Tinggal Bersama Mertua

Seminggu lebih Lili tinggal di rumah mertuanya. Walaupun begitu, dia tidak pernah merasa kesepian meski ditinggal Al dinas.

"Mama kalau Papa dinas dua puluh empat jam, sendiri di rumah?" tanya Lili saat mereka sedang memasak untuk makan siang.

"Sudah biasa Mama ditinggal Papa begini. Makanya Mama cari kesibukan. Selain mengurus butik, Mama juga berusaha aktif menjadi pengurus paguyuban pengajian ibu-ibu di Rumah Sakit Harapan Sehat."

"Wah, Mama aktif, ya? Pasti banyak temannya."

"Alhamdulillah. Banyak teman, banyak rezeki. Nanti habis masak temani Mama, ya?"

"Ke mana, Ma?"

"Ke butik."

"Tapi, Ma ..."

Azizah langsung memasang wajah mengiba supaya Lili mau ikut dengannya.

"Iya, Ma. Ily ikut," ujar Lili sambil tersenyum manis.

"Terima kasih, ya, Neng. Nanti kita antar makan siang dulu ke rumah sakit, pulangnya mampir ke butik."

"Iya, Ma."

"Kamu tahu enggak, tumis kangkung sama ayam goreng itu makanan kesukaan Al loh."

"Oh, iya, Ma? Kok Ily baru tahu? Soalnya Mas Al enggak pernah bilang ke Ily. Apa pun masakan Ily, dia makan dan habiskan. Enggak pernah komplen."

"Memang begitu orangnya. Tidak pernah menolak makanan apa pun, asalkan bisa dimakan dan layak. Bagaimana pun rasanya, dia tidak pernah komplen. Al itu paling bisa menjaga perasaan orang, dia selalu hati-hati bicara dengan siapa pun."

"Iya, Ma. Itu salah satu yang Ily kagumi darinya. Tutur katanya lembut, selalu menjaga pandangannya, dan penyayang. Masyaallah."

"Neng, Mama boleh bertanya sesuatu?"

"Boleh, Ma. Tanya apa?" Lili yang tadi sedang mengiris bawang, berhenti sejenak, menoleh kepada Azizah yang sedang berdiri di depan kompor sedang menggoreng udang dan ayam.

"Maaf sebelumnya, Neng. Mama cuma penasaran saja. Apa yang membuat Neng Ily mantap memilih Al? Padahal kemarin, kan, Mama dengar dari cerita Al, ada putra kiai yang juga ingin melamar Neng Ily."

Dua sudut bibir Lili tertarik, membentuk seperti bulan sabit. Sambil melanjutkan pekerjaannya, dia menjawab, "Ma, sebenarnya Ily sudah melihat Mas Al sejak di Kairo. Saat itu teman Ily, Zulaikah namanya, juga ingin mengenalkan saya kepada Mas Al. Sempat dikasih fotonya, cuma waktu itu belum sempat dikenalkan secara langsung, urusah Ily di kampus sudah selesai. Kebetulan juga pesantren sedang membutuhkan pengajar. Jadi, Ily belum sempat tahu nama Mas Al, keburu balik ke Indonesia."

"Masyaallah, takdir itu luar biasa, ya, Neng? Mama seneng banget waktu Papa bilang, kalau Al mau taaruf sama kamu, Neng. Dulu Mama cuma bisa bermimpi, sekarang mimpi Mama jadi kenyataan."

"Ah, Mama bisa aja. Ily sama aja kok sama wanita lainnya."

"Beda dong, Neng. Mana berani kami mendekati keluarga kiai besar kalau tidak dibantu orang dalam. Mama dulu kalau lihat Neng Ily nemenin Kiai Dahlan mengisi pengajian, cuma bisa mengagumi dari jauh. Masyaallah, sekarang alhamdulillah jadi menantu." Tak dapat ditutupi rasa bahagia Azizah.

"Mama jangan seperti itu. Kita itu semua sama kok, Ma. Ily manusia biasa yang masih banyak dosa."

"Ya Allah, Neng, kamu itu sudah cantik, rendah hati, pintar, pokoknya Mama merasa dapat paket komplit."

"Mama bisa aja," ujar Lili senyum-senyum malu. "Oh, iya, Ma, ini sudah selesai ngiris bumbunya. Lili yang numis kangsung, ya, Ma?"

"Boleh, boleh, Neng. Sini di samping Mama."

Lili segera menyiapkan wajan untuk menumis. Sambil memasak, Lili dan Azizah mengobrol banyak hal. Kini Azizah tak merasa kesepian selama ditinggal Ilham dinas.

***

Azizah berjalan bersama Lili di koridor rumah sakit. Masing-masing menjinjing rantang berisi makan siang. Setiap Azizah berpapasan dengan orang-orang yang dikenal, dia tersenyum dan menyapa ramah.

"Neng, Mama ke ruang pratik Papa dulu, ya? Kamu tahu, kan, ruang dokter muda?" tanya Azizah saat sudah dekat dengan ruang pratik Ilham.

"Iya, Ma."

Padahal ini pertama kali Lili ke rumah sakit, tempat Al pratik. Dia belum tahu ruangan suaminya. Namun, Lili tak mau merepotkan mertuanya. Dia pikir bisa mencari ruangannya sendiri.

"Nanti kalau sudah, kita ketemu di lobi, ya, Neng?"

"Iya, Ma." Lili mengangguk sambil tersenyum simpul.

Sampai di depan pintu yang terdapat tulisan Dr. dr. Ilham Iqbal, Sp.B yang artinya Doktor Dokter Ilham Iqbal Spesialis Bedah Umum, Azizah mengetuk pintunya. setelah mendapat sahutan dari dalam, Azizah masuk.

Ilham telah menempuh jenjang doktoral S3 hingga mendapat gelar Dr. Lalu dia juga telah menempuh masa residensi dan mendapatkan surat izin praktik atau dengan kata lain telah menjadi profesional sehingga mendapat gelar dr. Gelar Sp.B didapat setelah dia menempuh jenjang spesialis bedah umum.

Perjalanan Al masih jauh jika ingin seperti papanya. Banyak hal yang harus Al lakukan untuk menjadi dokter spesialis. Dia harus selesaikan jenjang dokter umum dulu baru bisa mengambil jurusan spesialis. Tahap Al saat ini sedang praktik untuk mendapat esidensi dan surat izin praktik.

Saat Lili sedang tolah-toleh mencari ruang dokter muda, sebuah tangan memegang bahunya. Dengan cepat Lili menghindar dan membalikkan badan. Seorang pria tampan tersenyum padanya.

"Asalamualaikum, Neng," sapa pria itu.

"Wa 'alakumus-salam. Ih, Kak Rizky ngagetin aja. Aku pikir tadi siapa."

Rizky terkekeh kecil. "Maaf. Oh, iya, kamu mau cari suamimu, ya?"

"Iya, Kak. Mau bawain makan siang."

"Buat Kakak juga?" Rizky sengaja menggoda adiknya, hingga Lili kelimpungan.

"Maaf, Ily cuma bawa satu rantang, Kak. Ily ke sini sama Mama, kebetulan beliau juga bawain makan siang buat Papa. Kakak sudah makan?"

"Alhamdulillah, sudah. Kakak cuma bercanda." Rizky mengelus kepala Lili. "Ayo, Kakak juga mau ke ruang koas, sekalian aja. Dokter Al kayaknya sudah selesai tugas deh. Semoga di sana."

Lili mengangguk dan mengikuti Rizky. Sampai di ruang koas, Lili bingung karena banyak orang, cewek dan cowok campur menjadi satu. Dia menunduk berjalan di belakang Rizky.

"Dokter Al, ada yang mencari," seru Rizky ketika dia sampai di samping meja paling pojok di ruangan itu.

Al sedang duduk sendiri sambil membaca buku, padahal teman-temannya yang lain menggerombol, ada yang sedang merumpi, bercanda, atau sekadar bercerita. Rizky menggeser tubuhnya, Al tercengang mendapati istrinya yang menunduk sambil menjinjing rantang. Semua orang di ruang itu melihat ke arah Lili. Ada yang memberengut penasaran dengan Lili, tetapi yang sudah tahu dan sering melihat tausiah Lili, justru tersenyum sumringah dan kagum.

"Habibti, ke sini sama siapa?" tanya Al berdiri, lantas menuntun Lili agar duduk di kursi yang tadi dia duduki.

"Sama Mama. Aku bawain makan siang," kata Lili meletakkan rantangnya di meja. "Ini aku sama Mama yang masak."

Bibir Al tersenyum sangat manis. "Makasih, ya, kamu luangkan waktu ke sini buat antar makan siangku." Al mengelus kepalanya.

Rizky yang berdiri di dekat mereka hanya dapat tersenyum lebar, melihat perlakuan Al kepada adiknya.

Jika melihat begini, aku tidak menyesal telah memilihkan Dokter Al untuk Ily. Masyaallah, Dokter Al begitu memperlakukan Ily dengan baik. Dari awal aku sudah yakin kepadanya, kalau Dokter Al layak dan pantas mendampingi Ily, batin Rizky memperhatikan Lili yang membukakan rantang untuk Al sambil menjelaskan masakannya.

"Dokter Al, maaf mengganggu, boleh tidak saya foto sama Neng Ily?" sela seorang wanita berkerudung biru, teman Al dan Rizky, sesama dokter muda. "Saya suka mendengar tausiah Neng Ily di YouTube dan rajin mengikuti pengajian yang mengisi Neng Ily. Sudah lama saya ingin sedekat ini dengan Neng Ily," paparnya terlihat sangat senang.

Sebelum menjawab, Al menoleh kepada Lili. "Gimana? Kamu mau?"

Lili mengangguk dengan senyuman terbaiknya. "Iya, enggak apa-apa. Cuma foto kok, enggak berat," ujar Lili mengelus lengan Al. "Silakan, Mbak." Lili berdiri dan bersanding dengannya

"Alhamdulillah," ucap wanita itu girang. "Kenalin, Neng, nama saya Susi."

"Iya, Mbak Susi. Senang bisa bertemu sama Mbak Susi," ujar Lili sambil menjabat tangan Susi.

"Loh, saya yang senang karena bertemu Neng Ily. Silakan, Neng, kita foto bersama."

Susi mendekatkan diri pada Lili, tubuh mereka hampir menempel. Mereka swafoto. Beberapa orang yang tidak tahu Lili hanya menonton sambil menatap keheranan. Segerombol orang yang tadi sibuk mengobrol, salah satu dari mereka menatap sinis.

"Eh, itu istrinya Dokter Al?" tanya salah seorang wanita dengan rambut panjang lurus dan tergerai. Pakaiannya serba ketat, polesan make up pun tebal.

"Iya. Adiknya Dokter Rizky," sahut salah satu pria yang berdiri di dekatnya.

"Kok kampungan begitu sih dandanannya. Padahal Dokter Al ganteng. Kenapa, ya, milih istri yang dandanannya kayak emak-emak. Setahuku, mamanya Dokter Al itu disainer terkenal loh, mamaku langganan butiknya."

Meski jaraknya tidak terlalu dekat, tetapi Lili, Al, Rizky, dan Susi mendengarnya. Sejujurnya Al ingin sekali menegur, hanya saja lengannya ditahan Lili.

"Kenapa?" tanya Al menatap Lili sangat lembut.

"Jaga hubungan baik dengan siapa pun. Apalagi ini lingkungan kerja kamu, biar suasana tetap kondusif dan nyaman. Aku enggak apa-apa kok."

"Habibti ..."

"Sudah, istigfar." Lili mengusap dada Al.

Melihat sikap Lili seperti itu, semakin Susi mengaguminya. Berulang kali Al menarik napas dan mengembuskan pelan. Rizky menepuk punggung Al. Susi melirik tajam gadis itu. Justru yang dilirik bersikap cuek, tidak merasa bersalah.

"Ayo duduk, makan dulu." Lili menuntun Al supaya duduk.

"Neng Ily, terima kasih, ya? Saya masih ada tugas," kata Susi berpamitan.

"Iya, Mbak Susi. Silakan."

Susi sengaja melenggang melewati segerombolan yang terdapat wanita tadi. Dia berhenti tepat di depannya.

"Maaf, ya, Viva. Menurut saya justru dandanan kamu yang kampungan. Kenapa? Kamu memakai pakaian yang kurang bahan. Zaman sudah maju, berbagai bahan kain ada, kamu malah memilih untuk berpenampilan mundur di zaman orang belum mengenal busana." Selesai berucap itu Susi pergi.

Wajah Viva tampak kesal, teman-temannya mengulum bibir menahan tawa. Lili sebenarnya mendengar teguran Susi kepada Viva, hanya saja dia bersikap seolah-olah tidak mendengar. Ily fokus menemani Al makan siang sambil mengajak Rizky mengobrol.

***

Pulang dari mengantar makan siang di rumah sakit, Azizah mengajak Lili mampir ke butik. Ini kali pertama Lili ke butik Azizah. Kebetulan butik sedang banyak pengunjung. Penampilan Lili yang sederhana menjadi bisikan tidak mengenakan di telinga Azizah.

"Jeng, kenapa menantunya tidak diajari berdandan? Kan dia istri dokter, masa begitu sih?" ujar salah satu pelanggan Azizah.

Lili langsung menunduk, antara malu dan takut membuat Azizah malu.

"Alhamdulillah, sebaik-baiknya istri, dia yang berdandan untuk suami. Menantu saya memang tidak lihai merias wajah, tetapi dia lihai merias hati agar selalu bersih dan tidak kotor dengan rasa iri dengki," bela Azizah tetap tersenyum dan membela menantunya.

"Apa enggak diajari berbusana yang layak? Kan mertuanya punya butik, yaaaa ... setidaknya, kan, bisalah sedikit mengikuti gaya busana zaman sekarang," imbuh pelanggan yang lain.

"Ily berpakaian bagus jika bertamu ke rumah Allah dan saat bersujud pada-Nya. Alhamdulillah, dia cantik tidak diukur dari busana, tetapi hatinya." Azizah merangkul Lili yang sedari tadi menunduk di sampingnya.

Merasa jika menantunya malu, Azizah mengangkat dagu Lili supaya menegakkan wajahnya. Pelanggan Azizah justru yang malu, mereka akhirnya meninggalkan Lili dan Azizah, melanjutkan memilih pakaian.

"Ma ...," ucap Ily menatap Azizah bersalah.

"Jangan menunduk. Sayang wajah cantiknya disembunyikan terus," ujar Azizah sambil tersenyum manis yang menenangkan hati Lili.

Lili tidak menjawab, dia melihat orang-orang yang memperhatikannya aneh. Tatapan mereka sinis, ada yang risih, dan ada pula yang sombong, angkuh, merasa jauh lebih baik daripada Lili. Namun, Azizah merangkulnya terus, supaya Lili tidak berkecil hati.

"Maaf, Ily bikin Mama malu," ujar Lili lirih, merasa tak enak hati kepada Azizah.

"Eh, kata siapa Mama malu? Mama justru senang mengajak kamu ke sini. Mumpung di sini, Ily boleh ambil gamis yang Ily suka."

"Mmm ... sepertinya saat ini Ily belum membutuhkan, Ma."

"Terus Ily mau ngapain kalau Mama tinggal sibuk mendisain? Soalnya Mama ada pesanan buat acara lamaran minggu depan. Pesanannya teman Mama, agak mendadak sih. Waktunya juga mepet, harus disegerakan disainnya."

"Ily boleh lihat Mama mendisain?"

"Beneran Ily mau?"

Lili mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Oke, kita ke ruang kerja Mama yuk!" Azizah menggandeng lengan Lili. Mereka masuk ke ruang tempat biasa Azizah mendisain.

Memang dasarnya Lili orang yang mudah belajar apa pun, sekali memperhatikan, dia tertarik ingin belajar dan mencoba. Dengan senang hati Azizah mengajarinya. Lili larut dalam dunia barunya, dia sangat telaten dan mengembangkan imajinasinya. Azizah membiarkan Lili menggambar sesuai kreatifitasnya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top