan pondok pesantren masih di tangan keluarga, tidak orang lain. Alasannya agar aturan atau budaya di pondok tidak berubah.
Kiai Dahlan hanya manggut-manggut. Dia beralih menatap Al. "Kalau Dokter Al bagaimana?"
Al masih menunduk, dia tak berani membalas pandangan Kiai Dahlan. Dengan cara seperti itu, Al menyegani Kiai Dahlan sebagai guru besar yang paham agama serta seorang ulama yang dihormati banyak orang.
"Mohon maaf sebelumnya, Pak Kiai. Saya ini hanyalah pemuda dari keluarga sederhana yang lancang ingin menikahi putri Pak Kiai. Saya ingin mengajak putri Pak Kiai mengejar surga bersama saya. Selain menyempurnakan ibadah, saya berharap Neng Ily sudi membangun rumah tangga bersama saya, juga dapat bermanfaat bagi orang lain. Insyaallah, saya ingin, kami menjadi jodoh until jannah."
Lili yang mendengar jawaban Al, langsung menarik kedua sudut bibirnya. Fatimah melihat seulas senyum manis di bibir putrinya. Raut wajah Lili berubah bahagia ketika Al menjawab, berbeda saat Lutfi yang menjawab, wajahnya datar. Dari hal itu saja, Fatimah sudah dapat menilai mana sosok pemuda yang akan Lili pilih.
"Baiklah, terima kasih atas jawabannya. Hanya itu saja yang ingin saya tanyakan. Untuk keputusannya, dua minggu lagi, ya?" ujar Kiai Dahlan bersikap santai.
"Kenapa tidak sekarang saja?" tanya Lutfi yang sudah percaya diri jika dialah pilihan Lili. Padahal belum tentu.
"Gus Lutfi, menikah bukanlah permainan yang bisa diputuskan satu atau dua detik. Perlu pemikiran yang sangat matang. Mohon untuk memberikan waktu kepada Ily, ya?" ujar Kiai Dahlan sangat halus kepada Lutfi.
Walau wajahnya tampak sedikit kesal, tetapi Lutfi akhirnya diam dan menyetujuinya. Dalam hati Al selalu gelisah. Ada ketakutan yang merayap. Keraguan tiba-tiba menyusup hingga sekujur tubuhnya.
Neng Ily, apakah saya pantas mendampingi kamu? batin Al dengan raut wajah sedih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top