Tragedi
"Iya, nanti Papa bantu kamu."
"Makasih, ya, Pa? Maaf kalau aku masih selalu merepotkan Papa."
"Jangan berpikir sepertri itu, Al. Papa punya kewajiban mengantarkan kamu sampai di tujuan yang kamu cita-citakan selama ini. Saat ini tujuanmu ingin menjadi dokter spesialis, kan? Mari kita wujudkan bersama!"
Al memeluk Ilham erat. Dia datang ke rumah orang tuanya untuk meminta bantuan Ilham menjadi pembimbingnya lagi, nanti saat dia sudah mulai kembali masuk kerja di rumah sakit sebagai dokter residen.
"Oh, iya, kamu sudah yakin mau ambil spesialis penyakit dalam?"
"Iya, Pa."
"Udah ngobrol sama Neng Ily, Al, soal ini?" tanya Azizah yang datang ke ruang keluarga sambil membawa penampan.
"Sudah, Ma. Alhamdulillah, dia sangat mendukung. Malah tadinya aku yang hampir menyerah. Tapi, Ily mengembalikan semangatku lagi," papar Al tampak senang setiap membicarakan istrinya.
"Alhamdulillah kalau begitu," sahut Ilham dan Azizah hampir bersamaan.
Setelah meletakkan dua gelas teh dan stoples kue kering di meja, Azizah duduk di sebelah Ilham. Mereka mengobrol banyak hal pagi itu, sembari Al menunggu Ily mengabarinya untuk dijemput setelah dia mengajar.
***
Wajah Al panik setengah mati. Bagaimana tidak, mendapat kabar Lili kecelakaan, sekejap itu juga membuat jantungnya seperti berhenti berdetak. Meski dia dokter, tetapi saat ini Al tidak bisa melakukan apa pun. Al hanya bisa duduk, menunggu operasinya selesai. Doa selalu dipanjatkan, rasa takut menjalar ke sekujur tubuhnya.
Tadi, saat dia tengah asyik mengobrol dengan orang tuanya, Al mendapat telepon dari ponsel Lili, tetapi suara pria yang berbicara, menyampaikan bahwa terjadi kecelakaan dan salah satu korbannya pemilik ponsel itu. Suara itu dari polisi yang berada di TKP.
"Al, minum dulu." Azizah menyodorkan cup berisi teh hangat yang baru saja dia beli di kantin rumah sakit.
"Terima kasih, Ma." Al menerimanya, lalu menyeruput sedikit.
Seperti tak dapat menelan apa pun, air yang dia minum seakan ingin kembali keluar. Pikirannya kacau, bahkan hatinya tak bisa tenang.
Singkat cerita, taksi yang Lili tumpangi ditabrak truk dari belakang yang mengalami rem blong. Taksi pun tak terkendali, dia menabrak tembok pagar pembatas pabrik. Kondisi Lili saat dievakuasi dalam keadaan terjepit jok. Kecelakaan itu cukup parah, tak hanya Lili yang Al pikirkan, tetapi juga janin yang istrinya kandung.
Fatimah dan Kiai Dahlan tak pernah putus mendoakan Lili. Mereka juga sangat terpukul saat mendengar berita tersebut.
"Gus Al, kita salat Magrib dulu yuk!" ajak Kiai Dahlan, bersiap beranjak dari tempat duduknya.
"Iya, Abah." Walaupun sangat berat meninggalkan tempat itu, tetapi Al harus ikut mertuanya salat berjamaah di masjid rumah sakit. "Umi, Ma, saya tinggal sebentar, ya?"
"Iya, Al. Tenangkan pikiran kamu," ucap Azizah mengelus lengan Al. Fatimah hanya mengangguk lemah.
Mata Fatimah sembap, hidungnya merah, air mata sesekali mengalir membasahi pipi. Azizah tak pernah jauh dari besannya itu, dia terus membimbing Fatimah untuk beristigfar.
Setelah berjamaah, Al kembali bersama Ilham dan Kiai Dahlan.
"Al, Dokter Kamal tadi mencarimu," ucap Rizky yang beberapa waktu lalu datang ke depan ruang operasi.
Lantaran harus menyelesaikan pekerjaannya, dia telat menunggui Lili operasi.
"Terus di mana beliau?"
"Masuk lagi ke ruang operasi. Sebentar lagi mungkin keluar."
Sambil menunggu, mereka semua duduk. Tak berapa lama dokter yang menangani Lili keluar. Bergegas Al mendekatinya. Mereka mengobrol sedikit menjauh dari depan pintu ruang operasi. Dari raut wajah, mereka tampak serius.
"Mereka ngobrolin apa?" tanya Fatimah gelisah sambil memperhatikan gerak-gerik dan raut wajah Al.
"Umi, tenang dulu." Rizky mengelus lengan uminya.
Terpaksa tindakan ini dilakukan demi menyelamatkan nyawa Lili. Benturan keras yang menyebabkan kandungan Lili keguguran, membuat Al dan keluarga sangat terpukul. Janin yang dikandung Lili meninggal, terpaksa harus dikeluarkan. Tak hanya sampai di situ kesedihan mereka, dokter memvonis Lili tidak dapat mengandung lagi karena rahimnya rusak, harus diangkat.
***
Pukul 20.00 WIB, Al baru sempat salat Isya. Dia lantas mengaji sambil menjaga istrinya yang belum siuman sejak operasi selesai pagi tadi. Keluarga yang lain pulang, Al menjaga Lili sendiri.
Sayup-sayup Lili mendengar suara merdu pria sedang mengaji. Seakan terpanggil, dia seperti kembali dari mimpi panjangnya. Lili perlahan membuka mata, mencari sumber suara. Bibir pucatnya sedikit tersenyum saat melihat suaminya membaca Al-Qur'an. Dia menunggu hingga Al selesai.
"Asalamualaikum," ucap Lili lirih, Al tetap bisa mendengarnya.
Bergegas Al menoleh. "Wa 'alaikumus-salam. Alhamdulillah," ujar Al membalas senyum tipis istrinya.
Al meletakkan Al-Qur'an di meja kaca satu set dengan sofa yang terletak di pojok ruang rawat itu. Tak lupa dia melipat sajadahnya. Setelah itu, Al mendekati Lili dan mencium keningnya.
"Habibi, aku haus," ucap Lili pelan.
Al mengambilkan air mineral dan diarahkan sedotan ke bibir Lili.
"Alhamdulillah, terima kasih," ucap Lili setelah melepas sedotannya.
Sejenak suasana menjadi hening, Lili meraba perutnya.
"Habibi ...." Lili menatap Al penuh arti.
Al tersenyum, lalu memeluk Lili. Tangis Lili pun pecah, rasa bersalah merasuki hatinya.
"Maafin aku." Lili memeluk lengan Al yang mendekapnya.
Sekuat tenaga Al menahan air mata agar tidak tumpah.
"Ssssst, sudah, sudah, jangan menangis lagi. Insyaallah dia akan menjadi tabungan kita di akhirat." Al mencium pucuk kepala Lili.
Tangisan Lili menyayat hati, sangat memilukan. Siapa yang mendengar, pasti dapat merasakan kesedihannya.
"Habibi, maaf." Lili terus berucap maaf di tengah isakannya.
Dia sangat terpukul dan merasa bersalah. Harusnya ini menjadi pelengkap kebahagiaan rumah tangga mereka. Namun, takdir berkata lain. Mereka harus merelakan yang sebenarnya sudah dinanti-nantikan.
"Istigfar, Sayang. Astagfirullah hal adzim." Al terus mengulang istigfar agar istrinya mengikuti.
Tangis Lili sedikit reda, dia mengikuti suaminya beristigfar. Lama-lama tangisnya mengecil, Al melihat Lili memejamkan matanya.
Sungguh berat sebenarnya Al menerima kenyataan ini. Kehilangan calon buah hati adalah hal yang sangat mengecewakan. Namun, Al tak patut menyesali, sebab itu sudah suratan takdir-Nya. Hanya ikhlas yang harus dia pupuk. Apalagi setelah ini Lili tidak dapat lagi mengandung karena rahimnya sudah diangkat. Bagaimana mereka akan mendapatkan keturunan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top