Sangat Berarti

Dada Lili sesak, haruskah dia senang atau sedih? Sore hari saat menunggu azan Magrib, Lili menghampiri Al yang sedang bersantai di teras sambil menikmati teh hangat dan memandang tanaman anggrek koleksi Lili.

"Habibi, aku mau bicara," ujar Lili tampak menahan amarah, berdiri di depan Al.

Al mendongak, dia bersikap santai. Sebenarnya dia tahu jika istrinya itu sedang marah. Namun, Al berusaha tenang agar tidak terbawa suasana.

"Kalau mau bicara, duduk dulu. Sini!" Al mengarahkan Lili agar duduk di kursi sebelahnya. Setelah Lili duduk, dengan dana lembut Al bertanya, "Kamu mau bicara apa?"

"Kenapa kamu menolak Annisa? Bukankah kita sudah sepakat?" kata Lili menggebu-gebu.

"Sepakat soal apa?"

"Menjadikan dia istri keduamu."

"Kapan aku menyepakatinya?"

"Waktu itu di depan keluarga."

"Loh, kan aku cuma tanya, siapa wanita yang kamu siapkan untukku. Salah jika aku ingin tahu?"

"Tapi bukan menolak dia yang aku inginkan, Habibi. Kamu enggak paham perasaanku!" Suara Lili parau, dia menahan air matanya.

"Sssst, jangan menangis. Justru aku memahami perasaanmu, makanya aku menolak dia." Al mengusap kepala Lili lalu menyeka air matanya yang menetes. "Jangan lagi memintaku untuk menduakanmu karena aku tidak akan pernah melakukannya. Aku bahagia bersama kamu, jangan coba-coba merusak kebahagiaan kita."

"Tapi, aku enggak bisa ngasih keturunan buat kamu."

"Apa aku mepermasalahkan itu?"

Lili menggeleng, memang sejauh ini Al tidak pernah mengungkit hal itu sedikit pun. Rasa bersalah itu timbul dari hati Lili sendiri, dia pikir Al akan lebih bahagia jika mempunyai keturunan.

"Habibti, dengar baik-baik. Kebahagiaanku hanya ada tiga. Pertama, bisa selalu melihat senyummu. Kedua, kamu selalu ada di sampingku, dan ketiga makan masakanmu. Soal keturunan, aku pasrah kepada Allah. Jika memang dia mempercayai kita menjadi orang tua, dengan segala kekuasaan-Nya, Dia pasti punya cara untuk memberikan anugerah-Nya. Mukjizat itu ada. Yang penting kita jangan berhenti berusaha. Iya?" Al menangkup kedua pipi Lili.

Untuk menenangkan perasaan istrinya, Al mencium kening dia dan membawanya ke dalam pelukan. Al tak pernah merisaukan hal yang Lili takutkan. Dia pasrah kepada Sang Pencipta. Namun, Al tetap berusaha. Dekapan Al membuat Lili nyaman, perasaannya yang gundah dan tadi gusar, berangsur tenang.

"Sudah azan. Kita masuk yuk! Salat Magrib." Al menegakkan tubuh Lili.

Sambil beranjak dari tempat duduk, Lili menyeka air matanya. Al ikut berdiri, membawa cangkir tehnya, lalu mereka masuk ke rumah bersama.

***

Terdengar helaan napas lega dari Azizah setelah Al menelepon dan menjelaskan semuanya, bahwa dia dan Lili membatalkan rencana poligami itu. Pun dengan Fatimah dan Kiai Dahlan. Kabar itu cepat sampai di telinga Rizky dan Dila. Semua merasa lega, akhirnya keras hati Lili dapat dilumpuhkan Al.

Pagi sekali, sebelum salat Subuh, Lili membangun Al yang masih terlelap. Dia mengusap lengannya pelan sambil berbisik, "Habibi, ayo bangun. Sudah mau azan Subuh. Mandi dulu."

 Sayup-sayup Al mendengar suara lembut istrinya, lantas mengejapkan mata, menyesuaikan pandangan dari sinar lampu kamar yang terang. Saat pandangannya sudah normal, Al menatap wajah teduh Lili yang tampak segar. Rambutnya setengah basah, Al tersenyum sangat manis.

"Kamu bangun jam berapa? Kok rambut sudah basah aja." Al mengerling sambil tersenyum menggoda.

"Ih!" Lili mencubit kecil perut Al. Dia tersipu. "Ini ulah kamu yang bikin aku harus mandi dini hari."

Al tertawa lepas, lalu dia bangun dan memeluk Lili dari samping. Tak luput kecuman mendarat di pipi kiri Lili.

"Hari ini aku libur. Kita mau jalan-jalan ke mana?" tanya Al tanpa melepas pelukannya, sambil mengayun-ayunkan tubuh Lili.

"Mmmm ... ke mana, ya?" Lili melirik ke atap kamar bercat putih, sambil berpikir. "Ke kedai es krim, terus ke supermarket belanja bulanan, lanjut ke rumah Mama, pulangnya mampir ke pesantren. Gimana?" Lili menoleh Al dengan wajah yang menggemaskan.

"Boleh! Aku siap jadi sopir kamu sehari penuh," ujar Al mencuri cium ujung hidung mancung Lili.

"Kamu bangun, terus mandi. Aku tunggu, kita salat Subuh bareng." Lili melepas pelukan Al, dia bangkit dari tempat tidur, disusul Al yang langsung masuk ke kamar mandi.

Sembari menunggu Al selesai mandi, Lili menggelar dua sajadah menghadap kiblat. Tak hanya itu, dia juga menyiapkan baju ganti Al. Kini perasaannya semakin membaik, tak lagi segundah hari-hari kemarin. Mungkin karena Lili sekarang bisa legowo, menerima keadaannya, apalagi Al selalu bisa meyakinkan Lili, bahwa keadaannya yang sekarang tidak mengurangi cinta Al kepadanya. Beruntungnya Lili!

Usai salat Subuh, Lili ke dapur untuk masak sarapan. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, dibantu ART, sekitar pukul 10.00 WIB, Lili dan Al pergi ke kedai es krim yang dekat dengan supermarket tujuan mereka berbelanja bulanan.

"Kamu mau pesan yang rasa apa?" tanya Al sambil membaca buku menu.

"Mmmm ... vanila sama stroberi."

"Topingnya?"

"Cokelat saja."

Setelah itu Al memesan dua es krim sesuai permintaan Lili. Sambil menunggu es krim selesai disiapkan, Al mengajak Lili duduk di salah satu meja paling pojok, dekat dengan taman kecil kedai tersebut. Suasana asri, nyaman, bersih, dan tertata rapi, membuat pengunjung kedai betah berlama-lama di sana. Apalagi tempatnya terbuka, sejuk di bawah pohon rindang.

Beberapa saat Al terus memperhatikan Lili sambil tersenyum. Merasa diperhatikan suaminya, Lili mengoreksi diri, takut jika dia salah kostum atau ada yang salah pada penampilannya hari ini.

"Habibi, kenapa? Ada yang salah sama aku?" tanya Lili pelan, menyondongkan tubuhnya ke depan.

"Sekarang istriku pintar berdandan, ya?" ujar Al tidak mengalihkan pandangannya.

Lili tersenyum malu. "Iiih, kamu bukannya mendukung, malah ngeledek."

"Siapa yang ngeledek sih, Habibti. Aku memujimu."

"Tapi aku malu." Lili menutup wajahnya.

"Kenapa malu? Aku kan suami kamu. Sah-sah sajamenikmati kecantikan kamu. Ibadah, Habibti." Al menurunkan kedua tangan Lili yang menutup wajahnya. " Siapa yang mengajarimu berdandan dan menjadi stylist busananya?"

"Soal dandan, aku sih sebisanya aja, Habibi, enggak banyak yang aku pakai kok. Cuma bedak tipis dan lipstik yang warna soft, biar bibir enggak kelihatan pucat aja. Aku belajar dari Kak Dila. Kalau busana, jelas dong stylist papan atas, Mama Azizah."

"Enggak apa-apa berdandan, asal jangan berlebihan. Aku suka melihatnya. Simpel, kamu tetap bisa menjaga aurat, dan kelihatan lebih segar. Tampak anggun."

Perasaan Lili menghangat. Gamis putih motif bunga kecil warna-warni dipadukan dengan khimar pastel polos menutupi setengah tubuhnya, seperti menggambarkan suasana hatinya saat ini yang sedang bahagia.

Es krim pesanan mereka pun datang. Sambil menikmati es krim itu, Al dan Lili mengobrol sembari bercanda. Ada anak kecil, usia sekitar satu tahun lebih sedikit, jalannya belum terlalu lancar, mendekat ke meja mereka. Saat tepat di sebelah Lili, anak itu jatuh. Spontan Lili bangkit dan membangunkannya sebelum dia menangis.

"Halo, anak ganteng, mau ke mana?" tanya Lili membersihkan celananya yang kotor.

Perempuan muda, mengenakan gamis tosca mendekat. Dia tersenyum kepada Lili. "Maaf, Tante, Rio mengganggu waktu santai, Tante, ya?" ujarnya seolah mewakili anak tersebut.

"Enggak kok. Namanya Rio?" Lili mengelus pipi bocah itu.

"Iya, Tante. Rio Pamungkas," jawab sang ibu sambil mengangkat putranya ke gendongan. "Tante, Rio pulang dulu. Asalamualaikum."

"Wa 'alaikumus-salam, anak ganteng."

Perempuan itu menjauh sambil menggendong putranya. Lili bertahan di tempat yang sama, masih memperhatikan mereka. Al yang menyadari sesuatu, lalu memegang tangan Lili.

"Hei, duduk lagi," titah Al lembut.

Lili tersenyum padanya. "Lucu, ya?" kata Lili sambil mendaratkan pantat di kursi.

Al mengangguk. "Sabar, ya? Aku percaya Allah punya rencana lebih indah dari yang kita pikirkan. Allah tahu yang kita butuhkan. Jika Dia sudah berkehendak, dengan cara apa pun, pasti Allah akan memberikannya pada kita."

"Iya, Habibi. Insyaallah aku ikhlas. Kita jalani ini bersama, ya?" Lili membalas genggaman tangan Al.

"Aku sudah berjanji, kalau kita akan mengejar surga bersama. Dalam kondisi apa pun, aku enggak akan meninggalkan kamu."

"Makasih, ya, Habibi."

Ada sedikit penyesalan yang merasuk ke dalam hati Lili. Betapa bodohnya dia jika sampai rencananya kemarin benar-benar terjadi. Pastilah, Lili akan selalu diselimuti kebohongan dan pura-pura bahagia. Atas izin Allah, dia mendapat suami yang sangat mencintainya, bahkan Lili beruntung mendapat suami yang selalu bisa menjaga perasaannya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top