Tasbis Cinta

Pemuda berkacamata itu duduk di kursi depan meja belajar. Dia terus memperhatikan tasbih yang ditinggalkan empunya.

"Ya Allah, tegurlah hamba jika sampai hamba mencintai umat-Mu melibihi Engkau," ucapnya lirih sambil menggenggam tasbih tersebut.

Dia memejamkan mata, mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat pertama kali melihat gadis berhijab keemasan yang baru saja keluar dari masjid Al-azhar di Universitas Al-azhar, Cairo. Mereka berjerempak di luasnya teras masjid tanpa penghalang.

Saat itu Aldevaro Iqbal, pemuda yang kuliah di Universitas Al-Azhar, Cairo, mengabil jurusan fakultas kedokteran, sedang berjalan menuju masjid. Dia yang selalu menjaga jarak dan pandangan dari lawan jenis, hari itu tak sengaja melihat gadis berparas cantik yang menarik perhatiannya.

Mata hazel-nya persis dengan hazel Al. Saat bibir tipisnya senyum, wajahnya tambah cantik. Setiap mengingat itu, dengan cepat Al beristigfar.

Sejak itu, mereka jadi sering bertemu secara tak sengaja. Bahkan diam-diam Al sering memperhatikannya dari jarak jauh. Pernah sekali dia tak sengaja mendengar suara merdu gadis itu ketika sedang membaca Al-Qur'an di masjid. Sungguh hatinya dibuat terguncang sekaligus tentram. Sayangnya, Al tak tahu nama gadis itu.

"Ya Allah, jika memang Engkau menjodohkan kami, temukan kami di jalan-Mu. Namun, jika dia bukanlah jodoh hamba, tolong hapus pikiran hamba tentang dia. Hamba takut menduakan-Mu," ucap Al yang tak bisa melupakan gadis itu.

Beberapa minggu terakhir, dia tidak lagi melihat sosok penyejuk hatinya. Hingga sampai waktu ini tiba, besok dia akan kembali ke Indonesia karena Al sudah menyelesaikan pendidikannya dan menuntaskan segala urusan di Kairo. Dia akan kembali ke Indonesia dengan predikatnya sebagai dokter muda.

Dalam hati, Al merasa ada sesuatu yang kosong, hilang, dan hampa sejak dia tak lagi melihat gadis itu. Harus ke mana dia mencarinya? Namanya saja tak tahu. Bahkan Al juga tak tahu alamatnya. Yang Al tahu, gadis itu dari Indonesia. Namun, Indonesia bagian mana? Negara kita sangat luas, dari Sabang sampai Merauke. Al harus mencarinya ke mana?

Merasa hatinya gundah, Al menyimpan tasbih tersebut di kotak kayu hitam. Entahlah, baginya hanya benda itu yang bisa menuntunnya menemukan gadis itu. Karena Al sangat yakin tasbih itu miliknya.

Sebab ketika itu dia sedang mengawasinya dari jarak jauh, tidak sengaja Al melihat tasbih tersebut jatuh dari tas perempuan berparas cantik, dengan tinggi badan sekitar 150 sentimeter. Saat Al mengambilnya, gadis itu sudah pergi hingga sekarang Al tak melihatnya lagi. Ke mana dia?

Setelah menyimpan tasbih tersebut, Al mengambil wudu, lalu menjalankan salat sunah mutlak--salat sunah yang tidak punya sebab dan tidak terikat dengan waktu yang dilakukan di malam hari--supaya perasaannya lebih tenang.

***

Hari masih petang. Rutinitas setiap usai berjamaah salat Subuh, Lili membaca Al-Qur'an. Suaranya yang merdu sukses menenangkan hati orang di sekitarnya.

Selesai itu, dia ke dapur umum. Beberapa wanita dewasa diberi tanggung jawab memasak untuk seluruh santri. Di sana area santri pria dan wanita terpisah, sekat tembok menjulang tinggi. Lili sudah biasa membantu memasak di sana.

"Asalamualaikum," sapa Lili degan senyuman manis saat masuk ke dapur.

"Waalaikumsalam," jawab mereka yang ada di dapur hampir serentak.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Lili menyapu pandangan ke sekitar.

Dapur yang cukup luas, ada tiga tungku dan dua kompor gas, di tengah-tengah dapur digelar tikar, biasa digunakan untuk menyiapkan bahan masakan.

"Sudah semua, Neng. Tinggal goreng kerupuk," jawab wanita paruh baya bernama Dewi, penanggung jawab di dapur itu.

"Saya aja yang goreng. Mana kerupuknya?" Lili bertanya kepada yang lain.

Setelah mendapat kerupuk udang mentah, Lili pun memasang wajan di atas kompor, lalu menuang minyak goreng, dan menunggunya sesaat agar panas sambil menyiapkan wadah untuk kerupuk yang sudah matang nanti.

Penampilannya sederhana, Lili nyaman mengenakan blus atau hem kedodoran dan rok panjang menutupi mata kakinya. Penutup kepala pun simpel, kerudung segi empat yang disemat dengan peniti bagian lehernya. Begitu saja sudah cantik, wajahnya terbiasa tanpa make up, natural.

Setelah semua siap, masakan dibagi dua, untuk santri pria dan wanita. Lili mengambil bagian untuk keluarganya. Tak ada yang dibedakan, masakan untuk santri juga yang dimakan keluarga pemilik pesanten tersebut. Dalam satu wilayah pesantren itu ada beberapa bangunan pondok, madrasah setara SD sampai SMA untuk pria dan wanita dibedakan. Satu pondokan digolongkan sesuai usia dan pengasuhnya masih kerabat dengan Kiai Dahlan.

"Lili, bantu Umi membersihkan rumah, ya?" pinta Fatimah, setelah mereka membereskan ruang makan. Baru saja mereka selesai sarapan.

"Baik, Umi."

Lili gadis yang patuh kepada orang tuanya. Tak pernah dia membantah. Tak heran, banyak putra teman Kiai Dahlan ingin mempersuntingnya. Namun, Lili belum siap. Sebagai orang tua, mereka juga tidak mau memaksa. Biarkan Lili memutuskan sendiri calon pendampingnya. Suatu saat pasti akan ada pria yang datang sesuai kriterianya.

"Umi, boleh Lili bercerita?" ucap Lili hati-hati saat mereka bahu-membahu membereskan rumah.

"Cerita saja. Umi akan mendengarkan." Sambil menyapu, Fatimah siap menjadi pendengar yang baik.

"Ada seorang pemuda yang menarik perhatian Lili. Agamanya baik, pintar, dan kelihatannya dari keluarga baik-baik juga. Sayang, Lili tidak tahu dia di mana, Umi."

"Loh, kalau Lili tidak mengenalnya, bagaimana bisa tahu bahwa orang itu baik?"

"Teman Lili, Umi. Kebetulan suaminya satu angkatan dengan dia."

"Siapa namanya?"

Lili menggeleng. "Lili tidak tahu namanya dan Lili juga tidak pernah bertanya."

"Lili, apa kamu menunggu dia?"

Selesai menyapu, Fatimah mengajak Lili duduk di teras rumah agar mereka bisa mengobrol santai.

"Entahlah, Umi. Hati Lili berkata, dia akan datang."

Fatimah mengerutkan dahinya. "Apa kalian pernah mengobrol dan memiliki komitmen?"

Lagi-lagi Lili menggeleng. "Kami belum pernah mengobrol, Umi. Bahkan Lili tidak punya kontaknya."

Fatimah semakin tak mengerti dengan jalan pikiran putrinya. Dia menatap Lili heran, keningnya berkerut.

"Apa dia alasan kamu sering menolak pemuda-pemuda yang ingin taaruf denganmu, Li?"

Terdiam, Lili hanya menunduk dan memainkan ujung hijabnya. Fatimah mengelus bahu Lili, dia tersenyum tipis.

"Kalau memang dia jodohmu, Allah akan memberi jalan untuk kalian bertemu. Namun, jika dia bukan jodohmu, mau sampai kapan kamu menunggunya?"

"Tapi hati Lili yakin dia akan datang, Umi."

"Keyakinan itu muncul dari mana, Li? Apakah kamu punya alasan untuk menunggu dia? Apakah dia menjanjikan sesuatu denganmu? Apa kalian punya komitmen?"

Lili menggeleng. "Tidak, Umi."

"Kalau begitu, kamu harus punya keputusan, sampai kapan kamu akan menunggunya? Kamu tidak bisa terus-terusan menolak pemuda yang berniat baik denganmu. Nanti mereka berpikir, kita sombong."

"Iya, Umi," ucap Lili berat hati.

Apakah dia terlalu berharap dia datang? Dalam setiap sujudnya, Lili selalu menyelipkan doa agar dipertemukan kembali dengan pria yang sudah berhasil mencuri hatinya. Tapi, di mana dia sekarang? Apa mungkin orang yang tidak pernah kita tahu namanya bahkan mengobrol saja belum perna,h bisa dipertemukan kembali? Apa keinginan itu tidak berlebihan?


Alhamdulillah, akhirnya di bulan Ramadan ini, April 2021, aku bisa posting cerita Islami religi. Semoga bisa menghibur teman-teman semua. 

Terima kasih atas dukungannya. Vote dan komentarnya juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top