Tawaran Menarik
Dokter muda? Apakah sudah benar-benar menjadi dokter? Mungkin sebagian orang masih bingung dalam hal ini.
Jadi, dalam kuliah jurusan kedokteran itu ada lima tahapan sebelum benar-benar menjadi dokter. Pertama, tahap pendidikan akademik meliputi pendidikan dasar kedokteran selama dua semester (semester I dan II) dan tahap pendidikan kompetensi klinik selama lima semester (semester III sampai VII).
Tahapan kedua adalah pendidikan profesi. Jika gelar S.Ked sudah ada di belakang nama, selanjutnya harus menjalani tahap pendidikan profesi atau menjadi co-ass (co-assistant). Saat menjadi co-ass, dokter muda akan kontak langsung dengan pasien di rumah sakit dan belajar skill kedokteran seperti menyuntik, mengambil darah, hingga menjadi asisten saat operasi.
Para co-ass atau dokter muda ini akan dirotasi sesuai dengan bagian yang harus dipelajari. Seperti Al saat ini. Perjalanannya untuk menjadi dokter masih jauh. Dia sekarang harus mengamalkan materi dan ilmu yang sudah didapatkan selama duduk di bangku perkuliahan.
Pria tampan berkacamata dengan jas putih kebesarannya berlari kecil ke arah Al yang baru saja keluar dari ruang piket. Sampai di samping teman sesama co-ass itu, Rizky menyamakan langkahnya dengan Al.
"Asalamualaikum, Dokter Al," sapa Rizky ramah.
"Wa 'alaikumus-salam," jawab Al, pria bertubuh jangkung, paras tampan, dengan hidung mancung, dan alis tebal. Bibirnya merah menandakan jika dia tak mengonsumsi nikotin.
"Bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik. Bagaimana denganmu?"
"Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah, saya sehat dan baik."
"Alhamdulillahi rabbil 'alamin," ucap Al turut bahagia mendengar jawaban Rizky.
Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit sambil mengobrol santai. Langkah demi langkah mereka susuri keramik putih, berpapasan dengan pasien dan pengunjung.
"Oh, iya, Dok, kemarin saya dengar-dengar, kamu sedang mencari calon istri. Apa benar, Dokter Al?"
Al tersenyum simpul. "Ah, dengar dari mana? Ada-ada saja kamu ini, Dok," sangkal Al.
"Papa kamu. Kami kemarin bertemu di masjid saat salat Zuhur. Beliau cerita kalau kamu sedang mencari calon istri."
"Papa ada-ada saja." Al masih menutupi keinginannya itu.
Memang dia berniat ingin mencari wanita yang pernah dia lihat di Kairo beberapa bulan lalu. Namun, Indonesia itu luas dan tidak mudah mencarinya. Identitas wanita itupun Al tak punya. Dia hanya mengingat wajahnya saja. Bagaimana dia bisa menemukannya?
"Saya punya kenalan, siapa tahu cocok denganmu," ujar Rizky. "Apa salahnya taaruf, Dok? Insyaallah gadis ini sesuai dengan kriteriamu," sambung Rizky meyakinkan Al karena mereka juga sudah mengenal cukup lama.
Setidaknya Rizky tahu sedikit kriteria gadis yang Al inginkan selama ini. Al pria yang simpel, saleh, dan tidak banyak tingkah. Rizky sangat yakin, Al adalah pemuda yang baik, yang bertanggung jawab dan bisa menjaga kehormatan keluarga.
"Saya pikir-pikir dulu, ya, Dok?"
"Jangan kelamaan mikir, Dok, takutnya keduluan orang lain. Banyak yang berniat ingin taaruf dengannya. Tapi selalu ditolak dengan berbagai alasan."
"Loh, kenapa begitu, Dok?"
"Gadis ini beda dengan wanita pada umumnya. Meski dia pernah mengenyam pendidikan tinggi, tetapi kehidupannya tetap sederhana. Dia tidak pernah neko-neko, bahkan dia menolak berbagai tawaran pekerjaan di perusahaan besar. Padahal potensinya tinggi, gadis ini memilih mengabdikan diri dan membagikan ilmunya kepada anak-anak di pesantren."
"Dia guru?" tanya Al menoleh kepada Rizky dengan kerutan di dahinya.
"Bisa dikatakan seperti itu, Dok. Dia sangat menyukai anak-anak. Sebab itu di madrasah, dia diberi tanggung jawab untuk menjadi guru."
"Dia mengajar santri usia berapa?"
"Setara sekolah dasar awal. Kelas satu dan kelas dua."
"Dia sabar, ya?"
"Iya. Sangat sabar. Dia tidak pernah marah dan selalu tersenyum dalam keadaan apa pun."
Al tampak berpikir, hatinya bergetar. Dia menjadi sangat penasaran dengan gadis yang Rizky ceritakan itu.
"Berapa usianya?"
"Tahun ini dua puluh tiga. Selisih dua tahun denganmu, kan? Insyaallah agamanya baik, dari keluarga baik-baik juga."
"Tapi, sebenarnya ..."
"Dokter Rizky!"
Belum juga Al melanjutkan ucapannya, seorang suster memanggil Rizky sambil berlari.
"Ada apa, Sus?" tanya Rizky setelah suster itu sampai di depannya.
"Itu, Dok, pasien kamar Mawar nomor 12 kejang lagi."
"Kita ke sana," ucap Rizky. "Dokter Al, saya tinggal dulu, ya?"
"Silakan, Dok."
Al membiarkan Rizky pergi bersama suster tadi. Beginilah tugasnya, harus siap kapan pun saat pasien membutuhkan pertolongan. Tak mengenal lelah, kantuk, lapar, yang ada harus selalu siaga, sewaktu-waktu panggilan bisa datang.
***
Di madrasah wanita, Lili sedang mengajar anak-anak membaca. Dia sangat sabar dan pintar mengambil hati para santri hingga mereka nyaman belajar bersama Lili. Di tengah mengajar, Lili yang berdiri di depan kelas berhenti mengeja. Tiba-tiba ada anak yang menangis. Lili mendekati anak itu dan dia rangkul supaya diam.
"Kenapa kamu menangis, Aisya?" tanya Lili sangat lembut sambil menyeka air matanya.
"Hana nakal, Ustazah. Dia merebut pensilku," jelas Aisya masih sesenggukan.
"Benar, Hana?" tanya Lili bernada halus dan rendah sambil menatap gadis kecil yang duduk di sebelah Aisyah.
"Aku cuma mau pinjam, Ustazah."
"Pensil kamu ke mana?" tanya Lili mengelus lengan Hana agar gadis itu tidak takut kepadanya.
Di tengah Lili mengurus Aisyah dan Hana, anak-anak lain yang merasa tidak diperhatikan mulai berjalan-jalan meninggalkan tempat duduk, ada juga yang mengganggu teman-temannya. Suasana kelas semakin ramai.
"Aku lupa bawa, Ustazah," jawab Hana menunduk.
"Ustazah pinjami, ya? Asal kembalikan pensil Aisyah biar dia bisa menulis."
Hana mengangguk, dia memberikan pensilnya kepada Aisyah.
"Bilang apa sama Aisyah?" tanya Lili mengajarkan kesadaran atas kesalahan yang sudah Hana perbuat kepada Aisyah.
"Maaf, ya, Aisyah," ucap Hana mengulurkan tangannya.
"Iya. Tidak apa-apa," jawab Aisyah menjabat tangan Hana.
Senyum Lili tersungging lebar, lalu dia berikan pensil miliknya untuk Hana. "Dijaga baik-baik, ya? Ustazah kasih pensil ini untuk Hana. Jangan dihilangkan, ya?"
"Iya, Ustazah. Terima kasih," ucap Hana menerima pensil dari Lili.
"Ayo, Mbak , Ustazah minta tolong semua kembali ke tempat duduknya masing-masing, ya?" seru Lili mengatur anak-anak yang berlari-lari serta bermain dengan teman sebangkunya.
Sengaja Lili memanggil muridnya dengan sapaan mbak, itu salah satu cara Lili menghormati mereka. Dengan sebutan itu, mereka akan merasa dihargai dan mereka pun akan menghormati Lili sebagai guru atau orang yang lebih tua dari mereka. Selama kita memperlakukan seseorang dengan baik, orang akan memperlakukan kita jauh lebih baik.
Suasana di dalam kelas tak kunjung tenang. Mereka justru semakin ramai karena ada lagi anak yang menakali temannya. Lili harus ekstra sabar menghadapi murid-muridnya yang belum bisa ditegur hanya dengan kata-kata, maklum, mereka masih anak-anak dan masih suka mencari perhatian.
Lantaran tak mungkin Lili bisa mengatasi siswa dua puluh lima dalam waktu bersamaan, dia pun mengeluarkan jurusnya. Lili selalu kreatif dalam memanipulasi kegiatan pembelajaran agar tampak seoleh siswa sebagai 'permainan besar' yang menarik untuk diikuti.
"Tepuk anak saleh!" seru Lili.
Bergegas anak-anak duduk di kursinya masing-masing, lalu mulai bertepuk.
"Aku!" Diselingi tepuk tiga kali. "Anak saleh." Tepuk tangan lagi tiga kali. "Rajin salat." Tepuk tangan tiga kali. "Rajin ngaji." Tepuk tangan tiga kali. "Orang tua." Tepuk tangan tiga kali. "Dihormati." Tepuk tangan tiga kali. "Cinta Islam." Tepuk tangan tiga kali. "Sampai mati." Tepuk tangan tiga kali. "La ila hailallaah Muhammad darasulullah. Allahuakbar!"
Lili tampak senang karena murid-muridnya sudah kembali duduk di kursinya masing-masing. Dia pun melanjutkan pelajarannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top