Syukuran

Kebahagiaan menyelimuti hati mereka. Sebagai rasa syukur, Al dan Lili menggelar pengajian dan menyantuni anak yatim piatu di rumahnya. 

"Kamu jangan jalan terus, kecapean nanti," tegur Al karena sedari tadi Lili sibuk wira-wiri menyapa anak-anak panti asuhan, bahkan tamu undangan yang hadir.

"Aku enggak cape kok. Kamu tenang saja, ya?" Lili mengelus lengan Al.

Padahal sudah ada Azizah dan Fatimah yang membantunya. Mungkin saking bahagianya, Lili tidak merasakan lelah.

Al hanya bisa pasrah, tetapi pandangannya tak pernah lepas mengawasi istrinya.

Malam pun tiba, letih baru terasa setelah bersantai di ranjang sebelum beranjak tidur. Lili menyelonjorkan kakinya sambil memijat pelan-pelan dan sesekali diusap.

"Pegal, ya?" tanya Al yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Sedikit," jawab Lili sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya.

Lantas Al mengambil minyak gosok. Dia mendekati Lili dan duduk di bawah kakinya. Al mengangkat kaki Lili yang sedikit bengkak ke pangkuan. Sangat sabar dan lembut, dia pijat serta usap kaki istrinya dengan minyak gosok.

Lili tersanjung dengan sikap manis suaminya itu. "Makasih, ya, Habibi?" ucap Lili dengan senyum menawan.

"Iya, istriku. Lain kali, jangan sampai kecapean, ya? Jaga baik-baik anak kita."

"Iya. Maafin aku, ya? Karena terlalu semangat, jadi lupa istirahat."

"Yang penting jangan diulangi lagi."

"Iya, suamiku." Lili berucap lembut, lalu dia mendekati Al dan mencium keningnya. Dibalas Al dengan kecupan di kedua pipi Lili. Wanita berkulit putih itu bersandar di dada Al, tanpa segan Al pun mendekapnya.

"Habibti, mulai besok, mobil, kamu yang pakai saja, ya?" ujar Al yang merasa kasihan kalau Lili ke mana-mana pergi sendiri dan naik kendaraan umum.

Apalagi Al juga merasa tidak bisa selalu mendampingi istrinya karena kesibukan dia di rumah sakit. Bahkan jika Lili ada jadwal mengajar, dia pulang pergi naik MRT. Daripada Lili seperti itu, mending Al yang melakukannya. 

"Aku dah biasa kok naik MRT dan taksi online. Kamu tenang saja, ya?" Lili berusaha meredam kekhawatiran suaminya dengan mengelus pipinya.

"Habibti, daripada mobil nganggur di parkiran rumah sakit, mending kamu yang bawa. Kan, kamu yang lebih sibuk wira-wiri. Toh aku juga kalau sudah di rumah sakit enggak ke mana-mana lagi. Paling juga standby di ruang dinas, berjaga di UGD." 

"Beneran, kamu enggak apa-apa? Tapi, Habibi, bagaimana kamu berangkat ke rumah sakitnya?"

"Kamu tenang saja, rumah kita dekat stasiun MRT. Jalan, keluar gang, sudah di depan tangga MRT, kan? Kalau kamu pulang mengisi tausiah atau sudah selesai mengajar, itupun kalau kamu tidak cape, kan bisa menjemputku ke rumah sakit. Jangan dibuat ribet ah!" Al mencolek ujung hidung Lili.

Sejak Lili menjadi menantu Azizah dan belajar banyak hal mengenai kebiasaan mertuanya itu sebagai wanita karier, walaupun sibuk dengan kegiatan bersosial, menjadi pengurus pengajian, dan lainnya, dia tetap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik untuk anak dan suaminya.

Lili terinspirasi dan terdorong ingin seperti mama mertuanya. Bermanfaat untuk banyak orang, tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai seorang istri. Sekarang dia mulai membuka diri. Lili yang dulu, sedikit demi sedikit ada perubahan. Mulai dari penampilan. Azizah tidak pernah meminta apalagi memaksa Lili untuk mengubah penampilannya. Hanya saja, Lili sadar, dirinya tidak bisa terus seperti dulu. Dia harus berkembang dan membuka pikirannya.

Lili sadar, dia adalah istri calon dokter, menantu dokter spesialis dan disainer ternama. Lili tidak ingin mama mertuanya direndahkan karena membela dia terus. Selain itu, Lili juga sadar, ada pepatah Jawa mengatakan, 'Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana, lan ajining awak saka tumindak.' Artinya, berharganya diri, berasal dari ucapan (lidah), sedangkan berharganya badan (raga) dari cara berpakaian, dan berharganya kehormatan dari tindakan.

"Habibti," seru Al lirih setelah beberapa menit mereka saling diam.

"Hmmm." Lili mendongakkan wajahnya, menatap kedua mata Al yang sedang memandangnya.

Al memegang dagu Lili. Dia menunduk, wajahnya tepat berada di depan wajah Lili. "Maafin aku, ya?"

Lili mengerutkan dahi. "Maaf kenapa, Habibi?"

Al menghela napas berat. "Dalam kondisi kamu hamil muda begini, aku jarang ada waktu menemani kamu. Pekerjaanku sebagai koas, membuatku sibuk di rumah sakit."

Bibir ranum nan tipis itu tersenyum lebar. Kedua tangan Lili menangkup pipi Al. " Habibi, justru aku berterima kasih sama kamu. Dengan keadaan kita sekarang, aku bisa menjadi wanita tangguh dan mandiri. Aku belajar dari pengalaman Mama. Sebagai istri dokter, kita enggak boleh manja dan lemah karena dokter harus standby setiap saat. Kapan pun pasien membutuhkan pertolongan, dokter harus siap memasang badan. Pekerjaanmu sungguh mulia. Aku bangga punya suami kamu."

Saking tersanjungnya dengan ucapan sang istri, Al semakin mendekapnya erat. "Aku juga bangga punya istri salehah, cantik, baik, dan pandai sepertimu, Habibti. Enggak ada wanita lain yang bisa mencuri hatiku selain kamu."

Hati Lili menghangat. Dia memeluk Al, merasakan kehangatan dekapan sang suami. Jika kita dapat memahami situasi dan keadaan pasangan, saling menghargai dan menjaga, seberat apa pun ujian dan cobaan, pasti bisa terlewati.

***
Selesai memasak, Lili menata hasil masakannya di meja makan. Memang sengaja Al dan Lili tidak memperkerjakan ART yang menginap di rumah. Ada wanita paruh baya membantu pekerjaan rumah tangga Lili, usianya sekitar tiga puluh lima, dia datang pukul 08.00 WIB dan pulang setiap sore, setelah menyelesaikan tugasnya.

Tak terasa kandungan Lili sudah memasuki bulan kelima. Perutnya tidak terlihat buncit karena dia mengenakan gamis yang longgar dan hijab besar hingga menutupi bagian depan dan punggungnya.

"Habibi, hari ini aku izin ke pesantren, ya? Ada ustazah yang enggak bisa hadir karena salah satu keluarganya terkena musibah," ujar Lili saat mereka sudah selesai sarapan.

"Innalillahi wa innailai rojiun," ucap Al saat mendengar ada seseorang mendapat musibah. "Boleh. Tapi, mobilnya, kan, mau aku pakai. Gimana? Aku antar kamu dulu aja, ya? Nanti baru aku ke rumah sakit."

"Enggak usah, Habibi. Kan, katanya kamu mau ke rumah Papa. Jadi enggak, kamu membahas rencana ambil pendidikan dokter spesialis itu? Toh kamu juga masih perlu magang lagi di rumah sakit satu tahun agar bisa melanjutkan pendidikan dokter spesialis. Siapa tahu Papa bisa bantu kamu mencarikan rumah sakit yang mau menerima dokter baru. Iya, kan?"

Sejak dua bulan lalu Al sudah menuntaskan tugasnya menjadi co-ass, berlanjut dia menjalani Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Kedokteran (UKMPPD). Selama itu, Al menekuni pekerjaannya sebagai sopir taksi online, sembari menunggu hasil ujiannya keluar. Al tidak malu, dalam pikirannya hanya ingin bertanggung jawab sebagai suami. Memberi nafkah untuk istrinya. Meski hasilnya belum seberapa, setidaknya Al tidak menganggur. Dia malu kepada Lili jika sampai tidak bekerja karena Lili gigih dan semangat bekerja.

Wajah Al berubah lesu, padahal tiga minggu lalu dia sudah dinyatakan lulus. Al juga telah mengucapkan sumpah dokter dan gelar S.Ked pun telah diganti dengan gelar dr di depan namanya. Apalagi yang membuat Al kepikiran?

"Aku masih bingung, Habibti." Al menunduk dengan wajah lesu.

"Bingung kenapa?" Lili memegang lengan Al, menatap wajahnya.

"Apa aku enggak usah ambil spesialis aja, ya?"

"Kenapa begitu?"

"Kayaknya jadi dokter umum sudah cukup."

"Kok gitu sih? Kamu enggak boleh patah semangat gitu dong."

"Habibti, perjalananku masih lama kalau mau ambil spesialis. Biaya juga semakin tinggi pastinya."

"Apa yang sebenarnya kamu khawatirkan, Habibi? Biaya? Atau apa? Aku enggak mau, pernikahan kita menjadi alasan kamu berhenti menggapai cita-citamu yang ingin menjadi dokter spesialis penyakit dalam."

"Tapi aku malu sama kamu, Habibti. Kemarin aku sudah pakai tabungan kita buat ujian profesi." Al semakin menunduk dalam. "Setelah ini nanti, aku masih harus melalui masa internship atau magang, didampingi dokter, selama setahun di rumah sakit. Kalau itu berhasil, nanti baru bisa dapat Surat Tanda Registrasi (STR) yang memungkinkan aku bisa bekerja di instansi kesehata tanpa pengawasan lagi."

"Habis itu?" tanya Lili setia mendengar keluh kesah suaminya.

"Untuk bisa menjadi dokter spesialis, tentu saja harus lulus pendidikan dokter spesialis dengan durasi sekitar empat sampai enam tahun. Beda spesialisasi maka akan berbeda juga durasi pendidikannya. Akan ada ujian tulis hingga wawancara yang harus dilalui."

"Masih lumayan panjang, ya? Tapi, walaupun begitu, kamu harus tetap semangat! Satu per satu diselesaikan dulu. Sabar, kalau kita jalani, pasti bisa dilewati." Lili menggeser kursinya lebih dekat dengan Al. Dia menangkup pipi Al agar wajahnya tegak. Setelah kepalanya terangkat dan mereka saling pandang, Lili berucap, "Kamu masih ingat, kan, prinsip rumah tangga itu apa? Saling jujur dan bekerja sama. Sejak aku memutuskan menikah denganmu, aku sudah pasrahkan hatiku kepadamu. Jiwaku untukmu. Kamu jangan putus asa, ya? Selangkah lagi, Habibi. Tolong, ya, jangan berhenti."

Al menatap kedua mata Lili yang berkaca-kaca. Terpancar ketulusan dan memohon dari sorot pandang Lili. Rasa tak tega merasuki hatinya. Melihat usaha Lili membangkitkan kepercayaan diri dan semangatnya, membuat Al semakin bersyukur mendapatkan istri yang selalu mendukung dan sabar mendampinginya seperti Lili.

"Ya sudah, bismillah, aku akan melanjutkan."

Senyum Lili mengembar, air matanya yang menggantung di pelupuk akhirnya jatuh juga. Dia bahagia mendengar keputusan Al. Lili langsung memeluk Al erat.

"Makasih, Habibi," ucap Lili dengan suara parau. Apa pun yang terjadi, jangan pernah ragu apalagi putus asa lagi, ya?"

"Iya, Habibti. Terima kasih kamu selalu bisa menguatkan dan mengembalikan kepercayaanku lagi. Kamu memang istri idaman."

Lili melepas pelukannya, lalu menyeka air mata dengan tisu. 

"Mending sekarang kamu siap-siap. Jangan membuat Papa menunggu."

"Iya," sahut Al sangat lembut. "Nanti kalau sudah selesai ngajarnya, kabari, ya? Aku jemput."

"Iya, Habibi."

Selama ini Al tidak melarang Lili untuk melakukan kegiatan apa pun, asal tidak yang berat dan membuatnya lelah. Al melakukan itu bukan tidak sayang pada Lili. Hanya saja Al tidak ingin Lili merasa kesepian jika selalu di rumah.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top